Judul : Jantung kita yang ajaib
Kisah perjalanan hidup sepasang insan yang kehilangan keluarganya. Sang pria memiliki jantung lemah, sementara sang wanita mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawa nya di tambah dia tidak memiliki kaki sejak lahir.
Keduanya menjalani operasi transplantasi jantung. Pendonor jantung mereka adalah sepasang suami istri yang misterius dan meninggalkan memori penyesalan suami istri itu di dalam nya, jantung mereka mendorong mereka untuk mencari satu sama lain kemudian menyatukan mereka.
Inilah kisah perjuangan dua insan yang menjadi yatim piatu karena keadaan, mereka hanya saling memiliki satu sama lain dan keajaiban jantung mereka yang terus menolong hidup mereka melewati suka dan duka bersama sama. Baik di dunia nyata maupun di dunia lain
Remake total dari karya teman saya code name the heart
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dee Jhon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8
Enam bulan kemudian, Elsa yang sudah siap untuk pulang, mengayuh kursi rodanya ke kantor dokter Kelvin, dia mengetuk pintunya dan masuk ke dalam. Elsa membuka pintunya,
“Permisi dok,” sapa Elsa sambil mengintip.
“Oh Elsa, masuk masuk,” balas Kelvin sambil berdiri dan berjalan ke pintu.
Kelvin membuka pintu kemudian dia mendorong kursi roda Elsa masuk ke dalam, setelah itu Kelvin kembali duduk di belakang meja berhadapan dengan Elsa yang ada di depan meja. Kelvin menarik lacinya dan mengeluarkan sebuah amplop coklat, kemudian dia memberikan amplop coklat itu kepada Elsa.
“Apa ini dok ?” tanya Elsa sambil mengambil amplop coklatnya.
“Buka aja dulu,” jawab Kelvin.
Elsa membuka amplopnya, di dalamnya ada sebuah sertifikat kepemilikan apartemen atas namanya lengkap dengan kunci dan kartu aksesnya, selain itu di dalam amplop ada juga satu set kunci rumahnya di bandung. Setelah itu, dia juga melihat ada sebuah amplop putih di dalam, dia mengambilnya dan membukanya, isi nya adalah sebuah buku tabungan lengkap dengan kartu atm nya dan tiket pesawat juga visa untuk kembali ke indonesia. Elsa sedikit terkejut melihat jumlah di rekening yang namanya sudah atas namanya.
“Ini duit darimana dok ?” tanya Elsa.
“Semua itu peninggalan nenek mu, waktu itu dia datang kesini menitipkan nya pada ku, tidak lama setelah kamu di operasi,” jawab Kelvin.
“Tapi apartemen ini di kota lain,” ujar Elsa.
“Iya, nenek kamu juga bilang begitu,” balas Kelvin.
“Kenapa ya nenek malah beli apartemen di jakarta dan bukan di bandung,” gumam Elsa.
“Tidak apa apa kan, pegang saja dulu atau kamu mau sma kamu di jakarta ? kebetulan aku ada kenalan yang bisa masukin kamu di sekolah dekat apartemen itu,” balas Kelvin.
“Eh... beneran dok ? kok dokter tau ?” tanya Elsa bingung.
“Oh sori, aku ngintip, soalnya penasaran juga kan tiba tiba di titipi amplop seperti itu,” jawab Kelvin.
“Oh gitu, ya ga apa apa sih dok (dia bohong),” ujar Elsa.
“Trus kamu besok sudah boleh pulang kan ?” tanya Kelvin.
“Iya dok, aku mau sekolah lagi,” jawab Elsa.
“Ya udah, bagus, tapi tiap enam bulan sekali ke sini ya untuk kontrol,” balas Kelvin.
“Baik dok, kalau gitu saya permisi dulu, mau berberes,” balas Elsa.
Kelvin mengantar Elsa keluar kemudian menutup pintu, dia berjalan kembali ke mejanya dan langsung duduk,
“Huff....capenya,” ujar Kelvin.
Sementara itu, Elsa masih di depan kantor Kelvin dan mendengarkan apa yang Kelvin bicarakan di dalam, dahinya sedikit mengerut melihat amplop di tangannya,
“Kenapa dokter Kelvin bohong ya, amplop ini bukan dari nenek dan dia juga bohong kalau dia cuman ngintip, dia jelas baca semuanya, kenapa ya ?” tanya Elsa dalam hati.
Kemudian dia mengayuh kursi rodanya untuk kembali ke kamarnya dan meletakkan amplopnya di pahanya.
“Yah selama intuisi ku mengatakan kalau menerima amplop ini tidak apa apa ya jalanin aja,” ujar Elsa sambil mengayuh.
******
Keesokan harinya, siang hari, Elsa sudah tiba di bandara internasional bandung dan langsung naik taksi menuju ke rumah nya. Begitu sampai, Elsa yang sudah menurunkan kopernya dari bagasi mematung menatap rumah tua gaya jaman penjajahan di depan nya,
“Aku sekarang sendirian di rumah ini,” ujar Elsa dalam hati.
Dengan berat Elsa mengayuh kursi rodanya masuk ke dalam pagar, kemudian dia membuka pintu utama dan masuk ke dalam, sesampainya di dalam, Elsa berdiam di ruang tengahnya. Dia menatap foto foto dirinya yang masih kecil bersama kakek dan neneknya, foto pernikahan ayah ibunya dan foto ketika mereka bertamasya di atas rak.
“Bisa ga ya aku bertahan di sini sendirian sampai lulus smp,” ujar Elsa dalam hati karena ragu ragu.
Air matanya tiba tiba saja mengalir dari matanya, Elsa kebingungan karena dia merasa dirinya tidak menangis,
“Eh...kenapa berair nih ? kan aku biasa aja.....oh...tante Irene ya, jangan khawatir tante, aku tidak apa apa, aku akan ke jakarta juga kok tahun depan dan mencari suami tante, tenang saja ya tante,” ujar Elsa sambil memegang dadanya.
Dia mengambil smartphonenya dan menyalakannya, “dling...dling...dling,” banyak sekali pesan yang masuk ke dalam smartphonenya, kebanyakan dari grup chat kelas dan pengumuman sekolahnya yang sudah tiga bulan dia tidak buka. Salah satu pesan dari dokter Kelvin yang memberitahu nomor smartphone miliknya. Elsa membalas nya, kemudian dia membaca satu percatu pesannya. Selagi membaca pesan,
“Oh ya, suami tante Irene namanya siapa ya ? aku lupa nanya,” ujar Elsa dalam hati.
“Dling,” sebuah pesan masuk ke dalam smartphone Elsa, dia langsung melihatnya dan wajahnya langsung berubah. Yang mengiriminya pesan adalah seorang pria bernama Remon yang namanya tertera di layar smartphonenya. Elsa membuka pesannya, isinya adalah pertanyaan demi pertanyaan yang menyebalkan bagi dirinya,
“Ngapain sih nih orang,” ujar Elsa dalam hati.
“Driiing....driiiing...driiiing,” tiba tiba ada telepon masuk, ternyata yang menelponnya Remon, dia menelpon karena pesannya di baca oleh Elsa. Karena terpaksa, Elsa mengangkatnya,
“Elsa, gimana kabar lo ?” tanya Remon.
“Baik,” jawab Elsa singkat.
“Lo dimana ? gue ke rumah lo ya ?” tanya Remon langsung.
“Mau ngapain ?” tanya Elsa.
“Mau nemenin lo aja, gue tau lo masih berduka atas kematian orang tua dan nenek lo kan,” jawab Remon.
“Ga usah, ga perlu,” balas Elsa.
“Aduh lo jangan jutek jutek kek ama gue, kita kan udah tunangan,” ujar Remon.
“Hah kapan ? kaga pernah, lo jangan asal ngomong, lo selalu ngeledekin dan menghina gue di kelas kan, ngapain juga gue tunangan ama orang yang gue benci,” balas Elsa.
“Lah waktu itu kan kakek lo ngomong, mau cariin lo tunangan kan, trus ketemu bokap gue,” ujar Remon.
“Itu mah urusan laen, kakek gue nyamperin bokap lo karena negor bokap lo gara gara lo bikin gue nangis sampe ga mau sekolah, lagian denger dari siapa lo kakek gue nyariin tunangan buat gue, ada cowo berani dateng kesini kalo ga di tembak dia bagus,” bentak Elsa.
“Ya udeh sih, itu kan masa lalu, lo ama gue udah 14 tahun sekarang, setahun lagi kita sma kan, lagian harusnya lo bersyukur, ga ada cowo yang mau ama cewe yang ga punya kaki kayak lo kecuali gue,” ujar Remon.
“Klik,” Elsa langsung menutup teleponnya, “driiing....driiing....dring,” Remon menelpon kembali namun langsung di tolak oleh Elsa dan nomor kontak nya langsung di blokir oleh Elsa. Setelah itu, Elsa melemparkan smartphone nya ke sofa, wajahnya menjadi sangat merah karena marah.
“Dasar cowo gila,” ujar Elsa berteriak melepas amarahnya.
Elsa mengambil bantal dan menutupi wajahnya menggunakan bantal, “waaaaaaaaaaa,” dia berteriak sekencang kencangnya di balik bantal yang menutupi wajahnya agar teriakannya tidak terdengar. Tiba tiba,
“Bener kan, dia udah pulang,” ujar seorang gadis di luar rumahnya.
“Iye bener, apa gue langsung masuk aja ya,” ujar Remon di luar rumahnya.
“Lo gila, jangan macem macem yeh Mon, gue yang marah kalo lo keterlaluan, lo nanya ama gue kan tadi, ya gue liat ada mobil berenti di depan rumahnya secara rumah gue di depan rumah dia, lah lo malah kesini dan telepon dia kayak gitu, lo bego apa tolol hah,” balas sang gadis.
“Iye iye, sori Mer, abisnya gimana, walau dia begitu, dia cakep kan, ga usah punya kaki juga ga apa apa, bodinya bagus,” ujar Remon.
“Apa sih lo, dah lah gue pulang, nyesel gue jawab pertanyaan lo tadi, dasar brengsek,” ujar sang gadis sambil berjalan pergi.
“Oi Mer....Meri, tunggu napa,” balas Remon mengejar Meri.
Mendengar percakapan dua temannya di luar, Elsa meradang, tangannya mengepal dan mendadak keinginan dirinya untuk sekolah pupus.
“Aku tidak mau lagi sekolah di sana, dia selalu membuli ku dan menyebarkan gosip ga bener sampai bikin aku mual, tapi gimana dong, tinggal setahun lagi lulus smp, apa ke jakarta aja ya, tapi sendirian gitu ? aduh bingung,” ujar Elsa dalam hati.