Kaivan, anak konglomerat, pria dingin yang tak pernah mengenal cinta, mengalami kecelakaan yang membuatnya hanyut ke sungai dan kehilangan penglihatannya. Ia diselamatkan oleh Airin, bunga desa yang mandiri dan pemberani. Namun, kehidupan Airin tak lepas dari ancaman Wongso, juragan kaya yang terobsesi pada kecantikannya meski telah memiliki tiga istri. Demi melindungi dirinya dari kejaran Wongso, Airin nekat menikahi Kaivan tanpa tahu identitas aslinya.
Kehidupan pasangan itu tak berjalan mulus. Wongso, yang tak terima, berusaha mencelakai Kaivan dan membuangnya ke sungai, memisahkan mereka.
Waktu berlalu, Airin dan Kaivan bertemu kembali. Namun, penampilan Kaivan telah berubah drastis, hingga Airin tak yakin bahwa pria di hadapannya adalah suaminya. Kaivan ingin tahu kesetiaan Airin, memutuskan mengujinya berpura-pura belum mengenal Airin.
Akankah Airin tetap setia pada Kaivan meski banyak pria mendekatinya? Apakah Kaivan akan mengakui Airin sebagai istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Pelukan
Malam itu, Kaivan dan Airin berbaring di dipan kecil milik Airin. Ruangan sederhana itu terasa hening, hanya diiringi suara serangga malam di luar jendela. Kaivan melipat tangannya di bawah kepala, menjadikannya bantal, sementara matanya menatap kosong ke langit-langit kamar, berakting sebagai pria buta. Ia menarik napas pelan sebelum akhirnya berkata dengan suara rendah.
"Aku tak ingin lagi pergi ke dokter mata," ujarnya datar.
Airin yang berada di sampingnya langsung menoleh cepat, terkejut. "Apa? Kenapa, Kak?" tanyanya, bingung.
Kaivan tetap berbaring tenang, tak menjawab langsung. Ia menghela napas, lalu berkata, "Aku hanya... tak ingin lagi. Itu saja."
Airin duduk, bersandar pada kepala ranjang. Matanya menatap Kaivan dengan cemas. "Tapi, Kak... kenapa tiba-tiba seperti ini? Bukankah masih ada harapan untuk sembuh? Dokter juga bilang pengobatan ini berjalan dengan baik. Kau hanya perlu bersabar sedikit lagi."
Kaivan tetap bergeming. "Aku sudah lelah," gumamnya. Lalu ia menolehkan kepala sedikit, seolah mencari arah suara istrinya. "Apa kau keberatan mengurusku? Apa kau keberatan memiliki suami buta seperti aku?"
Airin terdiam sejenak, menatap Kaivan dengan mata berkaca-kaca. Namun, ia segera menggeleng kuat, lalu menjawab dengan mantap, "Tentu saja tidak! Bukankah sejak awal kita menikah, aku sudah berkata... aku berjanji akan merawatmu seumur hidupku, apa pun yang terjadi."
Ia menarik napas dalam, lalu melanjutkan, "Meskipun kau tak akan pernah bisa melihat lagi, aku akan tetap di sisimu, Kak. Kita akan hidup bersama, menghadapi semuanya sampai tua. Janjiku tak akan berubah. Aku tak pernah merasa menyesal atau terbebani."
Kaivan terdiam mendengar jawaban itu. Hatinya bergetar, ada rasa bersalah bercampur hangat yang merasukinya. Namun, ia tetap mempertahankan ekspresi dinginnya, mengalihkan pandangannya kembali ke langit-langit.
"Janji?" tanyanya pelan.
"Janji," jawab Airin tegas, tanpa ragu sedikit pun.
Beberapa menit kemudian keduanya hanya saling diam. Angin malam bertiup kencang, membawa hawa dingin yang merayap masuk melalui celah-celah dinding rumah. Suara titik-titik air mulai jatuh di atas genting, semakin lama semakin deras. Airin mencoba memejamkan mata, tapi udara yang terasa semakin dingin membuatnya tak bisa tidur. Sesekali, ia melirik Kaivan yang masih terbaring dengan tenang, seolah-olah tak terganggu oleh rasa dingin dan suara hujan di luar sana.
Airin menghela napas pelan, hatinya berdebar. Perlahan, ia memiringkan tubuhnya, menghadap Kaivan. Dengan ragu, ia akhirnya membuka suara. "Kak Ivan... aku... boleh memelukmu?" tanyanya hampir berbisik, takut jika suaranya terlalu keras.
Kaivan mengerutkan kening, berpaling sedikit ke arah Airin. "Apa? Suaramu tidak kedengaran, hujannya terlalu deras," jawabnya sambil menaikkan alis, berpura-pura tak mendengar dengan jelas.
Airin menelan ludah, hatinya semakin berdebar. Ia mengeraskan suaranya sedikit, tetapi tetap terdengar ragu. "Aku... aku ingin memelukmu, Kak."
Kaivan mengangkat sedikit bahu, ekspresi wajahnya menunjukkan ia masih tak mengerti. "Hah? Bilang apa tadi? Ulangi, aku nggak dengar."
Airin menutup matanya sebentar, berusaha menenangkan diri. Dengan keberanian yang entah datang dari mana, ia berkata lebih lantang, meski rasa malu menyeruak di dadanya. "Aku... boleh memelukmu?" ia langsung menunduk.
Kaivan terdiam sejenak, memperhatikan wajah istrinya yang terlihat cemas bercampur malu. Kemudian, tanpa peringatan, ia merengkuh Airin dalam pelukannya. Lengan kuatnya melingkari tubuh istrinya, menariknya erat ke dadanya.
Airin terkejut, tubuhnya langsung kaku. Tapi kehangatan dari pelukan Kaivan perlahan membuatnya rileks. Senyuman tipis mulai muncul di bibirnya, sementara hatinya terasa berbunga-bunga. Ia akhirnya membalas pelukan suaminya dengan perlahan, merasa nyaman dalam dekapan Kaivan.
"Kenapa harus tanya dulu? Kalau mau, peluk saja," gumam Kaivan pelan di dekat telinganya, suaranya terdengar lembut.
Airin mengangguk kecil, tersenyum lebih lebar. "Aku hanya... tak ingin kau merasa terganggu," jawabnya pelan.
Kaivan hanya mendekapnya lebih erat, memberikan rasa aman yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata. Di luar, hujan terus mengguyur deras, namun di dalam kamar kecil itu, kehangatan di antara mereka berdua mengalahkan dinginnya malam.
Kaivan memejamkan matanya, namun pikirannya terus bertanya-tanya. "Kenapa tiba-tiba dia bertanya langsung ingin memelukku? Bukankah biasanya dia hanya menyusup diam-diam saat aku pura-pura tidur?" Namun, alih-alih merasa terganggu, Kaivan malah merasa senang. "Mungkin mulai malam ini aku tak perlu lagi pura-pura menganggap Airin sebagai guling," batinnya sambil tersenyum kecil yang tak ia sadari.
Di sisi lain, Airin berbaring nyaman dalam pelukan Kaivan. Hatinya terasa hangat, tetapi ada sedikit rasa geli saat memikirkan keberaniannya malam ini. "Di peluk dengan sadar seperti ini ternyata jauh lebih menyenangkan... daripada terus mencari kesempatan dipeluk dengan pura-pura jadi guling," gumamnya dalam hati, bibirnya membentuk senyuman kecil. Ia terkekeh pelan dalam hati, merasa seperti anak kecil yang baru saja berhasil melakukan sesuatu yang mendebarkan.
Kaivan sempat meliriknya sekilas, tapi tak berkata apa-apa. Dalam keheningan malam yang ditemani suara hujan, keduanya larut dalam pikiran masing-masing, namun tak bisa memungkiri kenyamanan yang perlahan tumbuh di antara mereka.
***
Pagi itu berjalan seperti biasa. Airin sibuk memindahkan barang-barang yang baru saja dikirim oleh pemasok ke dalam toko. Ia menghela napas saat melihat jumlah kardus yang menumpuk di teras. Dengan semangat, ia mulai mengangkat barang satu per satu ke dalam toko.
Kaivan yang duduk di ruang depan, berpura-pura buta, mendengar suara-suara aktivitas itu. Perlahan, ia mendekat sambil menatap kosong. Ia tetap mempertahankan ekspresinya yang datar. “Kau sedang mengangkat barang?” tanyanya tanpa nada antusias.
Airin menoleh kaget, langkahnya berhenti seketika. Kardus yang ia angkat nyaris terlepas dari tangannya karena kaget. “Iya,” jawab Airin akhirnya, suaranya ragu. “Tapi… bagaimana Kakak tahu?” tanyanya, matanya menyipit, mencoba mencari penjelasan.
Kaivan menghela napas perlahan, nada suaranya tetap datar. “Aku mendengar suara kardus itu diletakkan di lantai. Suaranya cukup berat,” ucapnya singkat. Setelah jeda sebentar, ia melanjutkan dengan nada yang tetap terkontrol, “Dan aku juga bisa melihat bayanganmu.”
Airin menatap Kaivan, bingung sekaligus terkejut. “Hah?” gumamnya pelan.
Kaivan menggerakkan kepala sedikit ke arahnya, ekspresinya tetap dingin. “Bukankah aku sudah bilang sebelumnya? Aku tidak sepenuhnya buta. Aku masih bisa melihat bayangan, meskipun tidak jelas.”
Airin terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata itu. Rasa heran di wajahnya perlahan menghilang, tergantikan oleh anggukan kecil meski Kaivan tak bisa melihat, takjub pada pengamatan suaminya. "Iya, Kak, banyak sekali," jawabnya sambil meletakkan kardus, lalu mengusap keningnya yang mulai berkeringat.
"Kalau begitu, biar aku bantu," kata Kaivan sambil melangkah maju, membuat Airin terkejut.
"Tidak, Kak!" Airin langsung menghentikannya. "Bagaimana kalau Kakak terjatuh? Lagipula barang-barangnya berat."
Kaivan menghela napas, lalu menoleh ke arahnya, meski pandangannya tetap kosong. “Tunjukkan saja jalan. Aku akan menghitung langkah. Kalau kau terlalu keras kepala, pekerjaan ini takkan selesai lebih cepat.”
Airin ragu, tatapannya menilai suaminya yang tetap berdiri dengan ekspresi dingin. “Kakak yakin?”
“Sejak kapan aku tidak yakin?” sahutnya datar. “kau tahu aku tidak pernah menabrak apa pun di rumah ini, bukan?”
Airin memutar ingatan, dan memang benar. Meskipun Kaivan sering berjalan sendiri, ia tak pernah menabrak atau jatuh. "Kakak menghitung langkah selama ini?" gumamnya, kagum.
Kaivan mengangguk pelan. "Iya. Jadi, aku bisa melakukannya. Lagipula, tak mungkin kau mengangkat semua barang ini sendirian. Aku ingin membantumu."
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
udah tau punya istri malah kamu dekati...kan kakeknya yang suka,bukan Kaivan nya 🤣🤣🤣
nikah gih ma kakeknya...
Makanya vanya jgn bermain api akhirnya terbakar sendiri....
kaivan akan bertindak tegas siapapun yg mengusik dan menyakiti istri tercintanya....
Kaivan sangat berkuasa dan bukan org sembarangan siapapun yg berani mengusiknya akan dihancurkan...
Dasar siulet bulu vanya kegatelan pgn jd nyonya aeron mimpimu ketinggian vanya jatuh nanti sakit....
kaivan sebelas dua belas sm papa alva berhubungan org dicintai akan gercap bertindak....
hati2 vanya jgn cari masalah lg sm kaivan akan tahu akibatnya...
lanjut thor makin seru dan menarik.....
Waduuuh siulet bulu vanya mau jd pelakor merebut kaivan dr airin...
mimpimu ketinggian vanya mau jd nyonya aeron....
kaivan aja tdk respek sm kamu,,,siulet bulu mau menggagalkan pesta pernikahan airin dan kaivan...
hati2 vanya,pikirkan baik-baik nasib kamu sebelum bertindak
hati2 vanya,pikirkan baik-baik nasib kamu sebelum bertindak