Anaya tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam waktu satu kali duapuluh empat jam. Dia yang hanya seorang anak yatim dan menjadi tulang punggung keluarganya, tiba-tiba di saat dirinya tengah tertidur lelap dikejutkan oleh panggilan telepon dari seorang yang tidak dikenal dan mengajaknya menikah.
Terkejut, bingung dan tidak percaya itu sudah jelas, bahkan ia menganggapnya sebagai lelucon. Namun setelah diberikan pengertian akhirnya dia pun menerima.
Dan Anaya seperti bermimpi setelah tahu siapa pria yang menikahinya. Apalagi mahar yang diberikan padanya cukup fantastis baginya. Dia menganggap dirinya bagai ketiban durian runtuh.
Bagaimana kehidupan Anaya dan suaminya setelah menikah? Apakah akan ada cinta di antara mereka, mengingat keduanya menikah secara mendadak.
Kepo.. ? Yuk ikuti kisah mereka...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
°
°
°
Semua orang pada akhirnya bisa bernapas lega. Khanza kini telah di tempatkan di ruangan intensif mengingat cedera yang dideritanya. Mama Khanza datang dan langsung histeris menyaksikan anak kesayangannya terbaring lemah di ranjang pesakitan dengan beberapa peralatan medis menancap di tubuhnya.
"Khanza, kenapa semua ini bisa terjadi padamu, sayang!" pekiknya tidak percaya. Dia menangis dan meraung sambil meneriakkan nama anaknya.
Wanita paruh baya itu kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Akmal. Wajahnya dipenuhi aura kebencian yang mendalam.
Lalu dengan brutal ia memukuli Akmal yang dianggapnya bersalah, karena menjadi penyebab anaknya mengalami kecelakaan. "Semua ini karena dirimu yang selalu mengabaikannya. Dia sangat menyayangimu tapi kamu seolah tidak peduli!"
Bunda Marini yang tidak terima anaknya dipersalahkan, langsung berusaha menenangkan. "Cukup, Kikan! Ingat, ini di rumah sakit kendalikan dirimu!"
"Mbak Rini, sama saja. Seharusnya kalian menikahkan Akmal dengan Khanza, dengan begitu hubungan kekeluargaan kita makin erat. Bukan malah menikahkannya sama gadis miskin yang tidak jelas bebet---"
Plaaakk
Bunda Marini yang tidak tahan mendengar ucapan adik iparnya, langsung memberikan hadiah istimewa. Membuat wanita yang merupakan ibu dari Khanza itu langsung memegangi pipinya.
Semua diam tidak ada yang berani melerai. Ibu negara dalam mode on fire. Bunda Marini berkacak pinggang sambil menatap pada Kikan sang adik ipar. "Dengar, ya Kikan! Seandainya mereka saling mencintai pun aku tidak akan merestuinya! Apa kau tahu? Di mana akal sehatmu, hahhh! Ayah mereka merupakan saudara kandung. Buka mata hatimu!"
Pak Deni berusaha menenangkan istrinya, namun sepertinya wanita paruh baya itu belum puas memberikan pencerahan pada adik iparnya. "Lagipula aku lebih memilih menantuku yang bukan siapa-siapa, daripada mereka yang mengaku terhormat tapi kelakuan minim dan mulutnya seperti sampah!"
Setelah mengeluarkan semua kekesalan hatinya Bunda Marini mengajak suami dan anak menantunya pulang. Tidak ada gunanya memberikan rasa empati pada orang yang salah. Begitulah kira-kira pemikiran Bunda Marini.
"Ayo, kita pulang! Kamu juga pulang, Ris. Sekalian ajak temanmu."
Pak Deni beserta istri dan anaknya meninggalkan rumah sakit, Menyisakan Dodi, Ayah Khanza yang sepertinya tidak bisa lagi menyembunyikan rasa malu. Namun beliau memilih diam tanpa mau memberikan reaksi apapun pada istrinya.
°
Rumah Akmal
Setelah sebagian orang ikut serta ke rumah sakit, kini di rumah Akmal hanya menyisakan Adzana dan Ersa serta ketiga teman Risna. Mereka masuk kembali ke dalam rumah. Nola teman Risna mengambil tasnya, berniat pamit pulang namun Adzana mencegahnya. "Setidaknya kalian harus makan dulu sebelum pulang. Kita masak banyak jadi jangan khawatir kurang. Ayo kita makan."
Nola, Ria, dan Wina saling melempar pandang. Ketiga gadis itu tidak menyangka teman-teman Anaya begitu welcome. Padahal mereka pernah berbuat jahat kepada sahabat mereka.
"Na, tidak kamu tengok dulu si kembar. Takutnya mereka bangun terus turun gimana?" Ersa mengingatkan.
Adzana langsung merespons. "Iya, juga ya, Sa. Duh, kalau sampai duo bocil itu jatuh, aku bisa digantung di pohon taoge sama papinya."
Adzana segera berlari menaiki tangga untuk melihat kedua anaknya. Sedangkan Ersa menyiapkan hidangan untuk makan siang mereka.
Didera rasa penasaran Wina pun bertanya, "Maaf, Sa. Kalau boleh tahu, yang bersama suami Anaya tadi Pak Arbani kan, ya?"
Ersa tidak langsung menjawab tapi malah tertawa. "Ya iyalah, Arbani Malik Bagaskara, CEO Bagaskara Group. Tapi kita bertiga panggil beliau Kak Arbi soalnya kita sudah kenal dari jaman putih abu-abu."
Ketiga teman Risna itu tercengang mendengar penuturan Ersa. Mereka tidak menyangka insiden yang mereka lakukan karena kesalahpahaman itu, membawa mereka masuk dalam circle pertemanan dengan kalangan atas. Itu semua karena Anaya yang berbaik hati merangkul mereka dan menawarkan pertemanan. Tentu saja mereka tidak akan menolak melihat ketulusan Anaya.
°
Rombongan Pak Deni berserta keluarganya sampai di rumah. Adzana langsung mendekat pada suaminya dan bertanya dengan rasa penasaran. "Bagaimana kondisinya, Kak?"
Arbi tersenyum, "Ya, begitulah."
Jawaban Arbi tentu saja tidak membuat Adzana merasa puas. Ibu dua anak itu lantas menghampiri Bunda Marini yang tengah duduk di kursi ruang tamu dengan wajah masih terlihat kesal.
"Maaf, Bun. Bagaimana keadaan Khanza? Apa dia mengalami luka serius?" tanya Adzana.
Bunda Marini menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab, "Dia mengalami patah tulang kaki dan tangan, juga di punggungnya."
"Astaghfirullah al'adziiim..." Adzana dan Ersa yang mendengar jawaban dari Bunda Marini langsung terkesiap. Dia bisa membayangkan bagaimana kerasnya insiden tersebut.
Adzana kemudian menawarkan pada semuanya untuk makan, dan mereka langsung menyambut dengan gembira.
"Loh, Anaya sama Akmal mana?" tanya Bunda Marini baru menyadari anak dan menantunya tidak ada bersama mereka.
"Mungkin masih syok, Bun. Dan Akmal sedang menenangkannya. Biarkan saja mereka, nanti kalau lapar pasti cari makan sendiri." Pak Deni menjawab pertanyaan istrinya.
"Risna sama temannya mana, Bun? Tidak ikut ke sini lagi?" tanya Adzana karena tidak melihat keduanya berada dalam rombongan.
Bunda Marini pun menjawab, "Mereka langsung pulang ke tempat kostnya."
Adzana mengangguk. Ketiga teman Risna memang sudah pulang sesaat setelah makan siang. Mungkin itulah sebabnya Risna memutuskan untuk langsung pulang atau mungkin merasa tidak enak hati. Begitulah kira-kira pemikiran Adzana.
°
Sementara itu di kamarnya, Anaya masih terdiam dengan mata sembab. Terus terang hatinya merasa tercubit mendengar penghinaan mamanya Khanza. Dia memang terlahir dari keluarga sederhana, tapi mereka bahagia walau serba kekurangan.
Entah kenapa airmatanya seakan tak mau berhenti mengalir. Matanya seolah memiliki stock airmata yang melimpah sehingga terus mengalir dan mengalir sampai jauh, (eh salah)... mengalir lagi (maksudnya).
Akmal memberikan usapan lembut pada punggungnya, dia juga berkali kali memberi kecupan ringan pada pucuk kepala istrinya dengan penuh kasih sayang. Tapi nyatanya justru membuat Anaya semakin tergugu.
Akmal bingung harus bersikap bagaimana dan cara menenangkannya. "Emmmm... Nay. Sudah ya, tidak usah terlalu kau pikirkan ucapan Tante Kikan. Yang penting aku dan keluargaku menerima dirimu dengan tangan terbuka."
Anaya menatap Akmal dengan mata berkaca-kaca. "Tapi, Mas, kata-kata Tante Kikan itu terus mengusik pikiranku. Apa ini aku tidak cukup baik untukmu?"
Suara Anaya terdengar bergetar. "Apa salahku, padanya? Kenapa memangnya dengan bebet dan bibit orang sepertiku? Seolah aku ini tidak layak untukmu. Padahal belum tentu bebet dan bibit dia itu lebih baik."
Akmal kemudian memeluk dan membenamkan wajahnya pada ceruk leher Anaya dengan erat. "Tidak ada yang salah denganmu, Nay. Tante Kikan tidak tahu apa-apa tentang dirimu. Dia hanya ingin memanfaatkan kesempatan untuk merusak hubungan kita."
Lalu Anaya menatap Akmal dengan tatapan penuh tanya. "Apakah ada rahasia yang tersembunyi, Mas? Sesuatu yang tidak diketahui oleh keluargamu tentang Tante Kikan mungkin?"
Akmal mengambil napas dalam-dalam. "Mungkin Tante Kikan hanya merasa iri dengan kebersamaan kita, Nay. Jadi jangan terlalu diambil hati."
Namun tidak demikian halnya dengan Anaya, diam-diam dia mulai memikirkan sikap Tante Kikan yang seakan ingin sekali menyatukan Akmal dengan Khanza.
"Aku harus menyelidikinya tanpa sepengatahuan Mas Akmal, karena aku yakin pasti ada sesuatu yang beliau sembunyikan. Dan aku tidak akan membiarkan mereka merebut apa yang sudah menjadi milikku."
°
°
°
°
°
Sepertinya Anaya mau bermain-main jadi detektif 🤔
Saat ada masalahnya pun nggak berlarut-larut dan terselesaikan dengan baik.
Bahagia-bahagia Anaya dan Akmal, meski ada orang-orang yang berusaha memisahkan kalian.
Semangat untuk Ibu juga. Semangat nulisnya dan sukses selalu💪💪🥰❤️❤️❤️