Shin adalah siswa jenius di Akademi Sihir, tapi ada satu masalah besar: dia nggak bisa pakai sihir! Sejak lahir, energi sihirnya tersegel akibat orang tuanya yang iseng belajar sihir terlarang waktu dia masih di dalam kandungan. Alhasil, Shin jadi satu-satunya siswa di Akademi yang malah sering dijadikan bahan ejekan.
Tapi, apakah Shin akan menyerah? Tentu tidak! Dengan tekad kuat (dan sedikit kekonyolan), dia mencoba segala cara untuk membuka segel sihirnya. Mulai dari tarian aneh yang katanya bisa membuka segel, sampai mantra yang nggak pernah benar. Bahkan, dia pernah mencoba minum ramuan yang ternyata cuma bikin dia bersin tanpa henti. Gagal? Sudah pasti!
Tapi siapa sangka, dalam kemarahannya yang memuncak, Shin malah menemukan sesuatu yang sangat "berharga". Sihir memang brengsek, tapi ternyata dunia ini jauh lebih kacau dari yang dia bayangkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kelanjutan dihutan terlarang
Keesokan harinya Shin dan Leo mendapatkan perintah baru dari Kepala Sekolah Akademi untuk melanjutkan menelusuri Hutan Terlarang.
Suasana di dalam Hutan Terlarang semakin mencekam. Kabut tebal menyelimuti setiap sudut, menutupi jarak pandang hingga hanya beberapa meter ke depan. Suara ranting patah dan gemerisik dedaunan terdengar dari berbagai arah, membuat Shin merasa seperti sedang diawasi. Namun, bukannya takut, ia malah bersungut-sungut.
"Gila ya, hutan ini pengap banget. Gue udah keringetan kayak habis lari keliling kerajaan, nih," keluh Shin sambil mengibas-ngibaskan kerah bajunya.
Leo, yang berjalan di belakangnya dengan hati-hati, menatap Shin dengan ekspresi tegang. "Shin, fokuslah. Kita tidak tahu apa yang ada di depan."
"Gue tau, gue tau. Tapi lo nggak ngerasa aneh, gitu? Kayak... hutan ini terlalu sunyi?" Shin berhenti sejenak, menggaruk dagunya. "Atau mungkin gue yang terlalu banyak nonton drama sihir."
Leo menghela napas. "Kau terlalu santai. Hutan ini berbahaya, Shin. Kau dengar cerita tentang siswa yang hilang di sini beberapa tahun lalu, kan?"
Shin memutar matanya. "Oh, yang katanya arwah mereka masih gentayangan? Basi banget. Kalau mereka nongol, gue ajak main catur aja biar mereka tenang."
Leo memutuskan untuk tidak menanggapi lelucon Shin lagi dan terus melangkah dengan waspada. Namun, tiba-tiba, langkah mereka terhenti ketika sebuah suara aneh terdengar dari kejauhan. Suara itu seperti bisikan, memanggil nama mereka berulang-ulang.
"Shin... Leo..."
Leo meraih tongkat sihirnya dengan cepat. "Apa itu?"
Shin mengangkat bahu. "Mungkin angin. Atau... mungkin monster yang lagi bosan. Mau gue tanya namanya, nggak?"
"Shin, berhenti bercanda! Ini serius!"
Namun, sebelum Leo sempat mengatakan lebih banyak, suara itu semakin dekat. Dari balik kabut, muncul bayangan besar yang tampak melayang. Wujudnya seperti kabut hitam dengan mata merah menyala.
"Manusia... kenapa kalian menginjak tanahku?" suara itu menggema, rendah dan menakutkan.
Leo menelan ludah. "Shin, hati-hati. Ini pasti salah satu penjaga hutan ini."
Shin melipat tangannya, menatap sosok itu tanpa rasa takut. "Tanah lo? Gue nggak liat ada plang 'milik pribadi', jadi santai aja."
Makhluk itu tampak tersentak mendengar jawaban Shin. "Kau berani menantangku, bocah?"
"Nantang? Nggak kok, gue cuma kasih kritik soal manajemen properti lo. Tapi kalau lo pengen berantem, gue nggak nolak juga."
Leo hampir pingsan mendengar ucapan Shin. "Shin, tolong berhenti memperburuk situasi!"
Makhluk itu menggeram, dan kabut di sekitarnya semakin tebal, hampir menutupi mereka sepenuhnya. Namun, sebelum makhluk itu bisa menyerang, sebuah suara nyaring memecah keheningan.
"BERHENTI!"
Dari arah yang tidak terlihat, muncul seorang pria tua berjubah hijau dengan tongkat kayu panjang di tangannya. Rambutnya putih seperti salju, dan tatapannya tajam namun damai. Makhluk kabut itu mundur perlahan, seolah takut pada pria tersebut.
"Maafkan mereka, Penjaga Kabut," ujar pria tua itu. "Mereka hanya anak-anak yang tersesat."
Makhluk kabut itu menggeram pelan, lalu menghilang ke dalam kegelapan. Kabut di sekitar mereka perlahan mulai mereda.
Leo menghela napas lega, tapi Shin justru melipat tangan dengan ekspresi kecewa. "Yah, gue pikir gue bakal dapet pengalaman keren lawan makhluk kabut tadi."
Pria tua itu menatap Shin dengan alis terangkat. "Kau ini anak yang aneh. Tapi aku menghargai keberanianmu... atau mungkin kebodohanmu."
Leo segera membungkuk hormat. "Terima kasih telah menyelamatkan kami. Bolehkah kami tahu siapa Anda?"
Pria tua itu tersenyum tipis. "Namaku adalah Arvin, penjaga hutan ini. Aku melindungi rahasia yang tersembunyi di dalamnya."
Shin langsung mengangkat tangan seperti murid yang ingin bertanya di kelas. "Rahasia? Wah, kedengerannya seru. Bisa kasih spoiler, nggak?"
Leo memukul dahi dengan telapak tangannya. "Shin, tolong jaga sopan santunmu!"
Arvin tertawa kecil. "Tidak apa-apa. Anak muda memang penuh rasa ingin tahu. Tapi rahasia ini bukan untuk sembarang orang. Kalian harus membuktikan diri layak mengetahuinya."
Leo menegakkan tubuhnya. "Kami siap menjalani ujian, Tuan Arvin."
Shin menyeringai. "Asal bukan ujian matematika, gue ikut."
Arvin mengangkat tongkatnya, dan seketika, tanah di bawah mereka bergetar. Lingkaran sihir besar muncul di sekitar mereka, memancarkan cahaya hijau terang. "Bersiaplah. Ujian ini akan menguji hati, pikiran, dan keberanian kalian."
Shin mendesah sambil mengangkat tangan. "Kenapa setiap kali gue jalan-jalan, selalu ada ujian beginian? Hidup gue ini apa, reality show?"
Tanpa peringatan, cahaya hijau itu menyelimuti mereka, dan mereka pun menghilang dari tempat itu.