Ayu menggugat cerai suaminya karena tak ingin dimadu. Memiliki tiga orang anak membuat hidupnya kacau, apalagi mereka masih sangat kecil dan butuh kasih sayang yang lengkap, namun keadaan membuatnya harus tetap kuat.
Sampai pada suatu hari ia membanting setir menjadi penulis novel online, berawal dari hobi dan akhirnya menjadi miliarder berkat keterampilan yang dimiliki. Sebab, hanya itu yang Ayu bisa, selain bisa mengawasi anak-anaknya secara langsung, ia juga mencari wawasan.
Meskipun penuh rintangan tak membuat Ayu patah semangat. Demi anak-anaknya ia rela menghadapi kejam ya dunia sebagai single Mom
Bergulirnya waktu, nama Ayu dikenal di berbagai kalangan, disaat itu pula Ikram menyadari bahwa istrinya adalah wanita yang tangguh. Berbagai konflik pun kembali terjadi di antara mereka hingga masa lalu yang kelam kembali mencuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pusat perhatian
Sedikitpun Ayu tak merasa malu apa lagi ragu. Duduk di antara wali murid bukanlah hal yang tabu. Sebab, sebelumnya sering melakukan itu saat Ikram sibuk. Ia tak hanya datang bersama dengan Hanan, namun juga Alifa dan Adiba, karena saat ini Ninik sedang pergi dengan suaminya.
Murid-murid mulai berdatangan memenuhi gedung serba guna yang ada di sudut sekolah. Mereka dengan orang tuanya duduk di kursi yang disediakan. Sementara Alifa dan Adiba bermain di depan Ayu. Cukup luas untuk mereka bisa berlarian ke sana ke mari.
Hanan duduk di samping Ayu, sesekali melirik sang mama yang tampak keren dengan setelan jas dan rok hitam serta hijab yang senada.
Beberapa guru maju di atas panggung untuk menjalankan tugasnya. Mereka berbaris membawakan acara demi acara yang sudah disusun rapi.
Setiap murid mulai berhamburan mengambil setangkai bunga yang sudah disiapkan. Begitu juga dengan Hanan, bocah itu antusias berlari untuk mendapatkan setangkai mawar yang nantinya akan diserahkan kepada ayahnya.
"Apakah semuanya sudah mendapatkan bunga?" tanya ibu guru memastikan. Memeriksa satu-persatu siswa yang mengangkat tangannya.
"Oke, kalau begitu kita akan lanjutkan acara yang selanjutnya."
Ayu terus mencium pucuk kepala Hanan dengan lembut. Seharusnya itu adalah momen berharga bagi seorang anak, namun tidak bagi Hanan yang hanya datang bersama mamanya.
"Untuk siswa siswi kelas empat lima dan enam mohon maju ke depan."
Hanan langsung berdiri dari duduknya. Berjalan mengikuti teman-temannya naik ke atas panggung.
Dilihat dari wajahnya bocah itu bahagia layaknya yang lain, namun ada yang menjanggal dalam hatinya yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Murid kelas empat berdiri paling depan, kemudian disusul kelas lima dan enam di belakangnya.
Ayu mengambil gambar sang buah hati yang nampak paling tinggi. Postur tubuhnya memang persis seperti Ikram. Kulitnya putih dan mencolok di antara yang lainnya.
Mereka menyanyikan lagu yang dipersembahkan untuk ayah secara serempak. Banyak pasang mata yang berkaca-kaca. Terharu dengan persembahan spesial itu.
Sekujur tubuh Ayu bergetar. Ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Hanan saat ini, pasti kacau karena orang yang diharapkan itu tidak hadir.
Ayu bertepuk tangan. Berusaha keras membuat Hanan untuk tetap tersenyum dan lupa dengan rasa sakit hatinya.
Hampir sepuluh menit lagu berakhir tepuk tangan riuh memenuhi ruangan.
Kepala sekolah mengambil mikrofon dan berdiri di tengah-tengah muridnya.
"Sekarang waktunya memberikan hadiah untuk ayah masing-masing."
Lantas mereka berhamburan turun dari panggung. Menghampiri ayahnya yang sudah berbaris.
Hanan masih berdiri di di atas panggung. Matanya tak teralihkan dari Ayu yang terus melambaikan tangan. Memberi kode pada Hanan untuk segera turun. Ada rasa iri saat semua teman temannya itu memeluk ayah mereka. Namun, ucapan Ayu yang memintanya untuk kuat terus terlintas hingga rasa iri itu lenyap.
"Dimana ayah kamu, Nak?" tanya salah atau guru yang belum tahu tentang kondisi keluarga Hanan.
Hanan menunjuk Ayu yang menanti kedatangannya.
Guru itu mengikuti jari Hanan menunjuk lalu mengangguk kecil, dengan begitu saja ia sudah paham maksud dari muridnya.
"Silahkan berikan bunga mawar ini untuk pahlawanmu, Nak."
Hanan berlari kecil menghampiri Ayu lalu memeluknya dengan erat. Mencium kedua pipinya bergantian dan mengucapkan terima kasih berulang kali.
Ayu menitikkan air mata. Banyak yang ia pikirkan saat melihat ketiga anaknya masih kecil dan butuh banyak biaya hidup. Terlebih, sebentar lagi Alifa masuk sekolah, sedangkan Hanan naik kelas.
"Terima kasih untuk apa?" goda Ayu sambil mengusap air matanya.
"Untuk semuanya. Aku janji akan membalas semua jasa Mama. Walaupun tak sebanding, aku akan membahagiakan Mama."
Ayu dan Hanan menjadi pusat perhatian seluruh tamu. Sebab, ia satu-satunya wanita yang berperan sebagai ayah.
Setelah memberikan bunga, semua murid pun diwajibkan untuk menyuapi ayahnya. Begitu juga dengan Hanan yang langsung menyuapi Ayu.
Sepulang dari acara yang menguras air mata itu, Hanan masuk ke kamar dengan Alifa dan Adiba, sedangkan Ayu sibuk dengan ponsel miliknya. Seharusnya hari ini ia pergi ke bank untuk membuka tabungan, namun di urungkan karena sudah terlalu sore. Ia memilih untuk menulis lebih banyak lagi sebelum mengajukan.
Suara ketukan pintu membuyarkan konsentrasi Ayu. Ia tak pernah mengabaikan siapapun yang datang dan segera beranjak keluar dari kamar. Membuka pintu sedikit. Memastikan siapa yang datang.
Senyum yang sudah merekah untuk menyambut sang tamu itu kembali redup saat melihat seseorang yang berdiri di depan pintu.
Orang yang sudah menghancurkan rumah tangganya dan merebut suaminya.
Ayu berdiri tegak dengan kedua tangan dilipat. Memasang wajahnya yang tangguh tak tertandingi. Tidak perlu manis di depan pelakor. Cukup menjadi singa betina yang pemberani.
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Ayu ketus. Menatap undangan di tangan wanita itu.
"Aku cuma mau kasih undangan." Rani menyodorkan di depan Ayu.
Tak berpikir panjang, Ayu langsung menerimanya.
"Aku pasti datang," ucap Ayu lugas.
Rani tersenyum menyeringai, seolah tak percaya dengan ucapan Ayu. Matanya menyusuri ruang tamu yang sangat sempit.
"Kamu betah tinggal di sini?" tanya Rani mengejek.
Ayu menoleh ke belakang. Kemudian menatap Rani lagi.
"Memangnya kenapa? Rumah ini lebih nyaman daripada rumah mas Ikram. Dan aku lebih betah di sini karena membayarnya dengan hasil keringatku sendiri, bukan minta-minta pada orang lain." Ayu menggeser tubuhnya hingga Rani bisa melihat jelas ke arah dalam.
"Dan satu lagi, jangan pernah memandangku rendah, karena aku tak serendah yang kamu pikirkan.* Mendorong Rani lalu menutup pintu.
Rani berdecak kesal dengan tingkah Ayu yang tak sopan padanya.
"Awas, Yu. Besok aku akan mempermalukan kamu." Meninggalkan rumah Ayu dengan dada yang menguap.
Ayu menyandarkan punggungnya. Hari pernikahan Ikram dan Rani sebentar lagi, sedangkan ia belum punya baju untuk datang. Ingin menunjukkan bahwa ia tak selemah yang mereka kira.
"Lula, aku harus minta bantuan Lula." Ayu bergegas ke kamar dan mengambil ponsel. Menghubungi sahabatnya yang memiliki butik juga salon.
"Halo," sapa suara seorang wanita di balik ponsel.
Ayu tersenyum. Ia sangat mengenal suara itu. Meskipun mereka sudah lama tak saling sapa, seorang sahabat tak akan bisa lupa.
"Ini aku, Lul." Ayu menyapa tanpa menyebut nama.
"Ayu," sapa Lula kemudian.
Keduanya saling tertawa.
"Tumben kamu nelpon, ada apa?" tanya Lula antusias.
Ayu sedikit ragu untuk mengucap, namun ia tak boleh diam saja.
"Aku butuh bantuanmu. Besok mas Ikram menikah, dan dia mengundangku. Aku harus datang dengan penampilan yang cantik dan menarik. Bukan untuk bersaing, Lul. Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku juga bisa bahagia hidup tanpa dia," ucap Ayu panjang lebar.
Lula tersenyum, ia paling bangga dengan wanita yang strong seperti Ayu.
"Aku pasti bantu kamu, besok bawa anak-anakmu ke rumahku, dan kamu harus datang dengan sejuta pesona," timpal Lula mendukung.
nambah kesni nambah ngawur🥱