John Ailil, pria bule yang pernah mengalami trauma mendalam dalam hubungan asmara, mendapati dirinya terjerat dalam hubungan tak terduga dengan seorang gadis muda yang polos. Pada malam yang tak terkendali, Nadira dalam pengaruh obat, mendatangi John yang berada di bawah pengaruh alkohol. Mereka terlibat one night stand.
Sejak kejadian itu, Nadira terus memburu dan menyatakan keinginannya untuk menikah dengan John, sedangkan John tak ingin berkomitmen menjalin hubungan romantis, apalagi menikah. Saat Nadira berhenti mengejar, menjauh darinya dan membuka hati untuk pria lain, John malah tak terima dan bertekad memiliki Nadira.
Namun, kenyataan mengejutkan terungkap, ternyata Nadira adalah putri dari pria yang pernah hampir menghancurkan perusahaan John. Situasi semakin rumit ketika diketahui bahwa Nadira sedang mengandung anak John.
Bagaimanakah akhir dari kisah cinta mereka? Akankah mereka tetap bersama atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Menemani
Nadira tampak begitu santai, sibuk mengeringkan rambutnya, sama sekali tak menyadari tatapan John yang terus melekat padanya.
"Ehem," Berusaha mengendalikan dirinya, John berdeham pelan, berharap bisa mengalihkan perhatian.
Mendengar suara itu, Nadira menoleh dan mendapati John yang kini sepenuhnya terjaga, duduk bersandar di ranjang sambil menatapnya dengan sorot mata yang tak terbaca. Seketika, wajah Nadira memerah, namun ia berusaha mempertahankan ekspresi tenangnya.
"Selamat pagi, Om," sapa Nadira dengan senyum lembut, seolah tak ada yang aneh dari situasi ini.
John menarik napas dalam, mencoba untuk tetap tenang meski pikirannya kacau. "Pagi," balasnya dengan suara serak, matanya masih sulit untuk berpaling dari sosok Nadira. "Kamu... sudah siapin sarapan?"
Nadira mengangguk, senyum lebar menghiasi wajahnya. "Iya, sudah. Om harus coba, aku bikin menu spesial pagi ini," ucapnya sambil berbalik berjalan menuju lemari. Entah sejak kapan ada pakaiannya di lemari John.
John menatapnya sejenak sebelum buru-buru mengalihkan pandangan, mencoba menenangkan hatinya yang mulai bergejolak. Nadira benar-benar telah menjadi sosok yang semakin sulit ia abaikan, dan pagi ini, ia merasakan dilema yang kembali membuatnya bimbang.
Setelah mengambil pakaian dan hendak memakainya, Nadira melirik John yang masih duduk di atas ranjang dengan ekspresi tak terbaca. "Om!" panggil Nadira, mencoba menarik perhatiannya. "Om nggak mau mandi? Apa hari ini Om nggak kerja?" tanyanya sambil melirik jam digital di atas nakas. Biasanya, di jam seperti ini, John sudah berada di kamar mandi, sementara Nadira menyiapkan pakaian kerjanya.
John terhenyak, menyadari waktu yang sudah beranjak cepat. Ia segera berdiri dan berjalan menuju kamar mandi dengan langkah tergesa.
Melihat reaksinya, Nadira tersenyum geli. "Om terpesona sama aku, ya, sampai lupa mandi?" godanya sambil tertawa kecil.
John, yang baru saja memegang kenop pintu kamar mandi, berhenti sejenak. "Aku terpesona sama kamu? Nggak mungkin," sangkalnya dengan suara datar, tanpa menoleh. Namun, dalam hati, ia tak bisa menyangkal bahwa apa yang Nadira katakan ada benarnya.
***
John sudah berpakaian rapi, duduk di seberang Nadira, mencoba menikmati sarapan yang ia tahu seharusnya terasa enak. Namun, pikirannya terlalu kacau untuk benar-benar merasakan apa pun. Ia mencuri pandang ke arah gadis itu, yang sedang menikmati sarapannya. Nadira tampak begitu santai, seolah tak ada beban dari percakapan mereka semalam, apalagi kejadian tadi pagi.
"Apa yang sebenarnya terjadi denganku?" gumam John dalam hati, menghela napas panjang. Ia menyesap kopinya perlahan, berharap rasa pahit itu bisa mengusir kegelisahan yang menyelimuti pikirannya. Namun, bayangan kejadian tadi pagi kembali muncul di benaknya, tatapan tak sadar yang terlalu lama ia berikan pada tubuh Nadira. Bukan hal baru baginya melihat wanita berpakaian minim atau bahkan tanpa busana, tetapi kenapa dengan Nadira semuanya terasa berbeda?
Ia memalingkan pandangannya saat Nadira menoleh, nyaris ketahuan sedang mencuri pandang. "Biasanya aku bisa mengendalikan ini... Tapi dengan dia, rasanya semua logikaku runtuh begitu saja. Apa yang salah denganku?" gumamnya dalam hati.
John meletakkan sendoknya, menatap piring yang hampir tak tersentuh. Selama ini, ia tak pernah benar-benar terikat pada seorang wanita. Hubungan intim baginya hanyalah pelampiasan sesaat, kebutuhan biologis yang tak pernah melibatkan emosi. Wanita-wanita yang pernah bersamanya adalah bayangan samar yang mudah ia lupakan. Tapi Nadira… hanya dengan satu senyumnya, ia sudah seperti pria yang kehilangan kendali.
Ia menatap Nadira lagi, yang kini masih menikmati makanannya dengan tenang. "Apa karena aku membiarkan dia tinggal? Karena aku terbiasa melihatnya setiap hari? Atau memang ada sesuatu yang salah denganku?" pikirnya, menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gejolak dalam dirinya.
"Om nggak makan?" tanya Nadira tiba-tiba, memecah lamunan John.
John terkesiap, lalu segera mengalihkan pandangan. "Nggak apa-apa. Aku cuma... nggak terlalu lapar," jawabnya singkat, mengambil roti di piringnya hanya untuk terlihat normal.
Namun, di dalam dirinya, pertanyaan itu terus berputar: "Kenapa hanya dengan dia, semua batasanku terasa goyah?"
Beberapa menit kemudian mereka selesai sarapan. Nadira sedang sibuk membereskan meja makan sambil menatap John yang masih duduk di tempatnya, terlihat sibuk dengan ponselnya. "Om," panggil Nadira, mencoba mendapatkan perhatiannya. "Mau makan malam apa? Aku bisa masak sesuatu yang Om suka."
John hanya mengangkat bahu, masih fokus pada layar ponselnya. "Terserah. Apa saja yang gampang."
Nadira mengangguk, bersiap menuju dapur, tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara John.
"Tunggu!" seru John tiba-tiba.
Nadira menoleh, mendapati pria itu mengamati pakaiannya, kaus oversize yang terlihat sudah usang dan celana pendek yang sedikit melar.
John menghela napas panjang, lalu berbicara dengan nada datar. "Nadira, kau perlu membeli pakaian baru. Juga skincare untuk perawatan kulit, dan mungkin pergi ke spa."
Nadira mengernyit bingung, mencoba mencerna maksud perkataan John. "Spa? Skincare? Memangnya kenapa, Om?"
"Jangan salah paham," tegas John dengan nada dingin, menghindari kontak mata. "Aku menyuruhmu melakukan itu bukan karena aku perhatian. Tapi, selama tiga bulan ke depan, kau akan tidur bersamaku di kamarku. Aku nggak nyaman dengan bahan pakaianmu yang kasar, atau kulitmu yang terasa kusam. Kalau kau ingin terus tidur di kamarku tanpa mengangguku, pakaianmu harus lembut, kulitmu juga harus halus, lembut, dan wangi. Pergi ke spa, urus semuanya."
Nadira terdiam, menatap John dengan mulut sedikit terbuka. "Pakaian baru, skincare, spa?" pikirnya, merasa tak percaya dengan standar aneh yang baru saja diucapkan pria itu. Ia mencoba memikirkan biaya yang akan ia keluarkan untuk memenuhi permintaan tersebut. Semua itu pasti mahal.
Melihat Nadira tetap diam, John berdeham, tampak tak nyaman dengan ekspresi gadis itu. "Ada apa? Kalau soal uang, jangan khawatir. Saldo di ATM yang aku berikan padamu cukup untuk membeli itu semua itu."
Nadira menghela napas panjang, namun saat ia masih tak tahu apa yang akan ia katakan, John kembali bicara.
"Eh, tunggu! Hari Minggu nanti aku akan menemanimu membeli semuanya."
Kata-kata itu membuat Nadira semakin terkejut. "Om serius? Om mau nemenin aku belanja?" tanyanya tak percaya.
John mengangguk singkat, kembali memfokuskan perhatian pada ponselnya seolah percakapan tadi tak penting. "Kalau kamu pergi membelinya sendiri, aku takut kamu membeli yang murah. Jadi aku akan pastikan semuanya sesuai."
Nadira hanya bisa menatap pria itu dengan campuran bingung, terkejut, dan, di luar dugaan, ia merasa sangat senang. "Baiklah, Om. Aku akan ingat janji Om untuk nemenin aku belanja hari Minggu," ucapnya pelan sambil menahan senyum kecil di bibirnya.
Membayangkan akan berbelanja ditemani John membuat Nadira tak bisa menyembunyikan senyum kecil di wajahnya. Hatinya berbunga-bunga. "Ini pertama kalinya ada pria yang akan menemaniku belanja, gumamnya dalam hati," perasaan hangat memenuhi dadanya. Selama ini, ia terlalu sibuk dengan kuliah, menjadi asisten dosen, dan pekerjaan paruh waktu sehingga waktu untuk sekadar memikirkan hubungan asmara nyaris tak ada. Para mahasiswa lain pun tak berani mendekatinya karena Nadira terlihat menjaga jarak dengan teman laki-laki. Kini, bayangan sederhana tentang ditemani berbelanja oleh orang yang ia sukai justru membuatnya senang luar biasa.
Sementara itu, di sisi lain, John yang sedang mempersiapkan dirinya untuk bekerja justru merasa geram pada dirinya sendiri. "Kenapa aku harus menawarkan diri untuk menemaninya belanja? Seharusnya aku menyuruh sekretarisku saja!" gerutunya, suara rendahnya terdengar samar. Ia mengusap wajah dengan kasar, mencoba menenangkan pikirannya. "Tapi, sialnya, aku sudah mengatakannya. Menarik kata-kataku sekarang hanya akan terlihat aneh," pikirnya, merasa terjebak oleh keputusannya sendiri.
***
Nadira melangkah keluar dari gerbang kampus, tas selempang kecilnya tergantung di bahu, raut wajahnya terlihat lelah namun tetap memancarkan semangat. Ia menarik napas dalam-dalam, membayangkan sore yang akan ia habiskan di kafe tempatnya bekerja paruh waktu. Namun langkahnya mendadak terhenti saat seorang berdiri menghadang jalannya.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
beno Sandra dan sasa merasa ketar-ketir takut nadira mengambil haknya dan beno Sandra dan sasa jatuh jatuh miskin....
mampus org suruhan beno dihajar sampai babak belur sampai patah tulang masuk rmh sakit....
Akhirnya menyerah org suruhan beno resikonya sangat besar mematai2 nadira dan dihajar abis2an sm anak buahnya pm john....
belajarlah membuka hatimu tuk nadira dan nadira walaupun msh polos dan lugu sangat cocok john sangat patuh n penurut.....
Sampai kapan john akan hidup bayang2 masalalu dan belajar melangkah masa depan bersama nadira....
masak selamanya akan menjadi jomblo abadi/perjaka tuwiiiir🤣🤣🤣😂