Attention!! Lapak khusus dewasa!!
***
Vincent tanpa sengaja bertemu dengan Valeska di sebuah bar. Niat awalnya hanya untuk menyelamatkan Val yang diganggu laki-laki, namun akhirnya malah mereka melakukan 'one night stand'.
Dan ketika paginya, Vincent baru sadar kalau gadis yang dia ambil keperawanannya tadi malam adalah seorang siswi SMA!
***
Tolong bijak dalam memilih bacaan. Buat bocil gak usah ikut-ikutan baca ini, ntar lu jadi musang birahi!
Gak usah julid sama isi ceritanya, namanya juga imajinasi. Halu. Wajar saja kan? Mau kambing bertelor emas juga gapapa. :"D
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon agen neptunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Baper?
Vincent memarkir mobil di area parkir supermarket yang jaraknya cukup jauh dari apartemennya. Valeska yang sedari tadi diam saja, akhirnya nggak tahan buat bertanya.
“Pak,” panggilnya sambil membuka seatbelt. “Kenapa mesti ke supermarket sejauh ini? Padahal di dekat apartemen juga ada, kan?”
Vincent cuma nyengir kecil sambil keluar dari mobil. “Pengen aja. Biar beda suasana.”
Pengen aja, katanya. Padahal alasan sebenarnya? Dia sengaja cari supermarket yang jauh biar tidak ada resiko ketemu orang yang dikenal. Kalau sampai ke Megan atau, lebih parah lagi ibunya, Melani, bisa berabe urusannya. Tapi, jelas aja, itu bukan hal yang perlu Valeska tahu.
“Yuk, masuk.” Vincent menambahkan, berjalan lebih dulu menuju pintu masuk supermarket.
Valeska menurut, mengikuti langkah Vincent. Begitu masuk, matanya langsung berbinar. Bau segar sayur dan buah-buahan memenuhi udara. Ah, ini tempat yang sangat Valeska sukai! Dia tidak menunggu lama buat ambil troli. Tapi baru saja roda troli bergerak, Vincent tiba-tiba mengambil alih gagang troli itu.
“Eh, kok diambil, Pak?” protes Valeska bingung.
“Biar gue aja yang dorong. Tugas lo cukup pilih barang dan isi kulkas gue, oke?” jawab Vincent santai.
Valeska langsung mengangguk semangat. “Siap, Pak Bos!” katanya ceria, berjalan ke rak buah-buahan dengan langkah penuh semangat.
Vincent melirik gadis itu dari samping. Senyumnya muncul tanpa dia sadari. Dia sangat senang setiap kali melihat Valeska bersemangat.
“Val,” panggil Vincent tiba-tiba.
“Iya, Pak?” Valeska menoleh, menatap Vincent yang sekarang berdiri cukup dekat dengannya.
“Boleh lebih banyak isi dengan buah-buahan?”
Namun, sebelum Valeska sempat menjawab, telinganya menangkap bisik-bisik dari dua ibu-ibu yang lagi belanja di dekat mereka.
“Lihat, Bu,” bisik salah satu ibu yang rambutnya keriting pendek. “Pasangan muda itu serasi banget, ya. Romantis banget belanja berdua begini. Pengantin baru kayaknya.”
Yang satu lagi, ibu berjilbab, langsung mengangguk setuju. “Aku jadi inget awal nikah dulu, suka banget ditemenin belanja sama suami. Sekarang? Duh, jangankan belanja, nelpon aja kadang lupa!”
Mereka berdua tertawa cekikikan. Sementara itu, Vincent dan Valeska langsung salah tingkah. Valeska buru-buru membuang muka, sementara Vincent cuma tersenyum kecil.
Nikah? Gue? Ya ampun, Bu. Gue ini masih SMA. Muka gue setua itu apa ya? batin Valeska sambil memutar bola mata
Di sisi lain, Vincent cuma mengulum senyum. Anehnya, dia merasa… senang? Ada sesuatu dalam komentar ibu-ibu itu yang bikin hatinya berdesir aneh.
Namun, momen canggung itu mendadak terpecah oleh suara seorang anak kecil.
“Minggir, Kak!” teriak bocah laki-laki sambil mendorong troli dengan kecepatan nggak wajar. Trolinya nyaris menabrak Valeska yang saking kagetnya cuma bisa berdiri mematung.
Semuanya terjadi dalam hitungan detik. Sebelum tabrakan benar-benar terjadi, Vincent dengan refleks menarik Valeska ke arahnya, melingkarkan tangannya di pinggang gadis itu. Tiba-tiba, mereka saling berhadapan. Wajah mereka begitu dekat. Mata mereka bertemu, dan waktu seakan berhenti.
Valeska terdiam. Jantungnya berdetak kencang. Ada sesuatu di mata Vincent—tatapan itu terasa familiar. Terlalu familiar. Mirip… dengan pria di malam itu. Malam di mana dia kehilangan segalanya.
“Nggak mungkin,” gumam Valeska pelan.
“Hm?” Vincent bertanya, melepas pelukan dengan gerakan canggung. Wajahnya memerah, dan dia buru-buru melangkah mundur. “Maaf, Val.”
Nggak mungkin. Masa iya lelaki itu Pak Vincent? Hanya matanya saja yang mirip. Atau … hanya perasaanku saja.
“Val, lo kenapa?” tanya Vincent, suaranya terdengar khawatir.
“Hm?” Valeska terlonjak. “Oh, nggak apa-apa, Pak.”
“Kalau lo masih kaget, kita bisa—”
“Enggak, enggak. Aku beneran gapapa, kok. Ayo lanjut belanja,” potong Valeska buru-buru, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Vincent menatapnya beberapa detik lebih lama sebelum akhirnya mengangguk. “Oke, kalau lo bilang gitu.”
Mereka kembali berjalan menyusuri lorong supermarket, tapi suasananya terasa sedikit berbeda. Untuk Vincent, adegan tadi seperti alarm di hatinya, bahwa dia nggak bisa lagi menyangkal rasa yang mulai muncul untuk gadis ini. Sementara itu, untuk Valeska, ada pertanyaan yang terus berputar di kepalanya.
Apakah mungkin Vincent orangnya?
......................
Sore itu, setelah sesi belanja di supermarket yang cukup jauh dari apartemen Vincent, dia memutuskan untuk mengajak Valeska menikmati es krim. Entah untuk mengalihkan suasana atau sekadar alasan supaya waktu mereka berdua lebih panjang. Belanjaan sudah aman di bagasi mobil, dan kini keduanya duduk santai di sebuah kedai es krim yang ada di dekat supermarket.
Valeska tampak bahagia. Bola matanya berbinar, menikmati satu scoop besar es krim pistachio mahal yang bahkan jarang dia temui.
“Enak, Val?” Vincent bertanya sambil menopang dagu di meja, melihatnya dengan senyum tipis yang nyaris nggak pernah dia sadari begitu tulus.
“Banget!” Valeska menjawab penuh semangat. “Ini es krim mahal, Pak. Mana mungkin nggak enak.”
Vincent tergelak. “Dasar polos. Yang mahal belum tentu enak, loh. Tapi kalau buat lo, kayaknya apa aja jadi enak.”
Valeska mendelik dengan bibir yang sedikit belepotan es krim. “Pak Vincent itu kenapa sih? Kadang sok serius, kadang tiba-tiba nyebelin. Gak konsisten banget!”
“Gue fleksibel, Val. Tergantung situasi dan lawan bicara aja,” balas Vincent santai, diselingi tawa kecil.
Mereka diam sejenak, menikmati es krim masing-masing. Tapi otak Vincent tidak bisa berhenti bertanya-tanya. Ada satu hal yang dari tadi membuat dia penasaran.
“Val…” Vincent akhirnya membuka mulut lagi.
“Hm?” jawab Valeska sambil masih fokus menyeruput lelehan es krimnya.
“Setelah lulus SMA, lo mau kuliah?”
Valeska mengangguk cepat. “Iya. Mau di kampus tempat Sam ngajar.”
Vincent menaikkan alis. “Sam? Lo segitunya deket sama dia?”
“Banget. Dia tuh udah kayak kakak buat saya.”
Oh, really? Kakak? Yakali Sam nganggap lo cuman adik. Please deh, Val. Vincent membatin sambil memutar sendok es krim di tangannya, berusaha mengontrol ekspresi mukanya yang mulai bete.
Obrolan mereka terhenti sejenak karena HP Vincent yang ada di meja tiba-tiba bergetar. Nama “Megan” muncul di layar, cukup jelas terlihat oleh Valeska.
Megan lagi? batin Valeska sambil melirik tanpa ekspresi.
Vincent dengan santainya menggeser tanda merah di layar, menolak panggilan itu.
“Kok ditolak, Pak?” tanya Valeska, nadanya terdengar hati-hati.
Vincent menatap Valeska sambil tersenyum. “Gue kan lagi sama lo.”
Kalimat itu sukses bikin jantung Valeska berdetak lebih cepat. Astaga, Pak Vincent. Kenapa ucapannya harus semanis ini? Kayak gue tuh orang spesial banget di hidup lo.
“Oh iya, Val,” Vincent menggeser pembicaraan, “Di mobil tadi gue tanya soal lo punya pacar. Tapi lo malah ketawa. Kenapa?”
Valeska menatapnya dengan santai. “Emangnya saya keliatan kayak punya waktu buat pacaran, Pak?”
Vincent menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Valeska lebih lekat. “Lo cantik, menarik, asyik diajak ngobrol. Masa sih nggak ada yang deketin lo?”
Valeska menahan senyum. “Kalau begitu lebih nyaman dijadiin temen aja kan, Pak? Nggak perlu pacaran.”
Vincent tertawa kecil. “Nggak begitu juga, Valeska.”
“Hhh … gimana, ya?” Valeska menghela napas. “Pacaran itu kayaknya nggak masuk prioritas, deh. Mending nyari uang aja.”
“Lo kan udah punya uang,” Vincent menyindir sekaligus memancing. “Yang lo titipin ke gue itu, apa bukan?”
Valeska menatap Vincent dengan serius. “Itu… bukan uang saya.”
“Hah? Kok bisa?”
“Itu uang saya temukan di bar,” jawab Valeska sambil sedikit menunduk, jelas nggak nyaman.
Vincent langsung menyipitkan mata, penuh kecurigaan. Apakah ini saatnya gadis itu akan bercerita soal malam itu.
“Bar? Lo ke bar, Val? Lo kan masih pelajar. Emang boleh?”
“Saya nggak sendirian.” Valeska akhirnya mengaku. “Saya diajak Sony. Dia temenan sama yang jaga bar, jadi saya bisa masuk.”
Vincent mengangguk, mencoba mencerna informasi itu. “Terus … tujuan lo ke bar itu apa?”
Suasana tiba-tiba jadi lebih hening. Valeska menunduk, memainkan sendok di tangannya. Akhirnya dia menjawab pelan. “Saya… mau cari om-om.”
Kalimat itu sukses bikin Vincent hampir tersedak. What the hell did she just say? Cari om-om? Seriously?
...****************...