Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keributan Setelah Bulan Madu
Tak terasa waktu seminggu berlalu dengan cepat. Aku dan Monika benar-benar menikmati bulan madu kami di Dieng. Setiap hari terasa seperti mimpi yang indah, penuh dengan canda, tawa, dan kebersamaan. Tapi, kenyataan kembali memanggil kami. Kami harus pulang ke Cilacap untuk melanjutkan aktivitas sehari-hari, termasuk kuliah yang sempat kami tinggalkan.
Perjalanan pulang terasa panjang dan melelahkan, tapi kehadiran Monika di belakangku, memeluk erat selama perjalanan, membuat segalanya terasa ringan. Setibanya di rumah, kami disambut hangat oleh ayah Monika. Wajahnya berseri-seri melihat kami kembali dengan selamat.
“Wah, akhirnya pulang juga, ya. Gimana bulan madunya? Jangan-jangan bawa kabar baik nih?” candanya sambil tertawa kecil.
Aku dan Monika hanya saling pandang dan tersenyum malu. “Bagus, Yah. Semuanya lancar, kok,” jawab Monika singkat.
Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar. Tiba-tiba aku merasakan pukulan keras menghantam wajahku dengan sangat keras. Tubuhku terhuyung dan jatuh ke lantai. Seketika aku merasa pusing, dan rasa sakit menyengat di wajahku.
Monika berteriak panik, “Mas! Mas, kamu nggak apa-apa?”
Aku mencoba bangkit perlahan sambil memegang bagian wajah yang sakit. Ketika aku menoleh untuk melihat siapa yang memukulku, aku sangat terkejut. Di hadapanku berdiri ayah Salma dengan wajah penuh amarah.
“Ini semua salahmu! Kamu perusak rumah tangga anakku! Dasar lelaki tak tahu diri!” teriak ayah Salma dengan nada menggelegar.
Monika segera memegang lenganku, membantuku berdiri, sementara ayah Monika maju ke depan, menghadapi ayah Salma dengan wajah kebingungan.
“Tunggu dulu, Pak. Apa maksud Bapak bicara seperti itu? Kenapa memukul menantu saya?” tanya ayah Monika dengan nada serius.
Ayah Salma menunjuk wajahku dengan penuh emosi." Menantumu ini! Dialah yang telah membuat rumah tangga anakku Salma hancur! Kalau bukan karena dia, Pernikahan Salma dan Afif pasti akan baik-baik saja, Dan mereka tidak akan memutuskan untuk bercerai!”
Aku yang masih memegangi pipiku berusaha menjelaskan. “Pak, saya tidak pernah berniat merusak rumah tangga Salma. Apa yang terjadi di antara mereka itu bukan salah saya.”
Namun, kata-kataku justru membuatnya semakin marah. “Kamu masih berani menyangkal, hah?! Salma masih mencintaimu, dan itu semua karena kamu! Dia tidak pernah bisa menerima suaminya karena kamu!” Ayah Salma melangkah maju, hendak memukulku lagi.
Namun, sebelum dia sempat melayangkan tinjunya, seseorang muncul dan menahan tangannya. Itu Afif.
“Pak, cukup!” kata Afif tegas.
Afif memegang erat tangan ayah Salma, menghentikan amarahnya. “Ini bukan salah Alan. Semua ini adalah kesalahan saya dan Salma. Kami yang tidak bisa mempertahankan rumah tangga kami sendiri.”
Ayah Salma menatap Afif dengan mata memerah. “Tapi dia yang menjadi penyebab Salma seperti ini! Kalau saja dia tidak pernah muncul lagi dalam hidup Salma, semuanya tidak akan berantakan!”
“Pak, saya paham Bapak marah. Tapi Alan tidak pernah melakukan apapun untuk merusak pernikahan kami. Salma yang tidak bisa melepaskan masa lalunya. Kalau mau marah, marahilah kami berdua, bukan Alan.”
Suasana menjadi hening sesaat. Napas ayah Salma terdengar berat, matanya menatapku dengan penuh kebencian. Namun, setelah beberapa saat, dia perlahan melonggarkan tinjunya dan menurunkan tangannya.
Ayah Monika segera maju, mencoba meredakan suasana. “Pak, kita semua harus tenang. Kalau ada masalah, bicarakan baik-baik. Jangan pakai kekerasan seperti ini.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, ayah Salma berbalik pergi. Tapi sebelum keluar dari rumah, dia menatapku tajam dan berkata dengan suara rendah, “Ini belum selesai.”
Aku menghela napas panjang, merasa lega sekaligus khawatir. Afif menghampiriku dan menepuk pundakku. “Maaf, Alan. Saya akan bicara dengan Pak Karim (ayah Salma) nanti. Saya tidak ingin masalah ini berlarut-larut.”
Aku mengangguk pelan. “Terima kasih, Afif. Tapi aku harap ini segera selesai. Aku nggak mau Monika dan keluarganya ikut terseret dalam masalah ini.”
Setelah Afif pergi, Monika memelukku erat. “Mas, kamu nggak apa-apa? Sakit nggak?”
Aku tersenyum kecil, meski pipiku masih terasa nyeri. “Mas nggak apa-apa, kok. Maaf ya, jadi ngerepotin kamu dan keluarga.”
Monika menggeleng. “Jangan bilang begitu, Mas. Aku selalu ada buat kamu.”
Ayah Monika juga menenangkan kami. “Kalian jangan khawatir. Kalau orang itu berani macam-macam lagi, biar saya yang urus.”
Malam itu, aku dan Monika berbincang panjang tentang apa yang terjadi. Aku tahu ini adalah ujian bagi kami sebagai pasangan baru. Tapi aku yakin, selama kami saling percaya dan mendukung, kami bisa melewati semuanya bersama.