Jihan, harus memulai kehidupannya dari awal setelah calon kakak iparnya justru meminta untuk menggantikan sang kakak menikahinya.
Hingga berbulan-bulan kemudian, ketika dia memutuskan untuk menerima pernikahannya, pria di masa lalu justru hadir, menyeretnya ke dalam scandal baru yang membuat hidupnya kian berantakan.
Bahkan, ia nyaris kehilangan sang suami karena ulah dari orang-orang terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Setelah menguping pembicaraan papa, mama serta mas Sagara, pikiranku di buat kacau memikirkan tentang kak Lala, rasanya ingin sekali aku memperjelas apa yang ku dengar dari mertuaku dengan bertanya langsung pada ayah dan bunda.
Selama sesi memasak hingga makan malam bahkan sampai detik ini pun pikiranku tak kunjung tenang.
Aku tak mendengar setiap kali papa atau mama bertanya, sampai-sampai mereka selalu mengulang pertanyaannya. Mas Sagara sendiri selalu membenturkan lututnya ketika aku hanya diam saat di ajak mengobrol.
Dan persekian detik aku pun tersadar dari pikiranku yang kacau karena terus melamun.
Tentu saja membuat mereka heran. Dengan beralasan aku sedikit tidak enak badan, akhirnya aku menyudahi makan malamku dan bergegas meninggalkan meja makan setelah mereka mengijinkanku untuk istirahat di kamar.
Jihan nggak enak badan pah, semoga saja ini pertanda kalau itu tanda-tanda dia hamil.
Itu sepenggal kalimat mama yang samar ku dengar sesaat setelah aku meninggalkan ruang makan.
Sejujurnya aku sedikit ilfil dengan keinginan mama itu, mereka tidak tahu seperti apa pernikahanku dengan mas Sagara yang sebenarnya, tapi nggak mungkin aku beritahu mereka.
Apalagi ayah bunda, mereka pasti sedang sedih memikirkan kak Lala, jika aku memberitahu tentang pernikahan kami, jelas pikiran mereka akan bertambah ruwet, dan pastinya akan kecewa.
Di sini, lagi-lagi aku yang harus bersabar.
Sementara mas Sagara pasti senang begitu dengar kabar kakaku sakit, dia pasti tertawa jahat dalam hati karena wanita yang sudah menyakitinya, telah menerima balasan atas perbuatannya.
Menghembuskan napas perlahan, suara lonceng jam di kamar mas Sagara tiba-tiba berbunyi, itu menandakan kalau waktu saat ini sudah menunjukan tepat pukul sepuluh malam. Lampu kamar yang sudah mati, dan hanya menyisakan lampu meja, lamat-lamat ku lihat bayangan mas Sagara keluar dari kamar mandi karena baru saja selesai membersihkan diri.
Aku yang tengah tidur miring dengan membelakanginya, tak tahu apa yang sedang pria itu lakukan.
Hingga beberapa menit berlalu, ku rasakan ada pergerakan seseorang merebahkan diri di atas ranjang. Wangi sabun yang menguar, reflek membuatku menarik napas panjang sambil menikmati aromanya yang terasa begitu menenangkan.
Satu menit, dua menit, hingga tiga menit, tak ada suara apapun dari arah balik punggungku.
Mungkinkah mas Sagara sudah tidur?
Memberanikan diri, aku memanggilnya meski agak sedikit ragu.
"Mas!"
"Hmm" Sahutnya. Itu artinya dia belum tidur.
Tapi ngomong-ngomong, mendengar sahutannya jantungku entah kenapa tiba-tiba berdesir. Meski hanya deheman, itu cukup membuatku merasa nyaman.
"Apa tanggapan mas soal kak Lala?" tanyaku masih dalam posisi tidur membelakanginya.
Tak langsung menjawab, aku yakin mas Sagara merasa heran dengan pertanyaanku.
"Tanggapan yang gimana?" tanyanya.
"Soal sakitnya kakak?"
"Kamu tahu?"
"Aku mendengar pembicaraan kalian tadi sore saat di teras rumah"
Detik itu juga aku kembali merasakan pergerakan dari mas Sagara. Pria itu pasti terkejut.
"Kamu dengar obrolan kami?"
"Iya" Jawabku ada sedikit sesak. "Mamah merasa bersyukur karena nggak jadi punya menantu penyakitan, kan? Apalagi sakitnya di bagian reproduksi wanita. Apa yang mama inginkan pasti terhambat"
"Maksud mama bukan begitu kok" Nada mas Sagara terdengar begitu menyesal atau merasa bersalah mungkin.
"Nggak apa-apa kok, dan itu wajar. Setiap mertua pasti ingin memiliki menantu yang ideal, pintar, dan tentunya sehat secara lahir dan batin" Kataku masih belum merubah posisi meski salah satu tanganku sedikit pegal karena menopang kepala.
"Apa mas juga bersyukur nggak jadi nikahin kakak? Mas menyukuri kakak dan mas Tera karena sudah nyakitin mas. Mas anggap ini karma mereka berdua? Atau mas merasa iba, kasihan pada kak Lala?"
"Enggak semuanya"
Mendengar jawabannya, otomatis aku menoleh ke belakang.
Tampak mas Sagara tengah duduk menyandarkan punggunya di kepala ranjang sambil menatapku.
"Maksudnya?" tanyaku tak mengerti. Aku lantas turut duduk memposisikan diri persis sepertinya.
"Kamu tanya apa tanggapanmu kan?"
Aku mengangguk mengiyakan.
"Aku nggak menanggapinya, karena itu bukan sesuatu yang penting dan bukah sesuatu yang harus ku tanggapi"
"Bohong, mas pasti senang karena mas Tera dan kak Lala dalam kesulitan sekarang, iya kan? Mas tertawa riang, karena kakak mendapat karma?"
"Aku nggak ada waktu buat mikirin istri orang, apalagi menertawakannya"
"Halah, palingan ngomong gitu cuma di mulut aja"
"Terserah apa prasangkamu" jawabnya lalu merebahkan diri membelakangiku.
Ketika tangannya menarik selimut untuk menutupi dadanya, dengan gerak cepat ku tarik selimutnya kembali.
"Aku belum selesai bicara, mas"
"Oh, masih ada lagi?" Mas Sagara merentangkan badan, lalu menopang kepalanya dengan kedua tangan yang ia lipat.
"Mas jawab jujur dulu"
"Bukankah sudah ku jawab tadi"
"Tapi aku nggak percaya"
"Ya terus?" Dia memicingkan mata melihat reaksiku.
"Meski hanya seujung kuku, mas pasti senang setelah mendengar kakak sakit, kan?"
"Aku nggak senang, juga nggak sedih, biasa aja"
"Bohong"
"Apa aku harus membuktikan ucapanku?"
"Tentu saja!"
Satu alis mas Sagara tiba-tiba terangkat di susul dengan senyuman miringnya.
"Kalau kamu ingin aku jawab jujur" Pria itu masih tidur terlentang sambil menatapku dengan sorot mata yang tak bisa ku pahami. "Kalau ingin bukti dari ucapanku, buktikan dulu apakah kamu belum pernah tidur dengan mantan pacarmu?"
Mas Sagara mengatakannya dengan sangat tenang, sedangkan aku sendiri sudah deg-degan tak karuan.
"M-membuktikan? B-bagaimana aku membuktikannya?" Aku menelan ludah ketika mas Sagara kembali tersenyum.
"Mau ku ajari?" Tahu-tahu mas Sagara memposisikan diri di atasku.
Sementara jantungku di dalam sana makin melejit detakannya.
"A-apa maksud mas?"
"Buktikan dulu apakah kamu belum pernah tidur dengan mantan pacarmu yang tampan itu?" Satu tangan mas Sagara menahan kedua tanganku yang ada di atas perut, sementara tangan lainnya dengan lancang membuka kancing piyamaku.
"M-mas mau apa?" Tanyaku yang tak bisa berkutik, kedua kakiku juga seakan lumpuh dan tak bisa ku gerakkan.
"Membuktikan ucapanmu" Tangan mas Sagara yang terus membuka kancing bajuku satu persatu, membuat asset berhargaku otomatis terlihat, sebab aku tak pernah memakai bra saat tidur.
Dan meski hanya menggunakan lampu temaram, tetap saja mas Sagara bisa melihat dengan jelas kedua assetku yang tersimpan di bagian dada ini.
Memejamkan mata, tanpa sadar aku bersuara.
"Please jangan"
Bersambung