Misca Veronica merupakan seorang pembantu yang harus terjebak di dalam perseteruan anak dan ayah. Hidup yang awalnya tenang, berubah menjadi panas.
"Berapa kali kali Daddy bilang, jangan pernah jodohkan Daddy!" [Devanno Aldebaran]
"Pura-pura nolak, pas ketemu rasanya mau loucing dedek baru. Dasar duda meresahkan!" [Sancia Aldebaran]
Beginilah kucing yang sudah lama tidak bi-rahi, sekalinya menemukan lawan yang tepat pasti tidak mungkin menolak.
Akan tetapi, Misca yang berasal dari kalangan bawah harus menghadapi hujatan yang cukup membuatnya ragu untuk menjadi Nyonya Devano.
Lantas, bagaimana keseruan mereka selanjutnya? Bisakah Cia mempersatukan Misca dan Devano? Saksikan kisahnya hanya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mphoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ganteng-ganteng Galak
"Masuklah ke mobil, Daddy tidak akan mengulanginya lagi!"
Kali ini Cia tidak berkutik. Dia langsung memasuki mobil penuh rasa penyesalan. Andaikan mulutnya tidak terlalu cerewet, mungkin kata-kata menyakitkan itu tidak akan keluar untuk Devano.
Selama di perjalanan suasana begitu hening. Tidak ada obrolan sama sekali, padahal selama ini Cia bukanlah tipe anak yang pendiam.
Beberapa kali Cia mencuri pandang menatap kedataran wajah Devano yang sama sekali tidak menolehnya. Rasa bersalah itu semakin kuat membuat hati merasa tidak tenang.
Cia tidak berani membuka suara, takut terkena semprot karena suasana hati Devano sedang tidak bagus.
Meski Cia tumbuh menjadi anak yang aktif, pemberani, juga cerewet. Tetap saja tidak akan sanggup menghadapi singa jantan yang baru bangun tidur.
Kurang lebih 35 menit, akhirnya mereka sampai di halaman rumah. Cia menoleh sambil berkata, "Dad, Cia---"
Belum selesai mengatakan sesuatu, Devano bergegas keluar dari mobil lebih dulu dan berjalan cepat memasuki rumah menuju kamar.
Cia menundukkan wajah bersamaan bulir-bulir air menetes di pipi, "Ma-maafkan Cia, Dad. Cia tidak ada maksud buat Daddy marah dan sedih. Cia tahu Daddy kerja buat Cia, tapi maaf ... Cia salah, Dad. Maafkan Cia."
Seorang pembantu mendekati Cia lantaran diutus oleh Devano untuk membawanya keluar dari mobil.
"Non Cia, ayo, turun. Ini sudah malam, Non Cia harus istirahat karena besok harus sekolah pagi. Yuk, Bibi antar ke kamar."
Cia hanya mengangguk mengikuti arahan sang pembantu. Niatnya ingin pergi ke kamar, tetapi langkah gadis itu malah terhenti di depan kamar Devano.
"Aarrghhh ... dasar pria bodoh! Bisa-bisanya kau pentingkan kerjaan daripada anakmu sendiri. Lihatlah, Devano. Lihat! Buka matamu lebar-lebar, Cia merupakan hadiah terakhir yang Manda berikan. Namun, kamu? Kamu malah menyia-nyiakannya, bodoh!"
"Sekarang Cia sudah tumbuh menjadi gadis yang tidak lagi menghormatimu sebagai seorang ayah. Cia tahu kau begitu jahat, makanya dia lebih memilih untuk menyayangi wanita itu daripada dirimu. Jadi, kau tidak perlu marah bila Cia mengatakan hal seperti itu. Ingatlah, kau hanyalah seorang pecundang bergelar ayah! Aaaa ...."
Tubuh Cia bergetar mendengar suara Devano. Untuk pertama kali seumur hidup menyaksikan betapa marahnya sang ayah saat bibirnya tak sengaja kelepasan.
Tak ingin berlarut dalam penyesalan, Cia berlari menabrak pintu hingga terbuka keras membuat Devano berbalik menatapnya.
"Hentikan Dad, hentikan! Cia minta maaf. Cia salah sudah menyakiti hati Daddy. Maafkan Cia, Dad. Maafkan Cia hiks ...,"
"Cia tidak bermaksud buat menyakiti Daddy. Cia hanya kesal karena selama ini Daddy tidak punya waktu untuk Cia. Daddy selalu sibuk, padahal Oma dan Opa selalu bilang, Daddy tidak akan bisa hidup sendiri tanpa pendamping!"
"Ingat, Dad. Mommy Manda sudah tenang di rumah barunya. Cia sayang Mommy Manda, Cia juga sayang Daddy. Tapi apa salah jika Cia ingin punya Mommy lagi? Jika bukan untuk Daddy, berikan untuk Cia. Setelah itu Daddy puas bekerja seharian ataupun tidak pulang pun Cia tidak masalah. Setidaknya di rumah ada yang memberikan perhatian pada Cia, tapi bukan pembantu!"
Tangis Cia pecah setelah mengungkapkan apa yang selama ini dipendamnya. Devano sangat paham, bagaimana perasaan sang anak.
Memang tidak mudah menggantikan nama mendiang istri di dalam hatinya, cuma jika Devano bertekad untuk mencobanya tidak masalah. Setidaknya ada usaha untuk membalikkan kebahagiaan Cia yang sudah hilang.
Devano berjongkok menyamakan tinggi Cia, kemudian memeluk erat tubuh mungil tersebut penuh kasih sayang.
"Maafkan, Daddy, Sayang. Selama ini Daddy terlalu egois, itu semua sengaja Daddy lakukan supaya tidak lagi teringat tentang mommymu. Daddy tahu, semua anak pasti menginginkan keluarga yang lengkap. Namun, Daddy butuh waktu untuk itu, Sayang. Daddy tidak bisa meneruskan masa depan, jika Daddy tidak bisa berdamai dengan masa lalu. Sekali lagi maafkan, Daddy. Daddy belum bisa jadi orang tua yang baik buat Cia. Maafkan Daddy hiks ...."
Kali ini Devano melepaskan semua rasa sedihnya yang selalu disembunyikan dari Cia. Merelakan kepergian wanita yang sangat dicintai memang tidak mudah, tetapi mengikhlaskan itu yang perlu dilakukan sekarang meski rasanya begitu menyakitkan.
Devano sadar, jika seseorang yang pergi bersama takdir tidak mungkin kembali lagi. Hanya ada sisa kenangan yang melekat, tetapi bukan berarti selalu hidup dalam bayangannya.
Setelah beberapa menit mereka saling meluapkan emosinya, kini hubungan ayah dan anak sudah mulai membaik.
Cia membantu Devano membersihkan luka serta mengobati tangannya. Malam ini dia ingin tidur bersama ayahnya untuk melepas rindu yang lama tidak dirasakan.
"Cia memang tidak butuh uangku, tapi dia butuh aku yang selalu ada waktu untuk menemaninya. Ini hanyalah permintaan kecil, mengapa sulit mewujudkannya? Entah sudah berapa banyak waktu yang aku sia-siakan, sampai Cia tumbuh menjadi gadis kecil yang dituntut untuk dewasa,"
"Sekali lagi maafkan Daddy, Cia. Daddy berjanji akan memperbaiki waktu kita. Sehat-sehat putri kecil Daddy. Tumbuhlah menjadi gadis pintar yang baik hati seperti mendiang mommymu. Selamat tidur, Sayang. Mimpi yang indah, doakan Daddy semoga kelak bisa terbebas dari siksa perasaan yang sulit dilepaskan,"
"Dan, untukmu, Manda Sayang. Tenang-tenang di sana ya, bantu aku menjaga Cia. Izinkan aku melanjutkan hidup ini supaya kelak bisa keluar dari zona yang tidak tahu sampai kapan aku sendiri. Intinya aku sayang kalian semua. I miss you so much, Baby!"
Devano mencium kening Cia yang sudah tertidur lebih dulu di dalam pelukannya. Wajah yang terlihat tenang ketika tidur, tidak setenang hati yang terus berperang melawan kenyataan. Mungkin terlihat baik-baik saja, pada dasarnya luka itu sangat membekas di dalam hati.
***
Keesokan hari, Cia berangkat sekolah diantar oleh Devano. Wajah cerianya tak dapat dibohongi. Gadis itu benar-benar bahagia karena sang ayah sudah mulai perhatian.
"Dahh, Daddy. Terima kasih, Cia bahagia banget hari ini. Hati-hati di jalan, semangat kerjanya. Cia sayang Daddy!"
Lambaian tangan mengiringi langkah gadis kecil itu memasuki ke dalam lingkungan sekolah. Sementara Devano tersenyum membalas lambaian tangan sang anak dari dalam mobil.
Senyuman yang sudah lama tidak dilihatnya kini kembali bersinar. Cia memang mirip sekali sama ibunya. Inilah yang semakin menyulitkan Devano untuk melupakan kenangan indah tersebut.
"Cukup, Devano! Manda sudah tenang. Aku tidak boleh mengingatnya terus. Lebih baik aku fokus bekerja, siapa tahu bisa pulang cepat untuk menjemput Cia."
Di persimpangan jalan Devano tak sengaja melihat Misca berdiri di bawah terik matahari untuk menunggu angkot yang lewat.
Mobilnya terhenti tepat di depan Misca. Kaca pintu sebelah kiri dibuka bersamaan munculnya wajah tampan Devano menggunakan kacamata hitam.
"Loh, Tu-tuan bukannya daddynya Nona Cia?" tanya Misca mencoba mengingat-ingat wajah Devano, takut salah orang.
"Naik!" titah Devano membingungkan Misca.
"Na-naik, Tuan? Na-naik ke mana?" tanya Misca polos.
"Ke badan saya!" sahut Devano asal.
"Haa-apa? Sa-saya naik ke i-itu Tuan gitu maksudnya?" tunjuk Misca ke arah pangkuan Devano.
Akan tetapi, pria itu malah mengira Misca menunjuk ke bagian gundukan yang bersemayam di dalam celana.
"Hyaakk ... dasar cegil! Maksudnya ke dalam mobil, bukan ke situ. Dikata adikku nap*su apa liat body triplek begitu. Cepat naik atau saya tinggal!" ujar Devano kesal.
"Isshh, ada ya, ganteng-ganteng galak. Kalau memang niat nolongin nggak usah pakai mencela juga kali," timpal Misca dengan suara kecil nyaris tak terdengar.
"Apa kamu bilang? Saya galak?" tanya Devano, melirik tajam.
"Ehheheh ... ma-maaf, Tuan. Keceplosan hehe ...."
Misca bergegas naik ke dalam mobil sambil menaruh barang belanjaan di belakang, "Sudah, Tuan. Ayo, saya harus buru-buru karena siang nanti Tuan Kris dan Nyonya Salsa akan pulang. Jadi, saya harus menyajikan mak---"
"Kamu kira saya supir!"
Setelah menyadari apa yang salah darinya. Misca pun terkekeh malu, lalu turun dari mobil untuk pindah ke depan duduk tepat di samping Devano.
Pria itu menggelengkan kepala, lalu memakai sabuk pengaman. Di mana pada saat Devano ingin mengunci sabuk, tiba-tiba keduanya sama-sama menoleh dan ...
"Cup!"
...*...
...*...
...*...
...Bersambung...
" aku membencimu"