Asyifa rela jadi adik madu dari Naura, wanita cantik yang bersosialita tinggi demi pendidikan yang layak untuk kedua adiknya. Hanya saja, Adrian menolak ide gila dari Naura. Jangankan menyentuh Asyifa, Adrian malah tidak mau menemui Asyifa selama enam bulan setelah menikahinya secara siri menjadi istri kedua. Lantas, mampukah Asyifa menyadarkan Adrian bahwa keduanya adalah korban dari perjanjian egois Naura, sang istri pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tujuh - Iya, Sekarang Juga Siap!
“Bantu aku untuk bujuk Naura, supaya Naura mau punya anak dariku,” ucap Adrian.
Asyifa tersenyum, tapi ia bingung sendiri dengan Suaminya itu. Dirinya saja dibayar Naura untuk dipinjam rahimnya untuk mengandung anak dari Adrian. Sekarang Adrian malah meminta bantuan padanya untuk membujuk Naura?
Apakah wanita itu mau mendengarnya?
“Bagaimana? Bisa, kan?” tanya Adrian lagi.
“Gini nih, Pak. Saya ini kan dibayar Mbak Naura, dipinjam rahimnya untuk mengandung anak dari Bapak, terus kalau saya membujuk Mbak Naura supaya mau hamil, jelas saya kena semprot Mbak Naura dong?” ucap Asyifa, "disangkanya, saya mau makin gaji buta aja."
“Jadi maunya kamu, aku hamilin kamu begitu?”
Deg!
“Bu--bukan begitu! Tapi, saya tidak mau melanggar perjanjian saya dengan Mbak Naura, Pak. Apalagi Mbak Naura sudah membayar penuh uang kontraknya selama dua tahun,” jawab Naura.
Kini, Adrian menghela napasnya berat.
Di rumah, ia sudah tidak bisa berkomunikasi dengan baik dengan Naura, meminta jatah ranjang saja Naura selalu menolaknya
Istri pertamanya itu malah memilih memuaskan dirinya sendiri tanpa Adrian.
“Kalau kamu takut Naura akan mengambil kembali uang itu, saya akan membayar kamu tiga atau lima kali lipatnya dari yang Naura berikan padamu!” jelas Adrian.
Asyifa menghela napas panjang. “Haduh ... saya pusing, Pak. Sudah setengah tahun belum bisa memenuhi keinginan Mbak Naura, sekarang malah saya disuruh bantu Bapak untuk bujuk Mbak Naura supaya mau hamil."
"Untung saja, Mbak Naura tidak tahu keberadaanku sekarang di sini. Kalau tahu, pastinya sudah sering ke sini dan mengancam saya, Pak! Bayangkan saja setengah tahun saya belum hamil, pasti kalau Mbak Naura tahu saya dimarahi, Pak!”
“Saya lebih pusing, Fa!” tukas Adrian.
“Ya kalau pusing Bapak istirahat saja. Saya mau masak untuk makan siang nanti,” ucap Asyifa, lalu meninggalkan Adrian ke dapur.
Adrian hanya diam, tidak tahu mau berkata apa lagi. Memang lebih baik dia istirahat di kamar saja. Namun, Adrian mengurungkan niatnya untuk ke kamar. Adrian memilih rebahan di sofa depan TV lalu menonton acara TV lainnya. Ia memindah chanel untuk menonton acara selain acara gosip.
**
Lama Adrian rebahan sambil menonton TV, tiba-tiba indra penciumannya tergoda oleh bau harum masakan dari arah dapur. Baunya membuat perut Adrian keroncongan lagi. Padahal masih belum jam makan siang, tapi perutnya sudah lapar karena tergoda bau masakan Asyifa.
Merasa penasaran sang istri masak apa, sampai baunya seharum itu, dan membuat perutnya keroncongan, akhirnya Adrian ke dapur untuk melihat Asyifa sedang memasak apa. Adrian mendekati Asyifa yang sedang memasak, sambil mulutnya komat-kamit menyanyi. Entah lagu apa yang sedang Asyifa nyanyikan, Adrian melihat Asyifa begitu menikmati momen memasaknya.
“Kamu masak apa, Asyifa?” tanya Adrian yang sudah berdiri di sebelah Asyifa.
“Astagfirullah ... Bapak! Ngagetin saja sukanya! Untung nih ya gak saya lempar spatulanya!” pekik Asyifa dengan terjingkat.
“Habis kamu serius sekali masaknya, sambil nyanyi lagi?” ucap Adrian.
“Ya masak harus serius dong Pak? Biar hasilnya enak,” ucap Asyifa.
“Masak apa, Fa?” tanya Adrian.
“Sayur lodeh meriah, semeriah hati saya yang mungkin sebentar lagi mau selesai kontrak kerja saya dengan Mbak Naura,” jawabnya dengan gaya bar-barnya. Entah kenapa gadis pendiam itu berubah menjadi sebar-bar itu di mata Adrian.
Adrian tersenyum miring, berpikir kenapa Asyifa sama sekali tidak ada sedih-sedihnya di posisinya sekarang. Padahal dirinya sedang menjadi tawanan Naura untuk meminjamkan Rahim dan harga dirinya.
“Kenapa senyum?” tanya Asyifa.
“Kamu itu lucu. Kamu memang senang ya kerja begini? Gak ada rasa sedih atau apa gitu? Kayaknya bahagia banget lho kamu? Atau kamu memanfaatkan kami untuk mendapatkan uang?” tanya Adrian.
“Kerja itu harus dinikmati, Pak. Apa pun pekerjaannya, yang penting halal. Kan saya halal, sudah menjadi istri bapak? Bukan perempuan yang menjual diri pada Laki-laki hidung belang di luar sana? Saya gak memanfaatkan Bapak dan Mbak Naura, orang saya kerja jelas kok, ada perjanjian kerjanya, bukankah Bapak membaca sendiri perjanjiannya?” jelas Asyifa.
“Pekerjaanmu ini pekerjaan yang berat, Fa. Taruhannya nyawa. Kamu harus melayani suami orang yang gak mencintaimu, kamu juga harus melahirkan yang taruhannya nyawa. Kamu masih muda, apa kamu gak berpikir panjang untuk itu?” ucap Adrian.
“Ya mikir sih, Pak. Memang semua pekerjaan gak ada yang ringan, pasti ada tantangannya, ada cobaannya, dan taruhannya mungkin nyawa juga. Petani saja kerja taruhannya nyawa, Pak. Coba kalau tiba-tiba di sawah digigit ular berbisa, atau pas hujan petir kesamber petir? Iya, kan?” ucap Asyifa santai.
Adrian menggeleng, tidak mengerti jalan pikiran wanita muda itu yang sekarang sudah menjadi istrinya. Iya, pekerjaan Asyifa memang jelas, Adrian sendiri membaca perjanjian antar Naura dan Asyifa, akan tetapi Adrian masih berat menjalankan semua keinginan Naura itu.
“Saya gak tahu harus bilang apa lagi sama kamu. Kamu seperti menikmati sekali pekerjaan ini, Fa,” ucap Adrian menyerah.
“Karena saya butuh uang, dan Mbak Naura butuh bantuan saya. Jadi impas kan, Pak?” jawab Asyifa sambil mencicipi masakannya.
Adrian diam, sambil memerhatikan Istri Mudanya memasak dengan cekatan. Seperti sudah terlatih sekali tangannya untuk memasak. Sepintas ia berpikir tentang Naura, dan sedikit membandingkan antara Asyifa dan Naura. Istri Pertamanya sama sekali tidak pernah menyentuh peralatan masak. Bahkan memasak air pun tidak pernah Naura lakukan, karena menggunakan dispenser, jadi butuh air panas tinggal pencet saja. Berbeda dengan Asyifa yang sangat lihai memasak.
“Jangan bengong, Pak! Geseran dikit napa, Pak? Jangan dekat-dekat, nanti kena cipratan minyak, saya mau goreng ayam soalnya,” ucap Asyifa yang berhasil membuat Adrian kaget.
Bukannya menjauh, tapi Adrian malah ingin tahu bagaimana Asyifa menggoreng ayam. Hatinya seketika menghangat memandangi istrinya begitu cekatan memasak, dan memasak sebanyak itu untuk menyiapkan makan siang untuk dirinya.
“Apa kamu selalu masak untuk sarapan, makan siang, dan makan malam?” tanya Adrian.
“Iya, saya selalu masak sendiri. Saya tidak suka makanan instan, Pak,” jawab Asyifa.
“Kamu yakin tidak mau membantu saya soal Naura, Fa? Gak mau memikirkan ulang?” tanya Adrian memastikan lagi.
“Saya malah sama sekali tidak memikirkan itu, Pak. Yang saya pikirkan saya ingin cepat-cepat selesai dari pekerjaan saya ini,” jawab Asyifa.
“Ya sudah kalau begitu,” ucap Adrian.
“Ya sudah bagaimana, Pak?” tanya Asyifa.
“Kapan mau aku sentuh? Kamu sudah ingin cepat-cepat selesai, bukan?” tanya Adrian basa-basi.
Padahal Adrian sendiri gak ada niatan untuk menyentuh Asyifa. Bagaimana mau menyentuhnya? Adrian tidak mencintai, Adrian baru kenal Asyifa, dan tidak mungkin Adrian menyentuh perempuan yang hanya dinikahi secara siri. Adrian ingin anak yang sah sesuai agama dan hukum yang berlaku.
“Ya terserah Bapak lah? Saya siap kapan saja, mau sekarang juga saya siap kok, Pak,” ucapnya, berusaha tenang.
“Sekarang?” tantang Adrian seraya mendekat, membuat jarak keduanya menipis.
"Eh?"