Difiar Seamus seorang penyihir penyedia jasa pengabul permintaan dengan imbalan sesuka hatinya. Tidak segan-segan Difiar mengambil hal berharga dari pelanggannya. Sehingga manusia sadar jika mereka harus lebih berusaha lagi daripada menempuh jalan instan yang membuat mereka menyesal.
Malena Safira manusia yang tidak tahu identitasnya, pasalnya semua orang menganggap jika dirinya seorang penjelajah waktu. Bagi Safira, dia hanyalah orang yang setiap hari selalu sial dan bermimpi buruk. Anehnya, mimpi itu merupakan kisah masa lalu orang yang diambang kematian.
Jika kalian sedang putus asa lalu menemukan gubuk tua yang di kelilingi pepohonan, masuklah ke dalam penyihir akan mengabulkan permintaan kalian karena mereka pernah mencicipi rasanya ramuan pengubah nasib yang terbukti ampuh mengubah hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gaurika Jolie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertukaran Memutar Waktu
Ting!
Safira hanya mengangguk, benar perkataan Difiar jika ada pelanggan yang datang. Pintu terbuka yang menampilkan seorang wanita kebingungan masuk ke dalam. Safira melihat orang itu setelah lonceng berbunyi.
Samuel menyambut wanita itu yang pernah ditemui Safira. Seharusnya, Safira fokus melihat Samuel menyambut pelanggan, tetapi dirinya teringat pernah masuk ke dalam mimpi wanita itu yang kehilangan Ayahnya. Safira ikut merasa sedih ternyata benar mimpi yang pernah dia masuki merupakan kejadian nyata di masa lalu wanita itu.
"Kamu orang itu, kan?" tanya Diana sangat terkejut bisa bertemu lagi.
"Iya, syukurlah kamu masih bertahan. Sini duduk ceritakan masalah kamu sama penyihir, dia lagi pergi sebentar."
Diana duduk lalu mengembuskan napas. “Aku ingin Ayahku kembali sekarang. Ternyata aku kehilangan arah tanpa kompas yang selalu menuntun jalanku. Aku nggak mau hidup tanpa Ayah! Kalian bisa mengabulkan permintaanku, kan?”
“Tentunya bisa karena kamu datang ke bar penyihir,” jawab Difiar yang baru balik dari dapurnya.
Dengan ragu, Diana bertanya, “Tapi, berapa banyak yang harus aku bayar? Uangku belum cukup untuk membayar permintaanku.”
Difiar berhenti di samping Diana lalu melihat kakinya. “Kakimu sangat indah, aku menginginkannya.”
“Nggak boleh!” ucap Diana dan Safira secara bersamaan dengan lantang hingga dua pria itu terkejut.
“Aku bersusah payah latihan biar bisa menguasai balet!”
Safira berjalan ke arah Difiar. “Hey! Kamu nggak tau dia itu seorang ballerina? Kalau kakinya kamu ambil, bagaimana dia bisa meneruskan hobinya?”
“Terserah kalau nggak mau, aku juga nggak maksa. Sebelum terlambat, pintu ada di belakang kamu. Pulanglah, masih banyak yang mau dapat kesempatan masuk di bar ini. Bayaranku juga sebanding sama permintaan kamu,” jelas Difiar lalu memasukkan kedua tangannya di saku celana.
Diana berpikir ulang lalu mengembuskan napas. “Aku kalah dari lomba itu, aku pikir memang nggak ada jalan lagi. Benar kata Ayah, kalau jadi PNS pasti punya pekerjaan tetap.”
Kepala Safira menggeleng memaksa agar Diana tidak menyerah sama mimpinya. “Ingat perjuangan kamu bela-belain berantem sama Ayah kamu demi mengejar mimpi kamu. Lagian kamu baru ikut lomba pertama kali ini! Masih banyak yang harus kamu coba!”
“Kamu kenapa seolah tau tentang hidupku? Aku seperti mengaca lihat masa laluku di depan kamu, tapi enggak lagi! Aku ingin melakukan apa pun demi Ayahku bisa hidup lagi!” ucap Diana melihat Safira penuh keyakinan. “Kamu belum pernah merasakan ditinggal orang tua, ya?”
Safira tertawa getir. “Aku belum pernah merasakan ditinggal orang tua karena dari bayi belum lihat mereka. Beruntung banget kan nggak pernah menjilat ucapan sendiri,” sindir Safira seraya memutarkan kedua bola matanya.
Difiar langsung menepuk tangannya. “Jadi, apa yang kamu mau?”
Dalam hati Diana masih bimbang tentang pilihannya, demi menebus kesalahannya, Diana telah mengambil keputusan. “Ambil aja yang kamu butuhkan untuk membayar keinginanku. Asalkan aku bisa memutar waktu saat perdebatan itu, aku ingin memperbaikinya!”
“Kalah aja menyesal! Coba kalau menang, Ayahnya mati nggak masalah!” cetus Safira lalu menuju ke dapur.
Tangisan Diana kembali terdengar seisi rungan. Samuel mengambil tisu dan menenangkan gadis yang dibuat nangis oleh Safira.
"Baiklah kalau itu permintaan kamu. Sesuai kesepakatan awal, setelah ramuan dibuat nggak bisa diubah lagi."
"Iya."
Pemilik bar pun menyusul Safira yang sudah menunggu di dapur dengan wajah memendam kekesalan.
Difiar hanya melirik Safira yang masih gerundelan lalu mengambil bukunya untuk melihat resep racikan milik Neneknya. “Ambil dua bahan itu.”
Safira yang masih kesal ingin memukul pria tampan di depannya, tetapi dia menahan diri. “Rasanya mau pukul kepala kamu pakai sendok!”
“Cepat!”
Safira langsung mengambil benda yang disuruh Difiar. Karena ingin tau apa yang dibaca, Safira melihatnya kertas kosong itu seketika muncul tulisan yang bisa dia baca.
“Kamu juga bisa baca?”
Safira mengangguk, dirinya sedikit menjauh saat Difiar mulai eksekusi. Berbagi warna bermunculan yang menyebabkan rasa ingin taunya meningkat. Tangannya hendak memegang bahan dari botol yang baru digunakan Difiar karena tutupnya terbuka.
Tangan Difiar dengan cepat mencegah Safira lalu memberikan tatapan tajam. “Cukup lihat, jangan ganggu! Bisa diam di pojokan aja nggak, sih? Kalau tumpah cari gantinya susah karena bahan ini langka!”
"Biasa aja dong!"
Safira menarik tangannya lalu mengikuti perintah Difiar. Dirinya hanya bisa menunduk seraya memainkan kakinya.
“Lain kali jangan lakukan hal tadi ke pelanggan. Sama halnya bar manusia, kita harus menjaga perasaan mereka, paham?” tanya Difiar selembut mungkin setelah sadar jika Safira tidak bersuara dari tadi.
Setelah menyelesaikan racikan yang dia buat, Difiar mencari keberadaan Safira yang masih diam, tetapi kedua matanya berkaca-kaca. Safira langsung gelagapan saat Difiar melihatnya, gelas yang sudah tertata rapih itu sengaja ditata ulang agar mengalihkan suasana.
Difiar merasa bersalah, dirinya mengacak-acak rambut Safira lalu mengusap pipinya. “Anterin ke depan mau?”
Suara Difiar yang selembut alunan biola seakan menyentuh hatinya.
"Mau." Kepalanya mengangguk sebagai jawaban kemudian membawa baki berisi ramuan untuk Diana.
Gelas itu ditaruh di depan Diana dengan kepala yang menunduk. “Maaf perkataanku tadi yang terbawa emosi.”
“Nggak papa, aku juga salah,” jawab Diana yang mengajak Safira duduk.
“Sebelum kamu minum, ucapkan permintaan kamu. Minum seteguk aja bisa mewujudkan keinginan kamu,” suruh Safira lalu duduk di sebelahnya.
“Makasih. Oh, ya, kamu tau tentangku? Berarti kamu juga penyihir?”
Safira menggeleng. “Buruan minum, aku yakin kamu menyukainya.”
Diana mengangguk lalu mengutarakan keinginannya. Tanpa ragu dia meminumnya sampai gelas itu kosong. Terlihat wajahnya langsung berseri lalu menggenggam tangan Safira.
“Aku belum pernah merasakan sebahagia ini!” seru Diana yang disetujui Safira.
“Pulanglah bersihkan rumah biar Ayah kamu senang,” suruh Difiar seraya memainkan jari-jarinya saat duduk di singgasananya.
“Baiklah, terima kasih malam ini atas penyambutannya,” ucap Diana langsung pergi yang diantar Samuel.
Safira melirik Difiar yang paham jika disuruh bersih-bersih. Sebelum mendengar perintah penyihir angkuh itu, Safira membawa baki menuju dapur. Dirinya membersihkan dengan cepat lalu menuju ke bawah mengembalikan bahan langka itu.
Setelah ada di bawah, Safira menaruh botol itu ke tempat semula. Dirinya ingin naik ke atas, tetapi teralihkan saat melihat botol berisi cairan berwarna merah pekat.
“Warnanya aneh, dibilang merah dominan hitam, dibilang hitam kok ada cahaya merahnya,” gumam Safira menatap botol itu sangat lekat.
Matanya menyipit melihat tulisan itu. “Kalau ini udah bentuk ramuan jadi.”
“Ramuan kejujuran, ya? Minum ini bisa jujur apa yang kita katakan?”
Safira mendadak tangannya gatel ingin menyentuh ramuan yang dilarang Difiar tadi. Untungnya, deheman seseorang menghentikannya.