Cintia tumbuh di lingkungan yang penuh luka—bukan cinta yang ia kenal, melainkan pukulan, hinaan, dan pengkhianatan. Sejak kecil, hidupnya adalah derita tanpa akhir, membuatnya membangun dinding kebencian yang tebal. Saat dewasa, satu hal yang menjadi tujuannya: balas dendam.
Dengan cermat, ia merancang kehancuran bagi mereka yang pernah menyakitinya. Namun, semakin dalam ia melangkah, semakin ia terseret dalam kobaran api yang ia nyalakan sendiri. Apakah balas dendam akan menjadi kemenangan yang ia dambakan, atau justru menjadi neraka yang menelannya hidup-hidup?
Ketika masa lalu kembali menghantui dan batas antara korban serta pelaku mulai kabur, Cintia dihadapkan pada pilihan: terus membakar atau memadamkan api sebelum semuanya terlambat.
Ikuti terus kisah Cintia...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maurahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 BABAK AWAL-RADITYA
Malam itu, Cintia duduk di dalam kamarnya, menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Pesan dari Araf masih terbuka di depannya:
"Aku cuma mau bilang kalau aku selalu ada buat kamu, apa pun yang kamu hadapi."
Cintia menutup matanya sejenak, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang tiba-tiba menyusup ke dalam hatinya. Araf selalu begitu—terlalu baik, terlalu tulus. Dan justru itulah yang membuatnya merasa bersalah. Ia tahu cepat atau lambat, Araf akan mengetahui apa yang sedang ia rencanakan. Dan ketika saat itu tiba, apakah Araf masih akan tetap berada di sisinya?
Cintia menghela napas panjang, menyingkirkan pikirannya tentang Araf. Ia tidak bisa membiarkan perasaan itu mengganggu rencananya. Malam ini, fokusnya hanya pada satu hal: Raditya.
Ia meraih ponselnya dan mengetik sebuah pesan singkat:
"Besok malam, jam delapan. Aku akan tunggu kamu di kafe dekat taman kota."
Tak butuh waktu lama sebelum Raditya membalas:
"Oke. Sampai ketemu besok."
Cintia menatap layar ponselnya cukup lama sebelum akhirnya meletakkannya di atas meja. Tangannya mengepal perlahan.
"Kamu nggak akan bisa lolos lagi, Raditya."
Keesokan malamnya, Cintia tiba lebih awal di kafe yang ia janjikan. Ia memilih meja di sudut ruangan, jauh dari pandangan orang-orang. Matanya menatap jam di pergelangan tangannya. Pukul 19.55. Raditya seharusnya datang sebentar lagi.
Tak lama kemudian, pintu kafe terbuka, dan sosok yang ia tunggu akhirnya muncul. Raditya mengenakan kemeja biru dengan lengan yang sedikit tergulung, auranya masih sama seperti dulu—percaya diri, sedikit arogan.
"Hei, maaf, aku telat sedikit," ucapnya sambil menarik kursi di hadapan Cintia.
Cintia tersenyum kecil, mencoba bersikap ramah. "Nggak masalah. Aku juga baru datang."
Raditya memesan kopi sebelum kembali menatap Cintia dengan penuh minat. "Jadi, kamu butuh bantuanku? Tentang apa?"
Cintia menatapnya sejenak, mencoba menilai reaksinya. Ia harus berhati-hati. Tidak boleh ada yang mencurigakan.
"Aku cuma pengen minta pendapat kamu soal sesuatu," jawabnya santai. "Aku dengar kamu kerja di perusahaan properti besar, kan? Aku ada teman yang tertarik investasi di bidang itu, tapi dia nggak tahu harus mulai dari mana."
Raditya tertawa kecil. "Ah, kupikir masalah serius. Itu gampang. Teman kamu mau investasi di mana?"
Cintia berpura-pura berpikir sejenak. "Masih belum pasti. Aku cuma butuh gambaran dulu, gitu."
Raditya mengangguk, lalu mulai menjelaskan panjang lebar tentang dunia investasi properti. Cintia hanya mendengarkan dengan penuh perhatian, meskipun pikirannya sama sekali tidak ada di sana. Yang ia lakukan saat ini hanyalah membiarkan Raditya merasa nyaman. Ia ingin lelaki itu menurunkan kewaspadaannya, agar ia bisa melangkah lebih jauh dalam rencananya.
Setelah hampir satu jam, Raditya akhirnya bersandar di kursinya dengan santai. "Jadi, intinya gitu. Kalau teman kamu serius, aku bisa bantu kasih koneksi ke beberapa orang."
Cintia tersenyum tipis. "Terima kasih, Radit. Aku bakal sampaikan ke dia."
Raditya menyesap kopinya sebelum menatap Cintia dengan lebih dalam. "Jujur, aku nggak nyangka kita bakal ngobrol kayak gini. Awalnya aku pikir kamu cewek yang pendiam dan sulit didekati."
Cintia tertawa kecil. "Banyak yang bilang gitu."
Raditya menatapnya lebih lama. "Tapi aku suka orang yang misterius."
Cintia menahan diri untuk tidak menunjukkan ekspresi jijik. Lelaki ini benar-benar masih sama seperti dulu.
"Aku harus pulang," kata Cintia akhirnya, melihat waktu yang semakin malam.
Raditya mengangguk. "Aku anterin?"
Cintia tersenyum sopan. "Nggak usah, aku bisa sendiri."
Raditya mengangkat bahu. "Baiklah. Sampai ketemu lagi, Cin."
Cintia hanya tersenyum sebelum beranjak pergi. Saat ia keluar dari kafe, langkahnya terasa lebih ringan. Ia tahu ini baru awal, tapi satu hal yang pasti: jebakannya sudah mulai terpasang.
Beberapa minggu berikutnya, Cintia terus membangun kedekatannya dengan Raditya. Ia memainkan perannya dengan sempurna—menjadi sosok yang ramah, misterius, tapi cukup menarik untuk membuat Raditya semakin penasaran.
Hingga akhirnya, malam itu tiba.
Raditya mengundangnya ke sebuah acara pesta di sebuah hotel mewah. "Datanglah, Cin. Ini acara kecil-kecilan aja, nggak terlalu formal. Kamu pasti suka."
Cintia berpura-pura ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah. Aku datang."
Saat malam itu tiba, Cintia mengenakan gaun hitam sederhana. Ia masuk ke dalam ruangan penuh dengan orang-orang berkelas, tetapi matanya hanya terfokus pada satu orang: Raditya.
Raditya menyambutnya dengan senyum lebar. "Akhirnya kamu datang juga."
Cintia tersenyum kecil. "Aku penasaran seperti apa acaranya."
Raditya tertawa. "Ayo, aku kenalkan ke beberapa teman."
Malam itu, Cintia bermain dengan hati-hati. Ia berbaur, mendengarkan, dan mengumpulkan informasi. Setiap kata yang diucapkan Raditya, setiap gerak-geriknya, ia amati dengan saksama.
Dan kemudian, saat pesta mulai sepi, Raditya menawarkannya segelas minuman. "Coba ini, Cin. Favoritku."
Cintia menerima gelas itu, tapi ia hanya memegangnya tanpa benar-benar meminumnya.
Raditya tersenyum. "Kamu percaya sama aku, kan?"
Cintia menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Tentu saja."
Tapi dalam hatinya, ia berkata:
"Tunggu saja, Raditya. Aku akan pastikan kamu merasakan apa yang dulu kamu lakukan padaku."
Malam itu adalah awal dari akhir bagi Raditya. Ia hanya belum menyadarinya.
tetel semangat ya Cintia
jadi Mak yg merasa takut tauuu
ambil hikmah dari kejadian dlu. it yg membuat km bertahan smpe skg
sebenarnya Cintia mimpi mu adakah gambaran yg terjadi kelak,rasa luka yg membawa dendam dan rasa dendam yg akan membawa celaka
apa sakit thor
mampir juga ya di cerita aku