Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.
Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.
Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?
Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23: Bull Fortress
Sekitar satu jam perjalanan, kendaraan lapis baja yang membawa Wira dan tim akhirnya berhenti. Pintu belakang kendaraan terbuka, dan mereka keluar satu per satu. Saat kaki mereka menjejak tanah, pandangan pertama mereka jatuh pada dinding logam raksasa yang menjulang tinggi. Dinding itu memantulkan cahaya matahari, terlihat kokoh dan tidak tertembus. Di atas gerbang utama, sebuah plakat besar bertuliskan “Bull Fortress”.
Rizki memandang dinding itu dengan kekaguman. “Benar saja ini dijuluki pertahanan terkuat di pulau ini,” katanya dengan nada kagum.
Bima mengangguk sambil menatap sekeliling. “Ya, pertahanannya benar-benar luar biasa.”
Flora menambahkan sambil menunjuk ke arah dinding. “Lihat dindingnya, ini terbuat dari logam. Sepertinya hantaman Ruo pun tidak cukup untuk merusaknya.”
Seorang tentara menghampiri mereka. “Baik, kalian akan diperiksa terlebih dahulu. Ini prosedur standar. Tolong, ikuti arahan kami.”
Tim Wira menaati perintah itu. Mereka berdiri dalam barisan saat para petugas memeriksa mereka dengan alat pendeteksi logam, menggeledah tas mereka, dan mencatat identitas mereka. Bayi yang ditemukan oleh Wira dan Nora menarik perhatian salah satu tentara.
“Bayi ini?” tanya tentara itu, memandang bayi kecil yang tampak diam di pelukan Nora.
Nora menjelaskan dengan tenang, “Kami menemukannya di sebuah camp yang sudah hancur. Ibunya sudah meninggal. Bayi ini adalah satu-satunya yang selamat.”
Tentara itu mengangguk sambil mencatat sesuatu. “Bayi ini akan kami bawa ke fasilitas medis di dalam benteng untuk pemeriksaan. Kami akan memastikan dia dirawat dengan baik.”
Nora terlihat ragu, tetapi Wira menyela. “Percayakan pada mereka, Nora. Tempat ini lebih aman daripada membawanya bersama kita.”
Akhirnya, bayi itu diserahkan kepada seorang petugas wanita yang membawanya dengan hati-hati menuju area medis. Nora menatap bayi itu dengan berat hati, sementara Wira meletakkan tangannya di bahunya untuk menenangkan.
Setelah pemeriksaan selesai, Wira dan timnya diizinkan masuk ke dalam benteng. Mereka melewati gerbang logam besar yang berderit saat terbuka. Pemandangan di dalam benteng membuat mereka tertegun.
Di dalam, terdapat bangunan-bangunan kokoh dengan jalan-jalan yang tertata. Para pengungsi berjalan di antara barak-barak, beberapa membawa makanan, sementara yang lain terlihat berbaris untuk mengambil air. Tentara dengan senjata lengkap berjaga di setiap sudut, membuat suasana terasa aman, meskipun tegang.
Rizki berbisik, “Benteng ini benar-benar dirancang untuk bertahan lama. Bahkan ada sistem irigasi kecil di sana.”
Bima mengangguk sambil melihat ke arah menara penjaga. “Dengan semua ini, rasanya Ruo pun akan kesulitan menembus pertahanan mereka.”
Mereka dibawa ke sebuah gedung dengan dinding logam yang dingin. Di dalamnya, mereka diminta duduk di sebuah ruangan besar. Seorang petugas keamanan berbicara dengan suara tegas, “Kalian semua akan diinterogasi satu per satu. Ini prosedur standar untuk memastikan tidak ada ancaman di antara kalian.”
Wira menghela napas panjang, menyadari situasi ini akan sulit. Ia berbalik pada teman-temannya dan berkata dengan nada rendah, “Saat interogasi nanti, jujur saja. Jangan berbohong. Kalau ada pertanyaan sulit, jawab dengan sederhana.”
Teman-temannya mengangguk. Mereka kemudian dipisahkan ke dalam ruangan-ruangan kecil untuk diinterogasi. Bahkan Meyrin, meskipun masih kecil, juga dibawa ke ruangan sendiri dengan penjagaan.
Interogasi Nora
Di ruang interogasi, Nora duduk dengan tenang di depan seorang petugas bernama Axel. Pria itu mengenakan seragam militer yang rapi, tetapi ekspresinya terlihat ramah.
“Halo, saya Axel,” katanya. “Tidak perlu tegang, ini hanya wawancara biasa untuk mengetahui pengalaman kalian bertahan hidup. Apakah Anda siap menjawab?”
Nora mengangguk. “Siap, Pak.”
“Baiklah, pertama-tama, bisakah Anda memperkenalkan diri?”
Nora menjawab dengan tenang, “Nama saya Leonora Salsabila, umur 22 tahun. Saya bertugas sebagai petugas medis di tim kami.”
Axel mencatat sambil mendengarkan. “Bagus. Pertanyaan pertama, di mana Anda bertahan hidup selama serangan Ruo?”
“Kami bertahan di sebuah markas kecil di bawah tanah,” jawab Nora. “Kami makan dari hasil buruan dan tanaman yang kami tanam sendiri. Untungnya, teman-teman saya sangat terampil, jadi kami bisa bertahan hidup.”
“Baik. Lalu, apakah Anda pernah diserang oleh Ruo?”
Nora mengangguk. “Ya, beberapa kali.”
“Bagaimana Anda selamat dari serangan itu?” tanya Axel dengan nada ingin tahu.
“Karena... teman saya, Wira. Dia berhasil menemukan kelemahan Ruo.”
Axel meletakkan pena, kini terlihat lebih serius. “Kelemahan Ruo? Apa itu?”
“Kelemahan mereka adalah suhu dingin,” kata Nora. “Tubuh mereka bisa dihancurkan jika membeku.”
Axel menyandarkan tubuhnya, berpikir sejenak. “Lalu bagaimana kalian bisa membekukan tubuh mereka?”
“Teman kami, Rizki, menciptakan granat kriogenik. Granat itu bisa membekukan objek di sekitarnya dalam hitungan detik,” jelas Nora.
“Menarik,” gumam Axel. “Pertanyaan terakhir, apakah Anda pernah menemukan hal aneh saat menghadapi Ruo?”
Nora terdiam sejenak, berpikir tentang Farah. Namun, ia tahu itu bisa membahayakan, jadi ia menjawab hati-hati. “Pernah. Salah satu Ruo mundur saat melihat Wira memegang granat kriogenik. Seolah-olah mereka tahu kelemahan mereka.”
Axel mencatat, lalu tersenyum. “Terima kasih atas informasi Anda, Nona Leonora. Ini sangat membantu. Anda akan ditempatkan di Camp Raflesia di dalam benteng ini.”
Ia memberikan kunci kamar bernomor 61 dan berkata, “Kami juga ingin Anda bekerja di sini sebagai petugas medis. Kami sangat membutuhkan tenaga seperti Anda.”
Nora tersenyum kecil. “Baik, terima kasih.”
Interogasi Wira
Wira memasuki ruangan dengan langkah santai, meskipun pikirannya dipenuhi strategi. Ruangan itu dingin, dengan dinding logam yang memantulkan cahaya lampu putih pucat. Di tengah ruangan terdapat meja logam dan dua kursi. Seorang petugas wanita telah menunggu di kursi seberang, duduk tegap dengan clipboard di tangannya.
“Halo, selamat sore. Nama saya Natalia. Saya petugas yang akan menanyakan beberapa pertanyaan kepada Anda. Mohon kerja samanya, Tuan,” ujar wanita itu dengan nada tegas.
Wira tersenyum tipis, lalu menjawab dengan santai, “Nama yang cantik, cocok dengan pemiliknya. Baiklah, nona Natalia, mari kita mulai.”
Natalia menghela napas singkat, mencoba tetap profesional meskipun digoda dengan santai. Dia langsung melanjutkan, “Baik, pertama-tama, bisa Anda perkenalkan diri Anda terlebih dahulu?”
Wira bersandar malas di kursinya. “Namaku Iskandara Rawardana. Umurku 21 tahun. Profesi? Hmm... survivor.”
Natalia mencatat cepat di clipboard-nya. “Baik, Tuan Iskandar. Apakah Anda pernah bertemu Ruo sebelumnya?”
“Ketemu? Aku bertemu mereka sampai bosan,” jawab Wira dengan nada ringan.
Natalia berhenti mencatat, menatap Wira untuk memastikan keseriusannya. “Dan apa yang biasanya Anda lakukan saat bertemu mereka?”
Wira mengangkat bahu. “Yah, kami melawan mereka, tentu saja. Kami menggunakan granat kriogenik yang dirancang oleh teman kami, Rizki.”
“Granat kriogenik?” Natalia mengulang kata itu dengan nada penasaran, kembali mencatat. “Menarik sekali. Lalu, apakah Anda pernah menemukan keanehan saat bertemu dengan Ruo?”
Wira menyandarkan tubuhnya ke depan, mengganti sikap santainya dengan tatapan tajam. “Nona Natalia... Mereka adalah makhluk cerdas. Selalu ada keanehan saat berurusan dengan mereka. Mereka bukan sekadar monster yang menyerang secara brutal, tapi makhluk yang punya strategi. Jadi, satu-satunya hal yang aneh sekarang adalah pertanyaanmu barusan.”
Natalia terdiam sesaat, merasa seperti diroasting. Namun, dia dengan cepat mengendalikan ekspresinya. “Kelompok yang mampu mengalahkan Ruo sangat jarang ditemukan. Tapi Anda dan tim Anda berhasil tidak hanya bertahan, tetapi juga menemukan kelemahan mereka. Kami menghargai adaptasi Anda, Tuan Iskandar.”
Dia mengembalikan tatapannya ke clipboard. “Baiklah, saya rasa cukup untuk sesi ini. Anda boleh keluar.”
Natalia menyerahkan sebuah kunci kecil ke Wira. “Nomor kamar Anda adalah 36. Anda akan ditempatkan di Camp Teratai. Terima kasih atas kerja samanya.”
Wira mengambil kunci itu, tetapi tidak langsung bangkit. Dia menatap Natalia dengan penuh rasa ingin tahu. “Camp Teratai? Jadi ada lebih dari satu camp di sini?”
Natalia mengangguk singkat. “Ya. Sistem camp kami terbagi sesuai dengan fungsi dan wilayah.”
Alih-alih meninggalkan ruangan, Wira mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekatkan wajahnya ke Natalia. “Tunggu... kenapa kau terlihat begitu tenang, Nona Natalia? Bahkan setelah aku menyebutkan kelemahan Ruo. Kau tidak terlihat terkejut. Apa kau sudah tahu tentang ini?”
Ekspresi Natalia sedikit berubah. Dia memalingkan wajah, tetapi menjaga nada suaranya tetap dingin. “Saya di sini untuk bertanya, bukan untuk menjawab. Sesi sudah selesai, Tuan Iskandar. Anda boleh pergi sekarang.”
Wira memandangi Natalia dengan tajam selama beberapa detik, lalu dia mengeluarkan amplop dari sakunya dan meletakkannya di meja. “Berikan surat ini kepada Mayor Ryan. Penulisnya menyuruhku menyerahkannya padanya secara langsung.”
Natalia mengambil amplop itu, memandanginya sesaat sebelum menyimpan di foldernya. “Baik, surat ini akan saya sampaikan secepatnya.”
Wira mengangguk, mengambil kunci kamar, lalu bangkit dari kursi. Sebelum melangkah keluar, dia menoleh, memberikan senyum kecil yang penuh teka-teki. “Hati-hati, Nona Natalia. Dunia ini penuh kejutan.”
Pintu tertutup, meninggalkan Natalia yang menatap amplop itu dengan keraguan.
Interogasi Meyrin
Semua teman-teman wira diinterogasi dengan pertanyaan yang sama oleh petugas axel dan natalia, lalu setelah diinterogasi mereka ditempatkan di camp Raflesia kecuali wira yang ditempatkan di camp Teratai, bahkan meyrin yang masih kecil juga tidak lepas dari interogasi. Meyrin memasuki ruang interogasi yang berbeda dari yang lainnya. Tidak ada suasana kaku, ruangan itu lebih seperti kantin dengan beberapa meja dan kursi. Di salah satu sudutnya, seorang wanita dengan pakaian santai duduk sambil memegang dua porsi es krim. Wanita itu melambaikan tangan ke arah Meyrin dengan senyum hangat.
“Halo nona kecil, ayo duduk di sini,” katanya ceria.
Meyrin, yang masih malu-malu, melangkah mendekat dan duduk di kursi di depannya. Wanita itu menyodorkan satu porsi es krim pada Meyrin.
“Kakak di sini mau ngobrol santai sama kamu. Jangan tegang, ya.”
Meyrin mengangguk pelan sambil menerima es krimnya.
“Namaku Felisa. Senang bertemu denganmu, Meyrin. Kamu cantik sekali, loh,” ujar Felisa sambil tersenyum ceria.
Meyrin tersipu malu. “Halo, Kak Felisa. Namaku Meyrin, hehe.”
Felisa tertawa kecil. “Namamu bagus, Meyrin. Jadi, kakak mau tanya-tanya nih. Kemarin-kemarin, kamu tinggal sama siapa?”
Meyrin berpikir sejenak, lalu menjawab dengan suara lembut, “Aku tinggal sama Kak Nora, Flora, Bima, Rizki, sama Kak Wira, Kak.”
Felisa tersentak mendengar nama itu, tapi dia berhasil menyembunyikan keterkejutannya di balik senyumnya. Dalam hati, dia bergumam, Wira? Apakah dia Wira, adikku?
“Oh, begitu, ya. Kelihatannya kamu punya keluarga yang baik,” ucap Felisa sambil tersenyum. “Lalu, Meyrin, apakah kamu pernah ketemu monster yang jahat itu?”
Meyrin tiba-tiba memasang wajah sedih. “Ah... iya, Kak. Monster jahat itu yang mengambil ayahku, Kak.”
Suasana mendadak menjadi sunyi. Felisa mengulurkan tangannya, memeluk Meyrin lembut. “Tenang, Meyrin. Di sini kamu aman, kok. Tidak ada monster yang bisa menyentuhmu lagi.”
Meyrin mengangguk perlahan. Setelah beberapa saat, dia melanjutkan, “Tapi untungnya ada Kak Wira. Dia coba nolongin kami. Kak Wira cuma berhasil nolong aku, tapi gak apa-apa. Aku ingin seperti Kak Wira, karena katanya aku seperti bunga di antara rumput, hehehe.”
Felisa mendengar itu sambil tersenyum kecil, merasa bangga dan terharu. Adikku... apa saja yang sudah kau lakukan selama ini?
“Kamu bertemu orang hebat, ya, Meyrin,” ujar Felisa sambil mengusap kepala anak kecil itu. “Lalu, Meyrin, kamu pernah ketemu monster yang... aneh, nggak?”
Meyrin tampak berpikir. “Monster aneh? Hmmm... sepertinya tidak.”
Felisa merasa lega mendengar jawaban itu, tetapi mendadak Meyrin menambahkan, “Tapi aku punya teman yang sangat kuat, Kak. Dia bahkan bisa mengalahkan Ruo dengan tangan kosong, dan kekuatannya persis seperti Ruo!”
Felisa terkejut. Wajahnya tetap tenang, tetapi pikirannya langsung berputar. Ini anomali. Sesuatu yang berbahaya...
Felisa menyembunyikan kekhawatirannya dengan senyum manis. “Begitu, ya? Wah, temanmu hebat sekali, ya, Meyrin.”
“Iya, Kak. Dia sangat kuat,” kata Meyrin sambil tersenyum bangga.
Felisa mendekatkan wajahnya ke arah Meyrin, kali ini suaranya lebih lembut namun tegas. “Tapi, Meyrin, dengarkan Kakak baik-baik, ya. Temanmu yang hebat itu jangan kamu ceritakan ke siapa-siapa. Kalau kamu cerita, nanti kamu nggak bisa ketemu dia lagi. Kamu mau itu terjadi?”
Meyrin terkejut mendengar nada serius Felisa. “Enggak, Kak. Aku nggak mau kehilangan teman aku.”
Felisa mengangguk sambil mengusap kepala Meyrin lagi. “Bagus. Kalau begitu, ini rahasia kita, ya? Nggak usah cerita ke orang lain.”
Meyrin tersenyum lega. “Iya, Kak. Aku janji.”
Felisa tersenyum dan mencairkan suasana lagi. “Nah, sekarang ayo kita habiskan es krim kita. Kakak lapar banget, nih.”
Meyrin tertawa kecil. “Hihi, iya, Kak. Ayo makan!”
Saat mereka menikmati es krim itu, Felisa memandang Meyrin dengan rasa kagum dan khawatir. Dalam hatinya, dia berkata, adikku yang nakal, apapun yang sedang kau lakukan, aku yakin kau terlibat dalam sesuatu yang besar. Aku merindukanmu...