"Itu anak gue, mau ke mana lo sama anak gue hah?!"
"Aku nggak hamil, dasar gila!"
Tragedi yang tak terduga terjadi, begitu cepat sampai mereka berdua tak bisa mengelak. Menikah tanpa ketertarikan itu bukan hal wajar, tapi kenapa pria itu masih memaksanya untuk tetap bertahan dengan alasan tak masuk akal? Yang benar saja si ketua osis yang dulu sangat berandal dan dingin itu!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Skyeuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Setelah pernikahan mereka satu bulan lalu, Haris tidak berani menyentuh perempuan yang sudah menjadi istrinya itu, kecuali ketika Naira harus mencium tangan Haris untuk berpamitan saat lelaki itu pergi bersama teman-temannya.
"Haris, hari ini aku mau ke pasar. Kalau kamu mau makan, goreng nuget aja yang ada di kulkas maaf aku belum masak..." katanya yang terlihat sudah siap-siap pergi.
Haris menatap perempuan itu dari atas sampai bawah, tersenyum kecil dan beranjak dari duduknya untuk menghampiri Naira. Ditariknya lengan mungil itu, kemudian dia kecup dengan lembut dan mengusap perut yang belum ada bedanya dengan perut wanita normal. Kehamilan Naira masih tahap awal, jadi wajar saja kalau perutnya tidak terlihat buncit. Terkadang diperlakukan begitu hangatnya membuat Naira lupa diri bahwa dia dinikahi oleh Haris hanya karena terlanjur mengumumkannya ke publik.
"Kenapa nggak berangkat bareng? Apa aku keliatan sibuk?" tanyanya sambil memperhatikan gerak-gerik Naira yang masih kaku setelah satu bulan pernikahan mereka. Tapi, Haris memaklumi mengapa perempuan itu terkesan malu dan tidak mau menatapnya lebih lama.
"K-kamu kan lagi ngerjain desain pesanan orang, mana mungkin aku berani ganggu..." Naira benar-benar wanita yang polos saat bicara. Haris percaya suatu saat kebenaran itu akan terungkap cepat atau lambat.
"Kalau gitu ganggu aja, aku suka diganggu istri sendiri," katanya malah seperti menggombal.
Naira tersenyum lebar, untuk pertama kalinya Haris melihat perempuan itu terlihat tanpa beban. Sadar tersenyum berlebihan, Naira segera memasang wajah biasa saja, dia takut Haris berpikir dirinya aneh. Justru itulah yang membuat Haris jatuh cinta. Senyumannya yang dewasa, walaupun sebenarnya dia adalah perempuan polos yang bisa melakukan apapun yang dia mau tanpa pikir panjang. Haris mengusap kepalanya gemas membuat Naira tertegun sesaat.
"Sebentar ya, Mas mau siap-siap dulu. Kamu duduk aja di sofa nggak akan lama kok," Haris ini ada-ada saja "Mas" itu terlalu intim diucapkan oleh remaja seperti mereka tahu!
Tak lama lelaki itu keluar dengan jaket track berwana maroon miliknya, Naira sedikit terpesona melihatnya tapi kemudian dia menyadarkan diri sendiri lagi. Haris yang mengetahui istrinya memandangnya dengan kagum hanya bisa menyembunyikan rasa senangnya.
"Ayo," ajaknya menyodorkan tangan untuk digenggam oleh Naira.
Dengan sedikit malu, Naira meraih tangan Haris dan mereka berdua berjalan keluar untuk pergi ke pasar. Bagus sekali, cuaca hari itu tampaknya tidak begitu panas ataupun dingin. Cukup hangat dan cocok untuk Ibu hamil seperti Naira.
"Nai, besok ikut aku aja ke tempat kumpul temen-temen," sontak Naira tercengang mendengarnya. Langkahnya mendadak berhenti dan membuat Haris juga ikut berhenti.
"Ada apa? Kamu sakit??" tanyanya khawatir.
Walaupun mereka sudah sebulan bersama, bukan berarti rasa canggung itu hilang dalam sekejab mata apalagi dengan para sahabat Haris yang terkenal sangat tidak ramah pada orang baru di dalam anggota mereka. Naira tidak mau menjadi orang yang merepotkan Haris.
"Nggak usah, kamu pergi aja sama temen-temen kamu," katanya memberanikan diri menatap mata tajam lelaki itu.
Kini ia tersentuh akibat sorot mata Haris yang amat dalam, laki-laki itu mencium punggung tangan sang istri dengan penuh kelembutan. Membuat Naira merasa menerima dukungan sekaligus kekuatan batin.
"Nggak akan ada yang nyakitin kamu, soalnya ada aku," kata-katanya begitu meyakinkan hati Naira. "Tapi, kalau kamu belum siap gapapa," sahut Haris.
"E... Aku mau ikut asal kamu jangan tinggalin aku sendirian," akhirnya perkataan itu terlontar juga dari mulutnya.
Haris tersenyum, baru kali ini dia mendengar perempuan itu mengajukan sebuah permohonan padanya. Bukan tentang ngidam saat hamil, tapi tentang keselamatan perempuan itu.
"Oke, aku nggak bakal ninggalin kamu sendirian, jangan khawatir." Haris meyakinkan istrinya dengan penuh pengertian, sebelum akhirnya mereka pergi bersama-sama ke pasar.
...🪶🪶...
Jay masih menunggu di depan kamar Ning, lebih tepatnya di kamar apartemen gadis itu yang sedang bersiap untuk keluar dari sana.
"Allahuakbar!" kagetnya begitu melihat Jay yang berdiri tepat di depan pintu.
Jantung Ning bisa saja copot ke bawah, anak laki-laki itu benar-benar mengikuti perintah Ayah dan Bundanya. Ning sudah bilang kalau mereka ada hubungan karena insiden, tapi siapa sangka kedua orang tuanya justru setuju mereka bersama kalau bisa sampai menikah katanya. Ning tentu saja menolaknya mentah-mentah.
"Udah selesai? Ayo jalan," katanya mengambil alih barang-barang yang Ning bawa.
Ning tak bisa berkata-kata lagi saat ini, dia hanya mengikuti Jay dari belakang tanpa membantunya, lelaki itu sama sekali tidak terlihat kepayahan saat mengangkat satu koper di bahu sebelah kiri dan koper lainnya yang dia bawa di tangan kanannya. Luar biasa, tenaganya menakjubkan. Setelah sampai mobil milik Jay, Ning tidak bicara sama sekali dan dia tidak berniat membuka suaranya untuk hal yang basa-basi. Sementara Jay terlihat kalem dan tak begitu peduli dengan keberadaan Ning di sebelahnya, omong-omong sepertinya Pak Ridwan hari ini akan direpotkan oleh mereka berdua.
"Pak, ke restoran dulu kebetulan sudah waktunya makan siang," titah Jay yang diamini oleh pria paruh baya tersebut.
"Mau restoran yang mana Tuan Muda?" tanya Pak Ridwan, "Restoran Art Paper," katanya menyahut yang membuat Ning mengernyitkan kening.
Sepertinya gadis itu merasa familiar dengan nama restoran yang disebutkan Jay. Art Paper Restaurant. Apa mungkin memang rumah makan yang dimaksud Jay adalah rumah makan yang itu?
"Jaraknya sudah tidak jauh Tuan Muda, harap tunggu," Pak Ridwan memberitahu sambil menyetir.
"Kamu sering ke restoran itu?" tanya Ning akhirnya.
Jay terdiam sesaat, tapi kemudian dia menjawabnya dengan singkat. "Cuman suka aja ke sana," katanya menatap Ning sekilas.
Melihat tingkah Jay yang begitu itu membuat Ning langsung mendelik malas, intinya Jay sudah tidak asing lagi dengan restoran yang akan mereka kunjungi. Namun, Ning berusaha mengingat restoran yang selalu dia kunjungi saat suntuk bersama Kartika. Tidak lama sebab mereka sudah sampai di tempat tujuan, dan ternyata benar firasat Ning kalau restoran yang mereka kunjungi itu adalah rumah makan yang sering Ning kunjungi. Ning menoleh pada Jay, jadi anak itu sering memata-matainya?
"Sudah sampai Tuan Muda, Nona Ning," ucap Pak Ridwan yang diangguki oleh Jay. "Gue nggak pernah ngikutin lo," seolah tahu pikiran Ning, Jay menjawab tanpa segan.
Laki-laki itu turun dari mobil, lalu berjalan ke sisi kanan dan membukakan pintu mobil untuk Ning. Tangannya mengulur sebagai tanda dia mau Ning menggandengnya. Tapi, gadis itu tampaknya cuek bebek dan lebih memilih turun sendiri, tentu saja Jay merasa harga dirinya diinjak. Padahal kalau Ning tahu Jay tidak pernah begitu kepada siapapun. Dia juga sudah menurunkan gengsinya demi Ning, tidak apa-apa Jay semuanya perlu perjuangan. Lagi pula, hubungan mereka berdua ini terlalu absurd untuk dinyatakan sebagai sepasang kekasih atau paling tidak hubungan tanpa status yang manis.