Lintang Ayu Sasmita merasa terguncang saat dokter mengatakan bahwa kandungannya kering dan akan sulit memiliki anak. Kejadian sepuluh tahun silam kembali menghantui, menghukum dan menghakimi. Sampai hati retak, hancur tak berbentuk, dan bahkan berserak.
Lintang kembali didekap erat oleh keputusasaan. Luka lama yang dipendam, detik itu meledak ibarat gunung yang memuntahkan lavanya.
Mulut-mulut keji lagi-lagi mencaci. Hanya sang suami, Pandu Bimantara, yang setia menjadi pendengar tanpa tapi. Namun, Lintang justru memilih pergi. Sebingkai kisah indah ia semat rapi dalam bilik hati, sampai mati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dalang di Balik Pelecehan Lintang
Karena Lintang bersikeras datang, Pandu tak bisa menolak. Ia menuruti keinginan istrinya itu dengan catatan di sana nanti tak boleh menjauh dari Pandu.
Lintang tak keberatan. Pikirnya, mungkin nanti juga tidak akan lama di sana. Lintang hanya ingin memberikan hadiah untuk Nada dan melihat kondisi ibunya. Itu saja. Dia tak ada minat untuk bertahan sampai pesta usai.
Andai saja kemarin Ningrum tidak meneleponnya dan menyalahkannya, malam ini Lintang lebih memilih di rumah. Tak usah datang ke acara pesta yang diadakan Utari.
Walaupun wanita itu adalah kakak kandungnya, tetapi sampai kapanpun Lintang tidak akan bisa menjalin hubungan harmonis layaknya saudara pada umumnya. Karena apa yang pernah dilakukan Utari dan juga Albi, Lintang tidak akan pernah lupa. Jangankan sampai tua, bahkan sampai mati pun, Lintang akan tetap ingat.
'Motornya Mas Albi mogok di ujung sana, kamu antarin kunci pas ini ya biar Mas Albi bisa membenahi motornya.'
Kalimat keramat yang tak akan pernah Lintang lupa. Bagaimana dulu Utari menyuruhnya mengantar kunci pas pada Albi, yang katanya menunggu di ujung gang, di dekat rumah kosong.
Sebenarnya, Lintang sempat menolak karena saat itu sedang menyiapkan sayur untuk dimasak sebelum makan malam nanti. Namun, Utari memaksa dengan alasan dirinya sibuk, sementara tidak ada orang lagi di rumah. Orang tua mereka sedang menghadiri acara pernikahan saudara, malam baru pulang.
Akhirnya dengan terpaksa Lintang menuruti keinginan Utari. Kesalahan terbesar dalam hidupnya, karena sama saja dengan memupus masa depannya sendiri.
Sore itu ... di rumah kosong itu ... kehormatannya direnggut paksa oleh tiga pria durjana. Ia menangis, menjerit, dan memberontak, tetapi pria-pria itu tuli dan enggan melepasnya. Dalam keputusasaan, Lintang melihat sekelebat bayangan Albi, tersenyum sambil berlalu pergi.
Lintang tak sadar sampai berapa lama ia dilecehkan. Ia pingsan karena tak sanggup menahan sakit yang mendera tubuhnya. Sampai malam datang menyapa, gelap dan gerimis itu menyelimuti tubuh Lintang yang masih telan-jang. Tiba-tiba seorang pria membangunkannya, pria yang beberapa waktu lalu turut menjamahnya.
Dunia Lintang runtuh saat pria itu dengan cerdiknya memutarbalikkan fakta. Albi dan Utari pun turut serta, memojokkan dirinya dan memaksa mengakui bahwa kejadian itu adalah murni keinginannya. Semua orang jadi beranggapan betapa murahnya dirinya, rela menyerahkan keperawanan pada lelaki yang hanya berstatus pacar.
Dalam beberapa waktu, Lintang bisa mendengar caci maki yang ditujukan padanya. Mulut-mulut keji itu dengan ringannya menghakimi, seolah paling tahu apa yang terjadi. Padahal, apa yang terlihat di permukaan berbanding terbalik dengan kenyataan. Namun, siapa yang peduli? Semua manusia itu malah dengan senang hati menjadikannya bahan gosip dan tolak ukur seburuk-buruknya anak gadis.
Ningrum dan Handoko adalah harapan terakhir Lintang. Sebagai orang tua, Lintang berharap mereka bisa memeluk dan mempercayainya. Namun, sungguh sial, mereka lebih percaya dengan omongan Albi dan Utari. Lebih sialnya lagi, tak berselang lama Ningrum justru menjalin hubungan besan dengan pria laknat itu, pria yang tak lain adalah ayahnya Rayana.
"Sayang, melamunkan apa?"
Lintang mengerjap dan melupakan bayangan silam. Lalu menatap Pandu sambil tersenyum.
"Nggak apa-apa, Mas."
"Yakin?"
"Mmm."
Lintang mengangguk. Lantas kembali menatap bayangan dirinya di cermin. Cukup cantik. Tubuhnya yang sintal dibalut dress panjang warna putih hitam, dengan motif bunga-bunga kecil di bagian bawah. Rambutnya digerai dan wajahnya dirias tipis. Penampilan yang sederhana, tetapi sudah menampilkan ayu parasnya.
"Mobilnya sudah di depan. Kalau kamu udah siap, ayo kita berangkat," ajak Pandu.
Dia sengaja menyewa jasa mobil untuk mengantar ke rumah Ningrum. Demi kenyamanan Lintang yang kala itu memakai dress, juga antisipasi kalau saja turun hujan. Mengingat akhir-akhir ini hujan sering datang tanpa aba-aba. Lagi pula, mereka hanya sebentar. Menyewa jasa mobil juga tidak sampai beratus-ratus ribu.
"Ayo, Mas!"
Sebelum melangkah keluar, Lintang terlebih dahulu mengambil tas selempang terbaiknya, juga membawa kotak hadiah yang berisi dua stel baju, lengkap dengan sepatu dan aksesori lainnya.
Sambil berjalan keluar, Pandu terus merangkulnya. Bahkan, sampai masuk mobil, Pandu yang membukakan pintu untuknya. Mereka duduk bersama di bangku penumpang, sementara di bangku depan hanya sopir seorang.
______
Hampir jam tujuh malam Pandu dan Lintang tiba di kediaman Ningrum. Sudah banyak mobil dan motor yang terparkir di halaman, sepertinya saudara-saudara lain sudah banyak yang datang.
Dari dulu, paman dan sepupu dari ayahnya memang banyak yang tinggal di kota itu. Jadi setelah mereka pindah, hubungan persaudaraan makin dekat. Ya, meski hanya berlaku untuk Ningrum, Albi, dan Utari. Sementara Lintang, siapa yang menganggapnya?
Meski perasaan tidak nyaman, tetapi Lintang tetap melangkah masuk. Tangannya terus digenggam oleh Pandu, dan itu sedikit membuatnya lebih tenang.
Memasuki ruang tamu, Lintang dan Pandu langsung disambut dengan banyaknya balon, bunga, dan pita warna-warni yang menghiasi ruangan itu, juga lalu lalang orang dan anak-anak kecil yang tampak asyik menikmati kue-kue suguhan.
Belum sempat Lintang menyapa ibu atau keluarga lainnya, seorang wanita paruh baya lebih dulu mendatanginya dengan tatapan sinis.
"Baru datang, Lin?"
Nada suaranya sangat tidak enak didengar, pun dengan ekspresi wajahnya. Sangat keruh. Dia adalah Tante Nurma, istri dari adiknya Handoko.
"Dari dulu kamu itu nggak berubah ya, nggak pernah peduli dengan urusan keluargamu sendiri. Utari mau merayakan ulang tahun Nada, keponakanmu. Tapi, kamu malah datang kayak tamu. Padahal kamu nganggur, kan? Aslinya bisa kan datang ke sini dari pagi, bantu-bantu mbak dan ibumu menyiapkan semuanya. Rayana saja yang rumahnya di luar kota, dari pagi-pagi buta sudah sampai sini. Seharian bantu masak dan menata ini-itu."
Bersambung...
semoga aja ada orang yang merekam dan melaporkan ke pihak kepolisian dan mengusut tuntas kebenaran nya itu dan orang2 yang terlibat ditangkap serta dihukum
Konspirasi apa lg tuh antara Alby dan Utari , Rayana sekarang kamu tahu siapa suami dan bapak mu