Tidak pernah Jingga bayangkan bahwa masa mudanya akan berakhir dengan sebuah perjodohan yang di atur keluarganya. Perjodohan karena sebuah hutang, entah hutang Budi atau hutang materi, Jingga sendiri tak mengerti.
Jingga harus menggantikan sang kakak dalam perjodohan ini. Kakaknya menolak di jodohkan dengan alasan ingin mengejar karier dan cita-citanya sebagai pengusaha.
Sialnya lagi, yang menjadi calon suaminya adalah pria tua berjenggot tebal. Bahkan sebagian rambutnya sudah tampak memutih.
Jingga yang tak ingin melihat sang ayah terkena serangan jantung karena gagalnya pernikahan itu, terpaksa harus menerimanya.
Bagaimana kehidupan Jingga selanjutnya? Mengurus suami tua yang pantas menjadi kakeknya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Alifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENGAGUMI
Sore itu begitu indah. Cahaya jingga begitu menawan menghiasi langit. Terlihat keemasan di antara gumpalan awan putih yang menggantung di langit Biru.
Mobil sport berwarna putih melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota. Sesekali mobil itu berhenti di antara kemacetan ibu kota, berbaur bersama kendaraan lainnya. Pun saat lampu rambu-rambu lalu lintas menyala merah, kendaraan mengantai dan berhenti mengikuti arahan dari lampu tersebut.
Seperti saat ini, lampu rambu lalu lintas menyala merah, membuat seorang pria tampan menghentikan laju kendaraannya. Lalu perempuan yang duduk di sebelahnya membuka kaca jendela mobil saat seorang anak kecil menghampiri mobilnya seraya bernyanyi.
Pria itu ingin menegur, karena menurutnya itu berbahaya. Tapi melihat senyum tulus dari perempuan itu membuatnya urung bicara.
Adalah Langit dan Jingga. Sepasang suami istri yang masih melakukan kegiatan diam mendiami setelah kejadian mengejutkan beberapa saat yang lalu.
Langit diam karena Jingga belum mengatakan apapun lagi sejak mereka menaiki mobil. Sementara Jingga mendiami Langit karena rasa kesalnya masih ada meski ia sudah memberikan sebuah hukuman pada pria itu.
"Suara kamu bagus, dek." Komentar Jingga saat anak kecil yang berusia kisaran Sepuluh tahun itu menghentikan nyanyiannya.
"Terima kasih kak, boleh minta sedikit rezekinya tidak?" Tanya anak tersebut dengan polos.
“Tentu dek, sebentar..” Jingga membuka tasnya, mengambil beberapa lembar uang berwarna merah, “Ini buat kamu, semoga bermanfaat,” ucap Jingga dengan tulus.
Anak itu menatap uang di tangan Jingga lalu beralih menatap Jingga, “Ini terlalu banyak kak, uang kecil saja.”
Jingga menggeleng, “Ini rezeki buat kamu, ambilah! Sebelum lampunya berubah hijau..”
Sontak anak itu menoleh pada lampu merah yang menunjukan waktu beberapa detik lagi saja. Dengan terburu-buru ia mengambil uang yang Jingga sodorkan, “Terima kasih kak. Semoga kakak selalu bahagia,” doanya dengan tulus.
“Amiin, terima kasih. Semoga kita bisa bertemu lagi,” pesan Jingga sebelum akhirnya ia melambaikan tangan saat lampu merah sudah kembali berubah hijau. Ia menutup kaca pintunya ketika mobil mulai kembali melaju.
“Sayang..” panggil Langit. Pria itu masih kagum pada istrinya.
Jingga tak menjawab, tapi ia menoleh.
“Kenapa kamu memberikan uang yang begitu banyak pada anak itu?” Tanya Langit, bukan ia tak setuju dengan yang Jingga lakukan, ia justru merasa bangga pada istrinya itu, hanya saja ia ingin tahu alasan Jingga.
“Karena di balik rezeki yang aku dapatkan ada hak mereka. Kamu memberi aku uang yang sangat banyak setiap bulannya, aku hanya ingin berbagi.”
Langit tersenyum mendengar jawaban istrinya. Ia mengusap puncak kepala Jingga dengan lembut lalu kembali fokus pada jalanan yang di laluinya. Tanpa Jingga ketahui, Langit pun tahu bahwa sang istri kerap berbagi di salah satu panti asuhan dan panti jompo. Karena setiap bulan ada notifikasi masuk ke ponselnya dari salah satu bank, laporan pengeluaran keuangan yang Jingga gunakan. Dan ternyata Jingga menggunakan uang pemberiannya untuk hal-hal yang sangat baik, menyantuni panti asuhan juga panti jompo.
Dan yang lebih membuat Langit terkejut adalah, Jingga hanya menggunakan uang darinya sedikit saja untuk keperluan pribadi perempuan itu. Sisanya Jingga gunakan untuk berbagi, juga berbagi pada kedua orang tuanya. Padahal Langit sendiri pun setiap bulan rutin memberi uang untuk kedua orang tua Jingga tanpa sepengetahuan perempuan itu. Meski awalnya Hardi menolak, tapi Langit tak putus asa membujuk sampai akhirnya mertuanya itu mau menerima uang darinya.
Mereka kembali diam, menghabiskan sisa waktu perjalanan dengan berselancar di pikiran masing-masing.
***
“Ayah, tadi ibu dengar ada suara Jingga. Mana dia?” Yaya yang baru saja akan keluar rumah bertanya di ambang pintu. Ia mendengar suara Jingga dan bermaksud melihatnya keluar, tapi saat ia mengedarkan pandangannya, yang ada hanya suaminya saja juga Mega yang berlari melewatinya begitu saja.
“Jingga sudah pulang, dia sudah tahu semuanya bu,” jelas Hardi.
Yaya mengerutkan dahinya, “Maksud ayah?”
“Tentang Langit, dia sudah tahu. Mega yang memberitahunya,” jelas Hardi lagi.
“Ya Tuhan..” Yaya terkejut, terkejut karena tak menyangka ternyata Mega juga tahu dan membongkar semuanya pada Jingga, kenapa Mega melakukan itu? “Lalu, apa Jingga marah? Dia pasti marah karena kita juga membohonginya.”
Hardi mengangguk, “Tapi semuanya sudah baik-baik saja. Jingga dan Langit sudah pulang bersama, besok kita akan ke rumah mereka. Jingga ingin kita makan malam disana, ayah juga harus meminta maaf dan menjelaskan semuanya. Ayah tidak mau Jingga salah faham pada Langit, dia harus tahu apa alasan Langit melakukan penyamaran.”
Yaya mengangguk menyetujui, ia juga ingin meminta maaf pada putri bungsunya itu.
“Kenapa Mega melakukan itu ayah? Ibu harus bicara padanya,” Yaya berbalik hendak menemui Mega, tapi Hardi menahan tangannya, membuatnya kembali menoleh dan menatap sang suami, “Kenapa ayah?”
“Ayah sudah menegurnya, ayah rasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk bicara lagi dengannya. Biarkan semuanya membaik dulu, pelan-pelan kita akan menasihatinya, Bu.”
Yaya menghela nafas panjang, dan akhirnya mengangguk menyetujui.
***
Semilir angin malam menerpa permukaan kulit wajah Jingga. Ia tengah berdiri di balkon kamarnya menatap kelip bintang di langit malam. Bulan sabit seperti tersenyum padanya, sangat indah dan membentuk senyuman sempurna. Jingga memejamkan mata, angin malam ini benar-benar menyegarkan.
Gaun malam berwarna hitam tampak begitu kontras dengan kulit putihnya, gaun itu bergerak-gerak tertiup angin. Pun dengan rambut panjangnya yang tergerai begitu saja, terlihat bergerak mengikuti arah mata angina berhembus.
Perempuan itu tersentak saat dua tangan kekar melingkar di perutnya. Ia mengenali wangi itu, wangi tubuh seseorang yang memeluknya dari belakang.
“Aku mencarimu,” bisik Langit.
Sepulang mereka dari rumah Hardi, Langit membiarkan Jingga sendiri dulu. Di tambah lagi ia memang ada pekerjaan penting yang membuatnya harus meeting mendadak di ruang kerja bersama Alex yang mendatanginya ke rumah. Ia mencari Jingga, ternyata perempuan itu ada di balkon.
“Untuk apa mencariku?”
Dari suaranya yang masih terdengar dingin, Langit tahu Jingga masih kesal padanya. Ia lalu melonggarkan dekapannya, meraih kedua bahu istrinya kemudian ia balikkan perempuan itu agar berhadapan dengannya. “Kamu masih marah?” Tanyanya dengan lembut, “Katanya mau meneruskan hukumanku di kamar, aku menunggu itu,” goda Langit.
Jingga berdecak, bahkan hanya mendengar suara lembut pria itu saja hatinya berdebar-debar tak karuan, “Aku masih marah sama kamu. Jangan ngomong selembut itu,” rengeknya.
Langit menahan tawa, “Kenapa?” tanyanya.
“Ya karena aku gak kuat. Suaramu membuat aku meleleh,” ucap Jingga dengan polos.
Kali ini Langit tak bisa lagi menahan tawanya, pria itu tertawa lalu menggigit ujung hiodung mancung istrinya dengan gemas. Membuat perempuan itu mengaduh dan memprotes.
“Sakit, kenapa menggigitku?”
“Kamu terlalu menggemaskan, sayang. Ayolah, hukum aku. Atau aku yang akan menghukummu karena sudah membuat aku cemas,” ucap Langit dengan sisa tawa yang masih menghiasi wajah tampannya.
“Kamu aneh, dimana-mana, tidak ada orang yang mau di hukum. Kenapa kamu justru memintanya?” Tanya Jingga.
“Karena aku yakin hukuman darimu akan menyenangkan. Aku sangat ingin merasakan hukuman itu,” ucap Langit lagi.
Jingga mencebik, ia mengerti kemana arah pembicaraan suaminya. Ia hendak kembali berbalik membelakangi Langit, tapi pria itu tiba-tiba menggendongnya dan membuatnya memekik.
“Maaaas…”
“Aku saja yang akan menghukummu,” ucap Langit lalu membungkam bibir ranum istrinya dengan bibirnya. Ia tak akan membiarkan perempuan itu marah lagi padanya, rasanya tak tahan melihat Jingga menangis dan bersikap dingin padanya.
Malam itu akan menjadi malam yang panjang untuk Jingga dan Langit. Entah berapa kali Langit membuat Jingga melenguh dan memanggil namanya. Ia berharap aka nada Langit junior atau Jingga junior yang melengkapi kisah mereka.