NovelToon NovelToon
Balas Dendam Psikopat

Balas Dendam Psikopat

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Misteri / Balas Dendam / Horror Thriller-Horror / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan
Popularitas:6.6k
Nilai: 5
Nama Author: Maurahayu

Cintia tumbuh di lingkungan yang penuh luka—bukan cinta yang ia kenal, melainkan pukulan, hinaan, dan pengkhianatan. Sejak kecil, hidupnya adalah derita tanpa akhir, membuatnya membangun dinding kebencian yang tebal. Saat dewasa, satu hal yang menjadi tujuannya: balas dendam.

Dengan cermat, ia merancang kehancuran bagi mereka yang pernah menyakitinya. Namun, semakin dalam ia melangkah, semakin ia terseret dalam kobaran api yang ia nyalakan sendiri. Apakah balas dendam akan menjadi kemenangan yang ia dambakan, atau justru menjadi neraka yang menelannya hidup-hidup?

Ketika masa lalu kembali menghantui dan batas antara korban serta pelaku mulai kabur, Cintia dihadapkan pada pilihan: terus membakar atau memadamkan api sebelum semuanya terlambat.
Ikuti terus kisah Cintia...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maurahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 33 BENCI YANG MULAI MEMUDAR.

Waktu berlalu tanpa terasa. Cintia masih duduk di samping Araf, membiarkan kepalanya bersandar di bahu laki-laki itu. Pantai Tamansari begitu sunyi di malam hari, hanya suara deburan ombak dan angin yang menjadi latar bagi keheningan mereka.

Araf mengeratkan genggaman tangannya di jemari Cintia, mengusapnya perlahan dengan ibu jarinya. "Apa yang kamu pikirkan sekarang?" tanyanya pelan.

Cintia menghela napas panjang. "Aku nggak tahu."

Araf tersenyum kecil. "Kamu pasti tahu."

Cintia diam sesaat, lalu dengan suara hampir tak terdengar, ia berkata, "Aku takut kalau aku akhirnya berhenti membenci, aku nggak akan punya alasan buat terus berjalan."

Araf menatapnya, matanya penuh pemahaman. "Dan kalau aku bilang, kamu bisa berjalan dengan alasan yang lain?"

Cintia mengangkat kepalanya, menatap mata Araf yang begitu dekat dengannya. "Seperti apa?"

Araf mengangkat tangan, menyelipkan sehelai rambut Cintia yang tertiup angin ke belakang telinganya. Sentuhannya lembut, membuat jantung Cintia berdetak lebih cepat.

"Seperti hidup untuk sesuatu yang lebih dari sekadar balas dendam," jawab Araf pelan. "Seperti hidup untuk seseorang yang peduli sama kamu, yang ingin kamu tetap ada."

Hatinya mencelos. Cintia tahu apa maksud Araf.

Hidup untuk dirinya.

Hidup untuk mereka.

Hidup untuk sesuatu yang lebih dari luka dan kebencian.

"Aku nggak tahu bisa atau nggak," bisik Cintia.

Araf tersenyum, menatapnya penuh keyakinan. "Kamu nggak harus tahu sekarang."

Cintia menahan napas. Mata mereka saling bertaut, dan dalam jarak sedekat ini, ia bisa merasakan kehangatan Araf begitu nyata.

Lalu, tanpa berpikir panjang, ia bergerak lebih dekat, bibirnya menyentuh bibir Araf dengan perlahan.

Ciuman itu bukan sesuatu yang tergesa-gesa atau penuh gairah. Itu adalah ciuman yang penuh dengan ketakutan dan harapan. Ciuman yang mengakui bahwa ada sesuatu yang perlahan tumbuh di antara mereka—sesuatu yang bahkan Cintia sendiri masih takut untuk mengakuinya.

Araf membalas dengan lembut, membiarkan Cintia mengambil kendali. Tidak ada paksaan, hanya kehangatan yang ia tawarkan.

Ketika akhirnya mereka berpisah, Cintia menatap Araf dengan napas yang masih belum stabil.

"Aku takut," katanya lagi, seperti sebuah pengakuan yang jujur dari lubuk hatinya.

Araf mengusap pipinya dengan lembut. "Aku juga."

Cintia terdiam, lalu tanpa ragu, ia kembali menyandarkan kepalanya di dada Araf.

Untuk malam ini, ia membiarkan dirinya percaya.

Untuk malam ini, ia membiarkan dirinya jatuh.

Dan mungkin, hanya mungkin, ia tidak perlu jatuh sendirian.

......................

Pagi di Tamansari selalu datang dengan kesunyian yang lembut, disertai angin pantai yang membawa aroma asin khas laut. Cintia sudah kembali dengan rutinitasnya—bekerja di toko kelontong milik Bu Rini.

Ia menyusun rak, mengecek stok barang, dan sesekali melayani pelanggan yang datang. Dari luar, tidak ada yang berbeda darinya. Tidak ada yang tahu bahwa semalam ia hampir saja membiarkan hatinya terbuka untuk seseorang.

Dan seperti yang sudah bisa ditebak, Araf muncul.

Laki-laki itu masuk ke dalam toko dengan santai, menyandarkan lengannya di etalase kaca yang berisi berbagai makanan ringan. "Pagi, Cin," sapanya dengan senyum khasnya.

Cintia meliriknya sekilas, lalu melanjutkan pekerjaannya. "Pagi."

Araf mengambil satu bungkus permen dari rak, menggulung-gulung plastiknya tanpa membuka. "Udah sarapan?"

Cintia mendesah pelan. "Kamu nggak bosan nanya itu tiap hari?"

Araf terkekeh. "Nggak. Soalnya jawabannya selalu sama. Kamu pasti belum makan, kan?"

Cintia melipat tangan di dadanya, menatap Araf dengan ekspresi setengah jengkel, setengah geli. "Aku bisa jaga diri sendiri, Araf."

"Tapi aku suka jaga kamu," balas Araf cepat, membuat Cintia terdiam sesaat.

Matanya menatap laki-laki itu lebih lama dari yang seharusnya, lalu ia menghela napas dan kembali menyusun barang di rak.

Araf mengangkat bahu, lalu menaruh sekotak roti dan sebotol susu di meja kasir. "Kalau gitu, aku beli ini."

Cintia mengernyit. "Buat apa?"

Araf menyengir. "Buat kamu, tentunya."

Cintia memutar mata. "Araf—"

"Anggap aja terima kasih karena kamu udah izinin aku nemenin kamu di pantai semalam," potong Araf.

Cintia terdiam lagi. Ia benci bagaimana laki-laki itu bisa mengatakan sesuatu yang sederhana tapi membuat hatinya kacau.

Akhirnya, ia mengambil barang yang Araf beli dan menaruhnya di samping meja. "Aku terima. Tapi besok jangan beli lagi."

Araf tersenyum, lalu berbisik pelan, "Kita lihat aja besok."

Cintia menggeleng sambil tersenyum tipis. Tanpa sadar, kehadiran Araf sudah menjadi bagian dari kesehariannya—dan itu menakutkan sekaligus membuatnya merasa… nyaman.

Tapi apakah ia bisa benar-benar membiarkan dirinya terbiasa dengan ini?

Ia tidak tahu.

Tapi satu hal yang pasti, Araf selalu ada. Dan untuk saat ini, itu sudah cukup.

......................

Pagi yang Sama, Tapi Berbeda

Matahari pagi mulai meninggi, menyapu jalanan kecil di Tamansari dengan cahaya keemasan yang hangat. Pantai di kejauhan masih sepi, hanya sesekali terdengar suara nelayan yang baru saja kembali dari melaut. Di sudut toko kelontong milik Bu Rini, Cintia menghela napas, menyandarkan punggungnya ke rak yang baru saja ia tata.

Rutinitas ini sudah biasa. Bangun pagi, berangkat ke toko, menyusun barang, melayani pelanggan, lalu pulang ke rumah kecilnya. Tidak ada yang berubah.

Atau setidaknya, seharusnya begitu.

Tapi sejak Araf mulai muncul setiap hari, ada sesuatu yang berbeda.

Dan seperti yang sudah bisa ia duga, bel pintu toko berbunyi.

"Selamat pagi, Bu Rini! Cintia, udah makan belum?"

Cintia bahkan tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Ia hanya mendengus pelan, tapi sudut bibirnya terangkat tanpa ia sadari.

"Kalau kamu udah tahu jawabannya, kenapa masih nanya?" tanyanya, tetap fokus pada pekerjaannya.

Araf tertawa kecil. Ia berjalan menuju etalase kaca, menyandarkan lengannya di sana dengan santai, seperti yang selalu ia lakukan. "Karena aku masih berharap suatu hari jawaban kamu bakal berubah."

Cintia meliriknya sekilas. Araf mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung sampai ke siku, dipadukan dengan celana jeans yang agak lusuh. Meski tampak santai, ada sesuatu dalam caranya berdiri, dalam sorot matanya, yang selalu membuat Cintia merasa... diperhatikan.

Dan itu berbahaya.

"Jangan berharap terlalu tinggi," gumamnya, kembali menyusun barang.

Tapi Araf tetap tersenyum, seperti biasa. "Nggak apa-apa. Aku kan orangnya optimis."

Ia lalu mengambil sekotak roti dari rak, sama seperti kemarin. "Aku beli ini lagi."

Cintia mendesah, berbalik untuk menatapnya. "Araf, aku kan udah bilang—"

"Bukan buat kamu," potong Araf cepat.

Cintia mengerutkan kening. "Oh?"

Araf tersenyum jahil. "Buat aku sendiri."

Cintia mendecak pelan, tapi tidak bisa menahan senyumnya. "Kamu nyebelin, tahu?"

Araf hanya tertawa. Ia membayar rotinya, lalu mengambil botol susu dari tasnya dan menaruhnya di meja. "Ini buat kamu. Aku nggak beli, jadi kamu nggak bisa nolak."

Cintia melipat tangan di dada, menatapnya dengan ekspresi setengah jengkel, setengah geli. "Jadi sekarang kamu pakai strategi baru?"

Araf mengangkat bahu. "Aku kan harus kreatif kalau mau ngurusin kamu."

Cintia terdiam sesaat. Kata-kata Araf begitu ringan, tapi ada sesuatu di dalamnya yang terasa... nyata.

Mengurusinya.

Seakan Araf memang benar-benar ingin ada di sini, ingin menjadi bagian dari kesehariannya.

Dan itu, lebih dari apa pun, membuatnya takut.

Ia mengambil botol susu itu, menatapnya sebentar sebelum akhirnya membuka dan meminumnya tanpa berkata apa-apa.

Araf tersenyum kecil. "Bagus. Akhirnya kamu mau dengerin aku juga."

Cintia menggelengkan kepala, berusaha menutupi sesuatu yang mulai tumbuh di hatinya. "Jangan besar kepala dulu."

Araf tertawa, lalu menyandarkan tubuhnya ke etalase, mengunyah rotinya dengan santai. "Hari ini kamu pulang jam berapa?"

Cintia mengangkat bahu. "Seperti biasa. Kenapa?"

"Aku mau ngajak kamu jalan ke pantai lagi."

Cintia menatapnya dengan kening berkerut. "Buat apa?"

Araf menatapnya balik, matanya sedikit melembut. "Karena aku suka lihat kamu di sana. Kamu kelihatan lebih... bebas."

Jantung Cintia berdebar. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa tidak ada yang berubah saat ia berada di pantai, tapi ia tahu Araf benar.

Di pantai, ia bisa bernapas lebih lega.

Di pantai, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari hanya sekadar dendam yang selama ini memenuhi hidupnya.

Tapi tetap saja, ia tidak ingin mengakuinya.

"Aku nggak janji," katanya akhirnya, pura-pura sibuk dengan pekerjaannya.

Araf hanya tersenyum. "Aku tunggu."

Dan seperti itu, ia pergi—meninggalkan botol susu yang sekarang sudah setengah kosong, dan meninggalkan Cintia dengan pikirannya yang semakin kacau.

 

......................

Sore Hari di Pantai Tamansari.

Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menciptakan semburat jingga keemasan di langit. Angin laut bertiup lebih sejuk, membawa aroma asin yang khas.

Dan seperti yang sudah ia duga, Araf ada di sana.

Ia berdiri di tepi pantai, membiarkan air laut menyentuh kakinya. Saat melihat Cintia datang, ia tersenyum lebar.

"Kamu datang," katanya, seolah itu adalah hal yang luar biasa.

Cintia mendesah pelan, berdiri di sampingnya. "Aku cuma nggak mau kamu bilang aku pengecut."

Araf terkekeh. "Aku nggak bakal bilang gitu. Tapi kalau kamu memang takut, nggak apa-apa kok, Cin."

Cintia menatapnya tajam. "Aku nggak takut."

Araf mengangkat alis. "Oh?"

Cintia menahan napas. Ia tidak suka bagaimana Araf selalu bisa membaca pikirannya.

"Aku cuma..." Ia menghela napas, menatap ombak yang datang dan pergi. "Aku nggak terbiasa."

Araf menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum. "Kalau gitu, kita biasakan."

Ia meraih tangan Cintia, menariknya perlahan ke air. Cintia terkejut, tapi tidak menolak.

"Kita ngapain?" tanyanya, saat air mulai menyentuh kakinya.

Araf tidak menjawab. Ia malah mengguyurkan air ke arah Cintia, membuat gadis itu tersentak kaget.

"Araf!" teriaknya.

Araf tertawa. "Kamu terlalu serius. Santai dikit, Cin."

Cintia mendecak, lalu membalas dengan menyipratkan air ke arahnya.

Dan sebelum mereka sadar, mereka sudah saling melempar air, tertawa seperti anak kecil.

Tidak ada beban. Tidak ada dendam.

Hanya mereka berdua, di bawah langit senja yang indah.

Ketika akhirnya mereka berhenti, napas mereka terengah, dan pakaian mereka basah.

Cintia menatap Araf yang berdiri di hadapannya, dengan mata yang penuh kehangatan.

"Aku nggak tahu apa yang kamu lakukan padaku, Araf," gumamnya pelan.

Araf tersenyum kecil. "Aku juga nggak tahu. Aku cuma tahu aku nggak mau kamu terus hidup dalam kemarahan."

Cintia menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang mulai runtuh dalam dirinya.

Dan mungkin, hanya mungkin, ia mulai mengizinkan dirinya merasa lebih dari sekadar benci.

Mungkin, ia mulai mengizinkan dirinya untuk jatuh.

Dan kali ini, ia tidak takut.

1
Rohmat Rohmat
Semangat update thor
Xinn
Novel sebagus ini thor, kenapa sepi pembaca/Angry/. Alur ceritanya juga bener-bener bagus, tanda baca semuanya sudah sempurna. kenapa sepi
𝐫𝐚.: Terimakasih Kak Xinn/Smile/Semuanya butuh proses, saya juga ingin novel ini jadi Populer👍😊
total 1 replies
Kabir Muh kabir
ini saya efri
𝐫𝐚.: 🥺🥺😭😭Sudah...
total 1 replies
Kabir Muh kabir
ini saya Efri
Kabir Muh kabir
Maura, hubungi saya di sini. 085222285041
Kabir Muh kabir: Maura, HP saya rusak untuk sementara. Jadi kamu hubungi saja dlu saya di sini
total 1 replies
⧗⃟ᷢʷ ☆🅢🅐🅚🅤🅡🅐☆🇮🇩🇸🇩
lanjut thor
Rohmat Rohmat
Plot twist bnr-bnt dapet Thor👍👍
kebanyakan dari lingkungan gw, ya emang gitu. baik support kita nyatanya orang yg seperti itu yg berbahaya. Keren Thor.
𝐫𝐚.: Semua lingkungan pasti ada deh Kak/Smile/
total 1 replies
Feyza
romantisnya Araf 🌹🌹🌹😍
◄⏤͟͞✥≛⃝⃕💞ᴹᴿ᭄°Knight⁹⁹🦅™࿐
Lanjutkan tetap semangat berkarya
⧗⃟ᷢʷ ☆🅢🅐🅚🅤🅡🅐☆🇮🇩🇸🇩
nah loh dari siapa pesen anonim it
⧗⃟ᷢʷ ☆🅢🅐🅚🅤🅡🅐☆🇮🇩🇸🇩
astaghfirullah aldzim kok Cintia jahat banget, kenapa ikutan jahat juga. sama aja dunk kamu sama Luna kl sprti it
𝐫𝐚.: Itu hanya permainan, yang jahat itu langsung di mutilasi 🤪🙈
total 1 replies
Sylvia Rosyta
semangat
🇮  🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
kalau saja dia bisa pergi 😭
🇮  🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
duh dipaksa padahal alergi.
🇮  🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
ya Allah satu tahun masih kecil banget 😭😭😭
🇮  🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
/Whimper//Whimper//Whimper/
Ciya Syakiya
pengertian banget
BAPAK
mampir
Sylvia Rosyta
aku padamu araf.
aku mampir kak, kalau ada waktu boleh lah support balik ke karya baru aku ok👌🤭
𝐫𝐚.: Sipp, otw
total 1 replies
𝒀𝑶𝑺𝑯𝕌𝔸ˢ
wah, peningkatan tajam. nasari, diksi, dialog, detail penulisan, keren👍. Tinggal lakunya aja👏
𝒀𝑶𝑺𝑯𝕌𝔸ˢ: typo lagi, #narasi
𝐫𝐚.: Terimakasih..
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!