Mencari Daddy Sugar? Oh no!
Vina Rijayani, mahasiswi 21 tahun, diperhadapkan pada ekonomi sulit, serba berkekurangan ini dan itu. Selain dirinya, ia harus menafkahi dua adiknya yang masih sangat tanggung.
Bimo, presdir kaya dan tampan, menawarkan segala kenyamanan hidup, asal bersedia menjadi seorang sugar baby baginya.
Akankah Vina menerima tawaran Bimo? Yuk, ikuti kisahnya di SUGAR DATING!
Kisah ini hanya fantasi author semata😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Jauhi Gadis Itu
Di rumah sakit Pemerintah.
"Selamat pagi Kakak!" Vaniza melambaikan tangannya didepan wajah Vina.
Vina mengerjap beberapa kali, mengumpulkan segenap nyawanya. Ia terlonjak dari kasur begitu penglihatannya sudah cukup jelas melihat penampakan Vaniza yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya.
"Vaniza sudah siap ke sekolah?" Vina memandang heran.
Gadis kecil itu mengangguk gembira.
"Siapa yang mandikan dan bantuin Vaniza berpakaian?" Vina memutar-mutar tubuh adik bungsunya itu, menelisik dari kepala hingga ujung kaki, sudah rapi dan juga wangi.
"Om Bimo!" sahut Vaniza, seraya menunjuk sofa yang semalam digunakan Bimo untuk tidur.
"Daddy? V-Vino?" Vina mengerjap, memandangi adik laki-lakinya yang sedang disuapi oleh Bimo, pandangannya cepat beralih ke ranjang pasien dimana Vino semalam tertidur sebagai pesakitan, disana kosong dan sudah tertata rapi.
"Kamu sudah sembuh Sayang?" Vina beranjak turun dari kasur dengan mata berkaca-kaca.
"Kakak kenapa nangis?" tanya Vino heran, setelah menelan kunyahannya.
"Kakak bahagia melihatmu sudah baikan Sayang." Vina memaksakan senyumnya, menghapus cepat airmata menggunakan punggung tangannya. Lalu berjongkok disebelah Vino, mensejajarkan tubuhnya dengan adik laki-lakinya yang masih terlihat pucat.
"Aku senang bisa lihat kak Vina lagi, aku takut kalau kak Vina tidak pulang-pulang seperti Emak dan Bapak," Vino mengungkapkan apa yang tengah ia rasakan beberapa hari belakangan ini.
Bocah laki-laki itu menghapus airmatanya yang akan jatuh, lalu memeluk Vina begitu erat, takut sang kakak akan menghilang lagi.
Melihat itu, Vaniza ikut memeluk leher belakang Vina.
"Jangan tinggalkan kami lagi, kami takut Kak," isak Vaniza pecah, mengalahkan sesenggukan Vino yang tengah menangis dalam dekapan sang kakak mereka.
Di dekat ketiganya, dada Bimo bergemuruh sesak menyaksikannya, tertimpa rasa berdosa karena telah memisahkan kedua bocah tanggung itu dari sang kakak yang masih sangat mereka butuhkan setelah orang tua mereka tiada.
...***...
"Ayah! Ayah!" suara Gunawan menggema memenuhi rumah. Sudah hampir setengah jam dirinya mencari, tapi tidak menemukan ayahnya dimanapun dalam rumah kontrakannya yang terbilang sempit itu.
"Apaan sih Pi, berisik banget!" Lolita merasa kesal karena tidurnya terganggu, kembali menutup kepalanya dengan selimut tebal, kelopak matanya masih begitu berat setelah semalaman berselancar di sosial medianya.
"Paling keluyuran cari sarapan diluar!" Riska berucap acuh, mengolesi selai nanas pada roti yang telah dipanggang oleh Gunawan.
"Kalian kelewatan! Bisa-bisanya tidak merasa khawatir sedikitpun!" Gunawan menggeram kesal, lalu meninggalkan rumah tanpa sarapan dengan perasaan panik.
...***...
Di rumah sakit Pemerintah.
"Aku sudah bicara dengan Dokter, supaya Vino di izinkan melakukan perawatan di rumah saja. Jadi bersiaplah, setelah mengantarkan Vaniza ke sekolah, aku akan menjemput kalian pulang. Kamu boleh tinggal bersama kedua adikmu mulai hari ini."
Vina kaget, hampir tak percaya mendengarnya.
"Sungguh?" tanyanya memastikan.
Bimo mengangguk.
"Terima kasih, senang sekali mendengarnya. Akhirnya aku bisa bersama kedua adikku lagi," Vina begitu bahagia, ingin rasanya ia melompat saking gembiranya bila tidak ada Bimo disana.
"Vino, jangan lupa meminum obatmu setelah ini," Bimo mengusap lembut pucuk rambut bocah laki-laki itu.
"Iya Om," Vino tersenyum kecil.
"Vaniza, ayo berpamitan pada kedua Kakak-mu," Bimo beralih pada Vaniza yang baru selesai membereskan penampilannya setelah menangis tadi.
"Nanti ada perawat yang masuk kemari untuk membereskan semua peralatan makan yang kotor itu. Kami berangkat dulu," Bimo menggandengan tangan kecil Vaniza setelah bocah perempuan itu selesai berpamitan pada Vina dan Vino.
"Daddy!"
Bimo menghentikan langkahnya didepan pintu ruang rawat inap, mendengar Vina memanggil dirinya.
"Terima kasih," Vina tersenyum.
"Terima kasih untuk semuanya," imbunya lagi dengan senyum kian lebar.
Bimo terpaku sesaat, lalu segera menyadarkan dirinya sendiri.
"Bukankah tadi kamu sudah berterima kasih Baby? Buang-buang waktuku saja." Bimo berbalik lalu kembali melangkah. Langkah lebar laki-laki itu belum benar-benar genap satu ayunan, saat dirasanya ada tangan kecil yang tengah menarik tangannya.
"Om, gendong. Vaniza tidak bisa mengikutin langkah lebar kaki panjang Om Bimo?" rengek Vaniza memelas, wajahnya mendongak, menatap pria jangkung menjulang didepannya.
"Baiklah, ups!"
Dalam sekejap, Vaniza sudah ada diatas pundak Bimo.
"Waooooo! Vaniza serasa terbang!" pekik bocah itu kegirangan, kedua tangannya mengembang lebar saking girangnya.
Vina masih bisa mendengar celoteh Vaniza yang terus berkicau diujung sana, sampai akhirnya benar-benar hilang setelah lift membawa mereka turun.
...***...
"Ugh! Pelan-pelan dong Mi, ini masih sakit sekali," rintih Heru kesakitan. Tangan Diana yang mengoles salep pada luka lebamnya begitu membuat dirinya tersiksa.
"Tidak bisakah laki-laki menyelesaikan masalah tanpa harus tonjok-menonjok seperti ini?" Diana mengomeli putranya.
"Kalau sudah begini, kamu sendiri kan yang susah, tidak bisa turun berkerja, dan harus menanggung rasa sakitnya. Apapun itu, selesaikan dengan kepala dingin, bukan baku hantam seperti ini. Kamu bukan apa-apanya dibanding si Bimo, Heru. Kamu masih anak bau kencur, mengerti?!"
"Aku sudah menduganya, Mami pasti membela si Paman tua itu! Anak Mami itu Heru, apa si Paman tua itu sih?!" gerutu Heru sambil meringis kesakitan, sebab tangan ibunya itu terus menggosok salep tanpa kelembutan.
"Pakai nanya anak siapa, anak siapa? Ya Paman tua lah anak Mami!"
"Apa?!" Heru mendelik kesal.
"Segitunya ya Mami sayang sama pria tua itu? Sampai ngakuin dia anak Mami," wajah Heru cemberut.
"Sudahlah, Mami bercanda. Yang pasti, kamu dan kakakmu Robi adalah anak kesayangan Mami dan Papi, kalian berdua tidak tergantikan," lembut Diana. Usapannya ikut melembut pada luka-luka lebam putranya yang telah membengkak siang itu.
"Sebagai Ibumu, Mami sedih dan sangat prihatin pada nasibmu yang babak belur seperti ini. Tapi ini pantas kamu dapatkan Heru."
"Apa maksud Mami bicara begitu?" Heru yang sudah senang mendapat kelembutan ibunya kembali dibuat kesal.
"Ingat saat pesta pernikahan kakakmu Robi dan Tania? Tuan Bimo sudah memamerkan gadis itu sebagai pasangannya di depan semua orang, dan kamu juga telah melihatnya sendiri, tapi kenapa kamu masih nekad untuk mendekatinya? Itu namanya sengaja cari gara-gara Sayang, cari penyakit," ulas Diana tajam.
"Tapi aku hanya ingin membantu Vina Mi, membantunya untuk mendapatkan tempat magang di rumah sakit,' elak Heru memberi alasan.
"Sudah, tidak perlu berdebat panjang lebar dengan Mami. Bu Imel sudah menceritakan detailnya, kamu yang mengatai tuan Bimo lalu memukulnya lebih dulu," sela Diana.
"Mulai sekarang, jauhi gadis itu jangan coba-coba mendekatinya lagi, atau kamu akan mendapat konsekuensi yang lebih parah dari ini," peringat Diana lebih serius.
Bersambung...✍️
syaratnya🤭