Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.
Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.
"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.
Cegil satu ini nggak bisa di lawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34
Renzo mengepalkan tangannya dengan erat, ekspresinya penuh ketegangan. Johan, yang sedang mengemudi sembari menerima telepon dari pihak lapas bahwa memang orang yang mereka cari sudah di bebaskan.
"Saya rasa tidak mungkin Tuan Adrian membantunya, Anda baru bicara terkait ini kemarin sedangkan informasi dari pihak lapas Ivan di bebaskan dua hari lalu, bukan?" tanya Johan, melirik Renzo yang tampak semakin gelisah.
"Aku tidak tahu, tapi kita harus cepat. Bisa jadi Ivy menjebak Luna dan membuatnya sebagai sandera agar aku menuruti kemauannya." jawab Renzo, kemudian dia mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Luna.
"Halo? Sayang?" suara Luna terdengar di seberang.
"Sayang, kamu masih di kantor, kan? Jangan kemana-mana. Aku sebentar lagi sampai. Jangan keluar ruangan sebelum aku tiba!" ucapnya dengan nada penuh perintah.
Luna terdiam sejenak sebelum menjawab, "Renzo, ada apa? Kamu terdengar panik."
Renzo memilih mematikan telepon dan meminta Johan untuk lebih cepat lagi.
.
Setibanya di depan kantor Luna, Renzo turun dengan cepat dan bergegas masuk. Tapi dia melihat Luna yang baru saja akan naik ke lift.
"Luna.... " panggil Renzo dari jarak yang tidak cukup jauh.
Luna berbalik dan menatap penuh kebingungan, mengapa kekasihnya terlihat panik dan terburu-buru.
Ia masih berdiri menatap Renzo dengan bingung. "Kamu kenapa sih? Kelihatan panik sekali."
Renzo tidak menjawab, ia memeriksa sekeliling dengan seksama, seolah memastikan sesuatu. "Vivi tidak menghubungimu hari ini? Atau semalam?"
"Justru ini aku habis mengantarnya keluar, baru beberapa menit yang lalu dia pergi," jawab Luna membuat Renzo terbelalak.
Luna menghela napas, merasa sedikit risih dengan sikap Renzo yang terlalu waspada. "Dia hanya bilang kalau dia ingin meninggalkan Indonesia. Itu saja. Aku pikir itu hal yang wajar karena dia sibuk. Dan aku tidak melihat ada yang mencurigakan."
Renzo mengusap wajahnya, mencoba menenangkan pikirannya yang dipenuhi kemungkinan buruk. "Aku tidak yakin dia benar-benar pergi. Ada sesuatu yang tidak beres."
"Apa maksudnya? Sebenarnya ini ada apa?" tanya Luna semakin bingung.
"Vivi itu adalah Ivy, dia kemarin datang ke kantorku dan mengatakan hal tersebut."
Luna terkejut dan tidak bisa berkata-kata, seketika dia mengingat kembali obrolan mereka tadi mencoba mencari apakah ada sesuatu informasi yang tidak dia sadari.
"Tapi kamu tidak apa-apa?" Luna memeriksa seluruh tubuh Renzo, memegang tangan lengan hingga punggung belakangnya.
"Berkat kamu, aku sedikit bisa mengurangi rasa takutku. Bahkan ingatan itu sudah samar di pikiranku,"
Kemudian Renzo mengajak Luna ke kafe depan kantornya untuk menceritakan percakapan apa saja yang terjadi tadi, karena bisa saja itu merupakan informasi untuk lebih waspada.
.
.
Beberapa jam yang lalu....
Vivi datang ke kantor Luna menggunakan blouse putih tulang dan rok sepanjang lutut berwarna merah. Wajahnya tampak murung tidak seperti biasanya. Di lobi dia meminta receptionist menyampaikan ke Luna.
"Pagi, saya minta tolong di sampaikan ke Luna bahwa saya menunggunya di sini," ucap Vivi ke receptionist.
Dengan cepat receptionist menghubungkan ke Luna dan menyampaikan pesan tersebut. Luna menyuruh receptionist untuk mengantarkan Vivi ke ruangan meeting, mereka akan berbincang di sana.
Sesaat kemudian....
"Mbak Vivi," sapa Luna saat masuk ke dalam ruangan meeting dan melihat Vivi termenung di sana.
"Lun, sini duduk. Aku bawakan kamu kue, semoga kamu suka ya." Vivi menyodorkan kue yang dia bawa.
"Terima kasih, Mbak Vivi. Ngomong-ngomong bagaimana soal kendala sistem yang terjadi di restoran itu, aku bisa jadwalkan pengecekan ulang.... "
Vivi menatap jari Luna yang terpasang cincin berlian, raut wajahnya semakin murung tapi seperti ada kemarahan di dalamnya. Luna hanya berpikir mungkin itu menyinggungnya, karena dia belum memiliki pasangan,
Dengan cepat Luna menurunkan tangannya agar Vivi tidak menatap jemarinya terus menerus.
Seperti sadar bahwa Luna juga tahu ia menatap cincin itu, Vivi segera mengalihkan pembicaraan.
"Sebenarnya aku tahu kamu itu orang yang sangat baik, tidak heran mengapa ada seorang pria yang mencintaimu mati-matian, aku juga dulu pernah merasakan hal seperti itu. Tapi aku dulu bodoh, aku menyia-nyiakan semuanya, sehingga aku kehilangan dia. Sekarang hanya ada kemarahan dalam hatiku, aku ingin memilikinya lagi!"
Tiba-tiba Vivi menghentikan ucapannya, dia menatap Luna yang masih mendengarkan.
"Maaf sepertinya aku terlalu banyak bicara, jadi sebenarnya aku ke sini ingin berpamitan padamu,"
Luna terkejut. "Lho mau kemana kah, Mbak? Liburan?"
"Tidak, aku akan meninggalkan Indonesia dan akan menetap di suatu negara sembari mengurus kakak laki-lakiku yang sedang sakit, jaga dirimu baik-baik. Jangan sampai bertemu dengan orang jahat,." ucap Vivi.
Mereka berpelukan sebagai tanda perpisahan.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi jika kita bertemu lagi, mungkin kamu akan sedih," ujar Vivi.
Luna mengernyit, tidak mengerti maksud dari perkataan wanita itu.
"Sedih karena tidak menyangka akhirnya bertemu lagi kan, apa kamu tidak akan merindukanku?" jawab Vivi cepat sembari tersenyum.
Setelah itu mereka sempat mengobrolkan hal ringan saja terkait pekerjaan.
.
"Begitu saja, sebelum akhirnya kamu telepon dan tiba-tiba Vivi berpamitan," jelas Luna pada Renzo. "Ivy maksudku." imbuhnya lagi,
Renzo mendengarkan Luna dengan ekspresi tegang, sedangkan Luna masih santai sambil meminum es kopinya.
"Tapi bagaimana bisa dia masih hidup? Jadi sekarang dia ingin merebutmu dariku, begitu?" tanya Luna. "Jujur aku tidak gentar sama sekali, aku tidak akan memberikanmu kepada siapapun. Aku sedang menikmati di cintai olehmu." imbuhnya dengan nada menggoda.
"Ceritanya panjang, ada beberapa hal yang harus aku pastikan dulu. Semoga dia benar-benar pergi, dan lebih baik kita tetap waspada. Aku tidak bisa meninggalkanmu lama-lama, apa kita lebih percepat lagi saja pernikahan kita?"
Luna seketika tersedak dengan ucapan Renzo.
"Aku juga ingin cepat, tapi terburu-buru juga tidak baik." jawab Luna.
"Baiklah aku akan menyelesaikan masalah ini lebih dulu, aku akan memastikan semuanya baik-baik saja agar tidak ada lagi yang mengganggu kita. Kamu kembalilah bekerja, mulai besok aku akan menyediakan satu pengawal wanita untukmu." jelas Renzo lalu beranjak dari kursinya.
Luna menarik tangan Renzo. "Jangan lakukan hal yang membuatku kecewa, aku sudah bertahan sejauh ini."
Renzo menatap bola mata cantik Luna dan sesaat kemudian tersenyum.
"Seperti pacaran dengan gangster saja, kemana-mana harus pakai pengawal," gerutu Luna yang masih duduk sendirian di kafe itu.
.
Renzo meminta Johan mengemudi lagi kali ini akan menemui ayahnya di kantor. Dia ingin memastikan kepergian Ivan dan Ivy bukan sebuah kematian. Dan semoga mereka tidak kembali lagi hanya untuk menghancurkan hidupnya.
"Johan awas!"
Mobil mereka berhenti mendadak....