Memiliki anak tanpa suami membuat nama Cinta tercoret dari hak waris. Saudara tirinya lah yang menggantikan dirinya mengelola perusahaan sang papa. Namun, cinta tidak peduli. Ia beralih menjadi seorang barista demi memenuhi kebutuhan Laura, putri kecilnya.
"Menikahlah denganku. Aku pastikan tidak akan ada lagi yang berani menyebut Laura anak haram." ~ Stev.
Yang tidak diketahui Cinta. Stev adalah seorang Direktur Utama di sebuah perusahaan besar yang menyamar menjadi barista demi mendekatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5~ DUPLIKAT CABE SETAN
Cinta berjalan dengan tergesa-gesa menuruni tangga. Begitu melewati ruang tengah, ia berhenti sejenak saat melihat papa Haris sedang duduk di sofa tunggal sambil membaca koran.
Jika kemarin-kemarin ia ikut bersikap acuh, tapi sekarang sepertinya tidak ada salahnya jika ia mencoba untuk mendekatkan diri lagi pada sang papa.
Ia tidak berharap posisinya sebagai pewaris dikembalikan. Papa Haris mau menerima keberadaan Laura sebagai cucunya saja itu sudah cukup baginya.
Papa Haris tak bergerak sedikitpun dari posisinya begitu mendengar suara langkah seseorang yang mendekatinya. Dari aroma parfum ia tahu itu adalah Cinta.
"Pa, aku pamit ya." Cinta mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan sang papa.
Namun, papa Haris sama sekali tak menghiraukan. Ia fokus dengan koran yang dibaca dan seolah tidak ada siapapun di dekatnya.
Cinta kembali menarik tangannya. Ada rasa sesak di dada atas perlakuan papanya. Namun, ia harus kuat menghadapi ini semua demi Laura putri kecilnya.
Ia pun berbalik, melangkah dengan cepat keluar rumah sambil menahan agar air matanya tidak jatuh. Ia hampir saja menabrak mama Ratih yang berpapasan dengannya. Beruntung ia cepat bergeser dan kembali melanjutkan langkahnya dengan cepat. Jika tidak, sudah pasti akan terjadi keributan pagi ini.
"Punya mata gak sih? Dasar anak gak guna!"
Cinta masih bisa mendengar makian itu, namun itu tidak lebih menyakitkan dibanding sikap dingin sang papa.
Di sisi lain...
Indri dibuat kesal kala mobilnya hendak keluar, tapi sebuah motor menghadangi jalannya.
Ia menurunkan kaca mobil dan menyembulkan kepala. "Hei, cepat singkirkan motor butut mu itu!" teriaknya sambil menekan klakson.
Vano pun mendorong motor sewaannya itu menyingkir. Beruntung ia tak melepas helm sehingga Indri tidak melihat wajahnya.
Meski motor itu sudah tak menghadang jalannya. Tapi Indri tidak langsung pergi. Ia turun dari mobil untuk melihat siapa sebenarnya pengendara motor itu.
Hal tersebut membuat Vano sedikit gelagapan. Namun, sebisanya ia bersikap tenang.
"Hei, kamu siapa dan apa tujuan kamu kesini?" tanya Indri dengan nada ketus.
Vano tak menjawab. Bisa gawat kalau Indri sampai mengenali suaranya.
"Kamu tuli atau bisu, huh!" tukas Indri yang merasa kesal pertanyaannya tidak di jawab.
Vano mengepalkan sebelah tangannya. Berusaha menahan emosi. Jika tidak sedang menyamar, sudah akan ia beri pelajaran pada rekan kerjanya itu. Ternyata Indri tak sebaik yang ditunjukkan di depannya selama ini. Hanya bersikap manis di depannya, tapi dibelakang sikapnya arogan. Ia semakin hilang respect pada wanita itu.
Cinta yang baru saja keluar dan melihat kakak tirinya tampak memaki Stev. Ia pun berlari kecil menghampiri keduanya.
"Stev, maaf ya, udah buat kamu nunggu."
Indri beralih menatap Cinta. "Astaga, jadi laki-laki ini adalah pacar kamu? Wah, pasangan yang serasi, cocok banget. Yang satu tuli dan bisu. Satunya lagi tukang bawa aib. Kamu beruntung, dia gak akan bisa mendengar dan membicarakan keburukanmu!" Indri tersenyum sinis menatap saudari tirinya.
Nafas Vano mulai memburu mendengar semua cacian Indri terhadap Cinta. Namun, ia harus bisa menahan diri agar penyamarannya tidak terbongkar. Tapi ia bersumpah, suatu saat Indri akan membayar hinaannya ini.
"Stev, ayo kita pergi," ajak Cinta yang tak ingin meladeni celotehan saudari tirinya itu. Terlebih, ia merasa tidak enak hati pada Stev karena ikut menjadi sasaran cacian Indri.
Stev pun mengambil helm yang ada di jok depan kemudian memberikannya pada Cinta. Sebelum naik ke motor, ia melirik tajam pada Indri dari balik helmnya. Ia langsung melajukan motornya dengan kecepatan sedang setelah Cinta duduk di belakangnya.
"Yang tadi itu siapa sih?" tanya Stev setelah berkendara cukup jauh.
"Kakak aku," jawab Cinta.
Sebelah alis tebal Stev terangkat. "Tapi kayak saudara tiri ya? Ngomongnya pedas banget ngalahin cabe rawit setan. Tahu aja kalau harga cabe sekarang lagi naik. Kamu tahan banget punya saudara kayak dia. Kalau aku, sudah aku jual di pasar!"
Cinta terkekeh mendengar gerutuan Stev. Indri memang saudari tirinya, tapi ia rasa tak perlu mengatakannya pada pria itu.
Sepanjang jalan, Stev terus mengajaknya mengobrol. Kekhawatiran Cinta kemarin terpatahkan yang mengira Stev akan ikut menjauhinya setelah tahu ia punya anak tanpa suami.
Sesampainya di cafe, keduanya melangkah masuk bersama. Tiba di depan meja bar, Stev pamit ke toilet. Ia menghubungi Maura sekretarisnya.
"Ada apa, Pak?" tanya Maura begitu menjawab telepon dari sang bos.
"Aku ada tugas untuk kamu," ucap Stev dengan suara seperti berbisik. Takut ada yang mendengarnya.
"Tugas apa, Pak?"
"Indri, ternyata dia itu kakaknya Cinta. Aku mau kamu selidiki perempuan itu. Dia sepertinya tidak menyukai Cinta, aku jadi ragu kalau sebenarnya mereka bukan saudara kandung."
"Hanya itu, Pak?" tanya Maura lagi.
"Untuk sementara itu dulu," jawab Stev.
"Baik, Pak. Aku akan segera menyelidiki Bu Indri," kata Maura.
"Terima kasih." Stev pun mengakhiri panggilan.
Sebelum kembali ke meja bar, ia terlebih dahulu menemui Sean di ruangannya. Pria itu sedang berbicara melalui sambungan telepon saat ia masuk.
Sean melirik ke arah pintu yang terbuka. Melihat kedatangan Vano, ia lantas mengakhiri sambungan teleponnya.
"Aku tutup teleponnya dulu. Nanti aku hubungi lagi." Setelah menyimpan ponselnya di atas meja. Ia menatap lekat Stev alisa Vano yang telah duduk di hadapannya. Melihat raut wajah pria itu sedikit kusut, ia langsung dapat menebak jika ada sesuatu yang berhubungan dengan Cinta.
"Ada apa lagi, sih?" tanyanya.
"Ada dua hal yang mau aku bicarakan sama kamu. Dan aku yakin kamu pasti akan terkejut setelah mendengarnya," ujar Stev.
Sean pun merubah posisi duduknya menjadi tegap. Menatap Stev dengan serius. "Oke, aku siap mendengarnya. Yang pertama dulu."
"Pertama, ternyata Indri rekan kerjaku itu adalah kakaknya Cinta. Perusahaannya bukan perusahaan kecil, dan coba kamu pikir. Bagaimana bisa Cinta malah jadi Barista, bukannya bergabung di perusahaan keluarganya?"
Sean memang sedikit terkejut mengetahui fakta itu. Ternyata, barista cantiknya adalah anak konglomerat. "Terus, apa yang kedua?" tanya Sean penasaran.
"Kedua, ternyata Cinta sudah punya anak. Usianya kira-kira 1 tahun."
Sean lebih terkejut lagi mendengarnya. Sangat jelas dalam surat lamaran kerja yang disodorkan Cinta saat itu, disitu tertulis data dirinya dan status Cinta masih lajang.
"Tunggu?" Sean tiba-tiba teringat sesuatu. Tatapannya kian lekat pada Stev. "Atau jangan-jangan, anaknya Cinta adalah... ."
"Aku lagi memikirkan cara bagaimana aku bisa melakukan tes DNA pada anak itu," potong Stev. Tadi saat menjemput Cinta, ia berharap bisa melihat bagaimana wajah anak itu. Tapi ia malah justru melihat duplikat cabe setan yang membuat darahnya serasa mendidih. Mengingat Indri dan semua kata-kata pedasnya tadi, emosinya jadi naik lagi.
Sean pun nampak berpikir. "Ah, aku tahu bagaimana caranya." Ia mengembangkan senyum kala mendapatkan ide untuk mempertemukan Stev dan anaknya Cinta.
"Bagaimana caranya?" tanya Stev tak sabar.