Aku Bukan Wanita Penggoda

Pagi ini, Hanin sudah mempersiapkan diri untuk berangkat ke Kuala Lumpur. Sebelumnya, ia akan mampir ke kantor untuk menyerahkan pengunduran diri. Untung saja, kontrak kerja Hanin berakhir bulan kemarin dan seharusnya bulan ini ia menadatangani kontrak selanjutnya. Namun, karena insiden Kiara melabaraknya tepat di lobby gedung itu, otomatis membuat bagia HRD mengkaji ulang untuk memperpanjang kontrak Hanin. Padahal dalam hal kinerja, loyalitas dan kecerdasan Hanin tidak di ragukan lagi.

Hanin memesan taksi. Ia memastikan rumah yang akan ia tinggali ini aman, karena kemungkinan Hanin akan meninggalkn kota ini dalam waktu yang lama. Ia pun sudah membalut semua perabot di dalam rumah itu, dengan kain putih. Biar bagaimana pun rumah ini adalah tempat kenangannya semasa kecil dan bersama kedua orang tua.

Ia kembali menatap rumah peninggalan sang ayah. jika tak berurusan dengan keluarga Aditama, ia tak akan meninggalkan rumah ini. Hanin menarik nafas dan memasuki taksi yang sedari tadi menunggunya.

Bersamaan dengan itu, orang suruhan Kenan memberitahu gerak gerik Hanin yang mencurigakan. Namun, orang suruhan Kenan itu pun lega ketika Hanin berhenti di depan gedung kantornya.

“Ya sudah, awasi pergerakannya terus. Segera beri tahu aku kemana pun wanita itu pergi.”

“Oke.”

Kenan menutup panggilan telepon dari orang suruhannya itu. Ia kembali bekerja, karena satu jam ke depan ia akan mengadakan rapat koordinasi dengan beberapa jajaran penting yang mengelola usahanya.

****

“Han.” Lani memeluk tubuh Hanin. Ia adalah orang yang paling sedih menerima kenyataan bahwa hari ini adalah hari terakhir temannya bekerja.

“Han, kalau lu kabur dari sini, berarti mereka mengira lu emang salah.” Ucap Tio yang geram dengan keluarga kaya yang telah menindas sahabatnya.

“Mau gimana lagi, Yo. Gue ngga punya kekuatan. Kalau gue terus ada di sini, justru mereka makin nindas gue.” Jawab Hanin.

“Emang seperti apa sih kakaknya istri Mas Gun itu, penasaran gue?” Tanya Lani.

“Dia itu pengusaha muda yang lagi naik daun. Tapi gue juga ngga tau pengusaha yang bergerak di bidang apa?” Hanin balik bertanya sambil mengerdikkan bahunya.

“Pengusaha korek kuping kali.” Ucap Lani tertawa, membuat Tio ikut cekikikan, hingga Hanin yang sedang bersedih pun ikut tersenyum.

“Akhirnya lu ketawa juga, Han.” Ucap Lani, karena setelah insiden pelabrakan Kiara, Hanin praktis tak pernah menyunggging senyum.

“Dia itu pengusaha properti, perimahan mewah yang ada di kawasan xxx itu loh. Itu tuh punya dia. Terus dia juga punya beberapa restoran seafood di sini dan di beberapa negara tetangga.” Jawab Tio. Ada yag satu terlewat, Kenan juga memiliki uasah tambak Udang terbesar dan di eksport ke beberapa negara besar bahkan Eropa.

“Berarti tuh cowok tajir dong.” Sahut Lani.

“Tajir melintir, Bo.” Jawab Tio.

“Udah gitu gantengnya ampun, cucok meong deh pokoknya.” Kata Tio lagi.

Lani pun langsung mencari nama Kenan di google ponselnya. Kemudian muncullah biodata Kenan beserta foto diri dan keluarganya, juga ada beberpa fotonya bersama sang kekasih.

“Ini orangnya, Han? Ganteng tau.” Lani langsung menunjukkan ponselnya pada Hanin.

Seketika tubuh Hanin gemetar dan takut melihat wajah Kenan di ponsel itu.

“Han, kenapa ngga lu goda aja si pengusaha itu. dari pada sama Mas Gun yang udah beristri, mending sama kakak iparnya aja n ih massih lajang.” Celetuk Lani, sembari langsung mensearch nama Kenan dan keluarganya di google.

“Apaan sih. Hatinya ngga sebagus parasnya Lan. Orangnya mengerikan.” Jawab Hanin.

“Lu emang udah ketemu dia?” Tanya Tio.

Hanin mengangguk.

“Terus terus, wah beruntung lu Han, ketemu cowok ganteng kek gitu.” Celetuk tio senyam senyum.

“Beruntung dari Hongkong. Udah ah, gue mau beresin meja gue dulu.”

“Lu terbang yang jam berapa, Han?” Tanya Lani.

“Sore. Kebetulan tiket di jam itu lagi promo.”

“Dasar, otak promo.” Celetuk Tio, yang langsung di balas Hanin dengan senyum.

“Ah, gue pasti bakalan kangen sama lu, Han.” Lani memeluk Hanin lagi. Kali ini Tio pun ikutan dan memeluk kedua gadis di hadapannya.

Semua teman di ruangan Hanin sudah mengira bahwa Hanin akan resign, karena sudah dua minggu kontrak lanjutan belum juga keluar. itu artinya perusahaan meminta Hanin untuk mundur dengan sendirinya. Ternyata, si pemilik perusahaan tempat Hanin bekerja, sudah mengetahui dengan siapa Hanin berurusan. Karena ternyata, perusahaan Kenan adalah satu perusahaan yang selalu menggunakan jasa advertising di tempat Hanin dengan bayaran yang cukup tinggi.

“Han, maaf ya. Aku ngga bisa mempertahankan posisimu di sini.” Ucap atasan Hanin.

Hanin mengangguk. “Tidak apa, Bu. Lagi pula saya memang tidak tinggal di kota ini lagi.”

“Kamu akan menetap di Malaysia?” Tanya atasan Hanin yang memang tahu bahwa Hanin hanya memiliki kakak yang tinggal di sana.

Hanin mengangguk. “Mungkin, Bu.”

Wanita paruh baya yang sudah lama menjadi atasan Hanin itu, menepuk bahu Hanin dan berkata, “di mana pun kamu berada, semoga selalu sukses.”

“Terima kasih, Bu.”

Lalu, Hanin berfoto bersama seluruh teman-teman yang berada di ruangan itu. ruangan yang khusus untuk bagian keuangan dan administrasi. Setelsh, itu ia berpamitan.

Tepat pukul dua siang, Hanin di antar Lani dan Tio hingga sampai di lobby bawah dan menunggu taksi yang Hanin pesan tiba.

“Take care ya, Han. Jangan lupa tetap kabar-kabaran sama gue.” Kata Lani.

Hanin tersenyum dan mengangguk, mereka kembali berpelukan.

“Han, kalau ada orang melayu yang ganteng. Kenalin ke gue ya.” Ucap Tio.

“hello, kalo ada cowok ganteng itu buat gue, bukan buat lu.” Celetuk lani yang langsung mentoyor kepala Tio.

Hanin tertawa. “Pokoknya, kalo gue balik ke sini. lu harus udah sembuh ya, Yo.”

“Dih, emang gue sakit.” Sahut Tio dengan mengerutkan keningnya.

“Emang.” Ujar lani kesal.

“Ya udah, gue pergi ya. Tuh taksi gue udah di depan. Bye.” Hanin kembali tersenyum pada kedua sahabatnya ini dan melambaikan tangannya.

“Titi Dj ya, Han.” Tio pun melambaikan tangannya ke arah Hanin.

“Gue akan selalu merindukan lu, Han.” Ucap Lani.

Hanin terus memandangi gedung itu dari dalam taksi yang ia naiki. Waktu terasa berputar begitu cepat. Rasanya baru kemarin ia gembira karena di terima bekerja di tempat yang cukup elite dengan gaji yang cukup besar. Baru saja beberapa bulan yang lalu, ia dan Gunawan berbincang bahagia tentang pernikahan dan ingin memiliki anak berapa? Namun, ternyata itu semua hanya mimpi karena takdir tak memihaknya untuk menggapai kebahagiaan dalam waktu singkat. Kini ia harus berjuang lagi.

“Bye.. Bye.. Jakarta.” Gumam Hanin seraya mengulas senyum.