Akibat kesalahannya di masa lalu, Freya harus mendekam di balik jeruji besi. Bukan hanya terkurung dari dunia luar, Freya pun harus menghadapi perlakuan tidak menyenangkan dari para sesama tahanan lainnya.
Hingga suatu hari teman sekaligus musuhnya di masa lalu datang menemuinya dan menawarkan kebebasan untuk dirinya dengan satu syarat. Syarat yang sebenarnya cukup sederhana tapi entah bisakah ia melakukannya.
"Lahirkan anak suamiku untuk kami. Setelah bayi itu lahir, kau bebas pergi kemanapun yang kau mau."
Belum lagi suami teman sekaligus musuhnya itu selalu menatapnya penuh kebencian, berhasilkah ia mengandung anak suami temannya tersebut?
Spin of Ternyata Aku yang Kedua.
(Yang penasaran siapa itu Freya, bisa baca novel Ternyata Aku yang Kedua dulu ya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dilema
Saat telah berdiri di depan pintu, Abidzar baru ingat, ia tidak membawa kunci. Ia menghela nafasnya, kemudian memilih mengetuk pintu.
Freya yang sebenarnya telah tidur pun seketika terjaga saat menyadari ada yang mengetuk pintu rumah kecil itu. Ia yakin, itu perbuatan Abidzar. Jantungnya seketika berdegup dengan kencang. Ia gugup. Bagaimana bila tiba-tiba Sagita datang memergokinya, pikirnya. Freya benar-benar khawatir. Ia sudah seperti selingkuhan majikannya
Freya tampak mondar-mandir di dalam kamarnya. Ia ragu dan bingung, harus membukakan pintu atau mengabaikan kedatangan Abidzar. Tapi bagaimana kalau Abidzar marah padanya?
Tok tok tok ...
Kini ketukan itu berpindah ke jendela. Jantungnya berdebar kian kencang. Dengan sedikit ragu, Freya mencoba membuka jendela kamarnya hingga tampaklah sosok laki-laki tampan dengan wajah ditekuk masam.
"Kamu tidur atau mati sih? Dari tadi diketuk pintu tapi nggak bangun-bangun." Ketus Abidzar.
Bukannya menjawab, Freya justru mengulurkan kepalanya keluar jendela. Ia tampak celingak-celinguk ke segala arah. Setelah memastikan kekhawatirannya tidak terjadi, ia pun menghela nafas lega.
"Kamu kenapa? Ada yang kamu tunggu?" Ketus Abidzar lagi. Dia pikir Freya mungkin menunggu Tirta atau khawatir Tirta melihat kedatangannya ke paviliun. Abidzar lupa, ini sudah hampir tengah malam, mana mungkin Tirta berkunjung ke sana.
Mendengar nada ketus Abidzar membuat Freya serba salah. Wajah Abidzar kian masam sebab Freya tak ada inisiatif sama sekali untuk membukakan pintu atau mempersilahkannya masuk. Padahal ia sudah sejak tadi merasa tak nyaman karena digigit nyamuk.
"Freya ... " Sentak Abidzar dengan gigi bergemeretak membuat Freya terlonjak. Apalagi baru kali ini Abidzar menyebutkan namanya.
"Ma-maaf, tuan. Si-silahkan masuk!" Ucap Freya gelagapan. Karena terlalu gugup, ia sampai lupa kalau Abidzar kini sedang berdiri di depan jendela, bukannya pintu.
Abidzar menghela nafasnya. Lalu ia memegang sisi jendela, naik ke atasnya kemudian segera melompat ke dalam membuat Freya akhirnya tersadar kalau ia telah meminta Abidzar masuk melalui jendela, bukannya pintu.
"Astaghfirullah, maaf, tuan, maaf. Saya-saya nggak sadar kalau Anda sedang berdiri di depan jendela, bukannya pintu." Ucap Freya yang menyadari kebodohannya.
Abidzar ingin marah, tapi melihat wajah panik Freya membuatnya hanya menghela nafas jengkel.
"Jawab pertanyaan ku tadi, apa yang kau lihat? Atau kau memang sedang menunggu kedatangan seseorang?" Cecar Abidzar yang masih penasaran dengan sikap Freya barusan.
"Bu-bukan begitu tuan. Saya hanya khawatir bagaimana kalau nyonya besar melihat tuan datang ke mari. Saya hanya khawatir nyonya salah paham dan marah besar pada tuan." Ucapnya jujur. Alis Abidzar menukik sebelah.
"Benarkah?"
"Iya, tuan. Tuan kenapa kemari? Bagaimana kalau nyonya besar melihat kedatangan Anda kemari? Sebaiknya Anda segera kembali ke kamar Anda saja, tuan." Usir Freya secara halus.
"Kau mengusirku?" ketus Abidzar. Sebenarnya bukan maksud hatinya ingin bersikap ketus pada perempuan itu, tapi entah kenapa setiap bertemu, ia jadi kebingungan sendiri ingin mengatakan apa. Alhasil, kata-kata yang keluar justru bernada ketus.
"Bukan. Bukan maksud saya mengusir Anda, tuan. Saya ... saya hanya khawatir. Nanti nyonya malah salah paham dan menyangka Anda selingkuh dan mengkhianati nyonya muda." Jelas Freya tak ingin Abidzar salah paham dan marah padanya.
"Dengar, pertama, kau bukan selingkuhan ku, kedua, aku tidak mengkhianati Erin, dan ketiga, Erin sendiri yang membawamu untuk aku nikahi. Meskipun mama belum tahu hubungan kita, bukan berarti aku akan menutupi fakta ini selamanya, mengerti?" tegas Abidzar membuat Freya justru merasa tak nyaman. Sebenarnya ia cukup senang mendengar pernyataan itu, tapi ada hal yang membuatnya sedih, bagaimanapun ia adalah orang ketiga. Orang ketiga selalu saja dipandang buruk oleh siapapun tak peduli siapa yang menghadirkannya dan apa tujuan kehadirannya.
Kedatangannya kemari bukanlah kemauannya, tapi siapa yang peduli. Tetap saja statusnya orang ketiga. Ia takut sikap Sagita akan berubah 360° saat mengetahui siapa dirinya sebenarnya.
"Tapi tuan, tetap saja di mata siapapun saya tetap orang ketiga. Selain itu, alangkah baiknya tidak ada yang mengetahui tentang statusku saat ini. Saya hanya khawatir nama baik tuan akan rusak. Pun nama keluarga besar Anda akan ikut tercemar. Apalagi bila orang-orang tau siapa saya sebenarnya, seorang mantan napi dengan kasus yang cukup berat." Lirih Freya dengan wajah tertunduk muram.
Semakin dipikir, semakin ia merasa rendah. Oleh sebab itu, ia tak berani menaruh hati pada siapapun termasuk Abidzar sebab ia tahu ia tak pantas untuk laki-laki tersebut. Pun mustahil baginya untuk menjadi istri sesungguhnya.
Entah mengapa, mendengar kata-kata Freya barusan membuatnya terenyuh. Tanpa sadar, Abidzar maju dan merengkuh tubuh kurus Freya ke dalam pelukannya. Ya, tubuhnya masih kurus, tapi tidak seperti saat ia baru datang pertama kali. Tiba-tiba Abidzar merasa penasaran dengan apa yang Freya alami selama di penjara. Mungkin saat ini merupakan saat yang tepat baginya untuk bertanya.
Setelah beberapa saat, Abidzar pun melepaskan pelukannya dari Freya.
"Boleh kita ngobrol sebentar?" tanya Abidzar meminta persetujuan.
Terus terang, Freya merasa aneh campur bingung. Mengapa sikap Abidzar tiba-tiba berubah seperti ini? Bahkan benar-benar berubah setelah malam mencekam mereka saat itu.
"Mengobrol apa, tuan?"
"Bisakah kau tidak memanggilku tuan lagi? Ingat, aku suamimu, bukan majikanmu. Jadi jangan panggil aku tuan." Sergah Abidzar yang masih berdiri berhadapan dengannya.
"Jadi saya harus panggil apa?" tanya Freya polos. Sesuatu yang tak pernah terduga, perempuan yang kerap dicap perempuan murahan ini bisa bersikap polos seperti ini. Apakah ini karakter aslinya atau hanya sekedar ingin mencari simpatinya?
"Tak usah sok polos! Pikirkan saja panggilan yang sesuai untukku." Ucap Abidzar dengan raut wajah datarnya.
Freya jadi kebingungan, "ba-bagaimana pak? Bapak?"
"Aku bukan bapakmu." Sentak Abidzar membuat Freya terkejut bukan main. Melihat ekspresi wajah Freya yang tampak jelek membuat Abidzar menghela nafasnya. "Ya sudah, panggil Mas saja." Ucap Abidzar sambil melengos.
Sebenarnya Freya merasa canggung memanggil Abidzar 'mas' sebab panggilan itu sudah digunakan Erin-istrinya. Tapi ia tidak memiliki alternatif lain. Abidzar pun sama. Tidak mungkin kan dia meminta Freya memanggilnya sayang. Bisa-bisa Erin mengamuk.
"Ba-baiklah, Mas." Ucap Freya dengan wajah tertunduk. Tanpa sadar, Abidzar tersenyum tipis mendengar panggil itu. Ia lantas segera menutup jendela yang masih terbuka kemudian mengayun kakinya menuju ranjang dan duduk di sana.
"Duduk di sini!" titahnya meminta Freya duduk di sampingnya.
Freya pun ikut duduk di ranjang dengan patuh.
"Bisa aku mulai bertanya?"
Freya mengangguk walau sedikit ragu sebab ia tak tahu apa yang akan Abidzar tanyakan.
"Ini mengenai dirimu saat di penjara, apakah kau sering mengalami kekerasan saat berada di dalam sana?" tanya Abidzar.
Mengingat itu, Freya menghela nafas berkali-kali. Entah apa yang membuat Abidzar menanyakan ini.
"Ya." Jawab Freya dengan singkat.
"Apa kau bersedia menerima permintaan Erin karena hal tersebut?"
"Kalau Anda pikir aku senang menikah dengan Anda dan tinggal di sini, maka jawabnya tidak. Seandainya di penjara aku tidak mendapatkan kekerasan, pasti aku akan memilih tinggal di sana. Hubungan ini terlalu berisiko. Hubungan ini tampak menguntungkan, padahal merugikan. Hingga aku terpaksa menerima penawaran istri Anda meski dengan hati yang sampai sekarang masih dilema."
Ya, dilema. Freya dilema, bagaimana bila ia berhasil hamil, apakah dirinya rela meninggalkan anaknya dan pergi jauh? Baru membayangkannya saja hatinya sakit, apalagi bila benar-benar terjadi. Membayangkan anaknya memanggil wanita lain dengan sebutan ibu pun tak kalah membuatnya sesak. Ia benar-benar dilema.
...***...
...HAPPY READING 😍😍😍...
syediiih Thor