Bagaimana jika orang yang kamu cintai meninggalkan dirimu untuk selamanya?
Lalu dicintai oleh seseorang yang juga mengharapkan dirinya selama bertahun-tahun.
Akhirnya dia bersedia dinikahi oleh pria bernama Fairuz yang dengan menemani dan menerima dirinya yang tak bisa melupakan almarhum suaminya.
Tapi, seseorang yang baru saja hadir dalam keluarga almarhum suaminya itu malah merusak segalanya.
Hanya karena Adrian begitu mirip dengan almarhum suaminya itu dia jadi bimbang.
Dan yang paling tak di duga, pria itu berusaha untuk membatalkan pernikahan Hana dengan segala macam cara.
"Maaf, pernikahan ini di batalkan saja."
Jangan lupa baca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Siang hari ketika sinar sang Surya terik menyinari permukaan bumi, mobil Adrian kini memasuki halaman rumah ibunya.
"Bikinin minum Bu, pasti anakmu lelah, mobilnya sampai mengebut begitu." kata Pak Seno, dari kejauhan ia dapat melihat mobil Adrian melaju kencang lalu berhenti di halaman rumahnya.
Belum lagi Bu Susi berbalik badan, perempuan tua itu langsung berlari mendekati mobil Adrian.
"Hana kenapa?" tanya Bu Susi, tampak Adrian membantu Hana keluar dengan hati-hati.
"Demam Bu." jawab Adrian, kemudian membiarkan ibumu memapah Hana masuk ke dalam rumah.
"Kok bisa begini?" tanya Ibu, menoleh wajah Hana dengan khawatir.
"Bu, Hana nak istirahat. Boleh kah tinggalkan Hana sendirian?"
Bu Susi tertegun, tak biasanya Hana bersikap demikian kepadanya. Hana meraih daun pintu menuju kamarnya, kemudian berlalu dan menutup pintunya rapat-rapat.
Tinggallah Bu Susi berdiri menatap pintu yang bisu, dalam hati bertanya-tanya tentang apa yang terjadi di sana sehingga Hana seperti itu. Wajah ayu yang menyejukkan mata memandang itu sepertinya menyimpan kemarahan yang entah kepada siapa.
"Bu, aku harus ke rumah sakit. Pasienku sudah menunggu." Adrian pula langsung berpamitan tak mau menjelaskan apa-apa.
Sejurus kemudian Adrian sudah berada di klinik dengan kesibukannya sebagai dokter. Pria itu berkutat dengan alat-alat medis, kali ini melakukan bedah kecil terhadap salah satu pasien yang memiliki benjolan di lengannya.
"Apakah dokter Bella datang kemari?" tanya Adrian kepada salah satu suster senior yang di pekerjakannya.
"Tidak dok, syukurnya tidak ada pasien yang parah, hanya butuh di rawat saja." jawab perempuan berusia tiga puluh tahunan itu.
Adrian mengangguk, ia pun kembali keruangan beristirahat sejenak setelah melakukan perjalanan jauh bersama Hana.
Teringat Hana, Adrian bahkan kesulitan membujuknya makan.
"Dia pasti berpikir kalau aku sudah melakukan semua padanya." gumam Adrian, menggeleng tapi tersenyum-senyum.
Sejenak kemudian ia mengusap kasar wajahnya, berdiri lalu duduk lagi semakin gusar. Hana demam dan juga merajuk.
"Rosa!" dia memencet gagang telepon diatas mejanya.
"Iya."
"Ke ruangan ku." titahnya.
Tak lama kemudian pintu ruangan Adrian di buka dari luar, siapa lagi kalau bukan adiknya, jika orang lain tentu akan mengetuk terlebih dahulu.
"Ada apa Dokter?" tanya Rosa dengan sopan.
"Belikan kakak mu makanan, bubur yang enak, atau apa saja yang penting dia mau makan."
Rosa melongo di buatnya, keningnya yang lebar itu mendadak bertaut melawan arah poni yang malang melintang.
"Dia demam." ucap Adrian lagi, menjelaskan kepada adiknya.
Rosa pun masih diam, ingin bertanya tapi ragu melihat wajah kusut Adrian.
"Dia juga sedang merajuk padaku." jelas Adrian lagi, memberikan beberapa lembar uang kepada Rosa.
"Oke." Rosa meraih uang tersebut lalu keluar meninggalkan Adrian yang terlihat galau. "Ada-ada aja?" gumam Rosa, meminjam sepeda motor matic milik temannya membeli makanan kesukaan Hana sesuai perintah Adrian.
Ros langsung pulang setelahnya, memberikan makanan sekalian melihat keadaan Hana.
"Kak!" teriak Rosa, berpura-pura tidak tahu saja kalau Hana sedang marah.
Cklek! pintu dibuka, tapi tak terlihat orangnya.
Ros pun masuk membawa makanan di tangannya.
"Lho! Kok kak Hana tidur? Capek?" tanya Rosa, mendekati Hana yang tampak pucat memijat kepalanya.
"Aku bawa makanan lho, Ros laper tapi gak nafsu makan. Jadinya pulang, mana tahu makan berdua sama kak Hana jadi enak." Ros pun membuka kotak makanan kesukaan Hana.
"Dah tu, Akak tak lapar."
Ros yang tadi bersemangat kini berhenti, mengamati wajah Hana yang tidak seperti biasanya.
"Kak Hana marah sama aku?" Ros sengaja memasang wajah merajuk.
"Tak, Akak hanya lelah." jawabnya.
"Tapi kak Hana pucet, lemes begini." ia menempelkan tangannya di pipi Hana, dan ternyata panas.
"Kak Hana demam!" Rosa jadi panik sendiri.
"Akak haus." ucapnya, Ros pun segera mengambilkan air putih satu gelas penuh. Dan Hana meminum setengahnya saja.
"Akak nak istirahat." ucapnya, kemudian menarik selimut dan memejamkan mata.
Jadilah Ros makan dengan malas, sia-sia ia pulang mengantarkan makanan untuk Hana. Akhirnya tetap tak berhasil membujuknya.
"Bagaimana?" tanya Adrian, ketika Rosa kembali masuk ke klinik.
"Tetep gak mau." jawab Rosa, berlalu masuk ke meja kerjanya.
Sore sudah beranjak malam, Adrian dan Rosa sengaja pulang bersamaan karena banyak juga warga yang datang membeli obat-obatan ringan pada sore hari. Ros pun sengaja lembur meskipun jam kerjanya sudah usai.
"Ke rumah aja Mas!" pinta Rosa, menarik kemeja Adrian yang akan melangkah ke halaman rumahnya sendiri. Dia memang lebih sering di sana.
Pria itu menghentikan langkahnya, kemudian teringat Hana. Ia pun mengekori Rosa masuk ke dalam rumah.
"Ros! Kakakmu muntah-muntah!" teriak Bu Susi dari kamar Hana.
"Kak Hana?" tanya Rosa kemudian masuk ke dalam kamar Hana.
Ternyata Hana baru saja keluar dari kamar mandi dengan wajah basah, ia mengernyit pusing, tangannya pun nampak meraba-raba.
"Jadi parah gini Kak? Pasti gara-gara nggak makan." gerutu Rosa, memapah Hana menuju ranjangnya.
"Mas, ada obat nggak di rumah?" teriak Rosa, Adrian pun muncul di balik pintu.
"Ada, kamu ambil di sebelah kiri meja ku." kata Adrian.
"Ibu bikin teh hangat dulu." ibu pun terburu-buru menuju dapur. Tinggallah Hana dan Adrian di dalam kamar yang terbuka.
Hening, deru nafas Hana pun nyaris tak terdengar.
Adrian mendekati Hana dan memeriksa keningnya. lalu meraih tangan kecilnya yang berusaha menepis. Tak selesai di sana, Adrian pun menyingkap selimut yang menutupi kakinya, lalu menggenggam ujung kaki yang terasa dingin.
Tentulah Hana berusaha menyingkirkan tangan Adrian.
"Bolehkah aku jujur padamu?" ucap Adrian, ia mendekati wajah Hana, bertopang pada ujung ranjang dan menunduk.
Hana melengos, tak mau bertatap muka dengan Adrian.
"Apakah aku sangat bersalah padamu sehingga kau tidak ingin melihat wajahku?" tahu Adrian.
Hening, Hana masih tak membuka suara.
Adrian meraih tangan Hana dan menggenggamnya erat. "Maaf." ucapnya lirih.
Sedetik berikutnya air mata Hana kembali tumpah, matanya yang buram terus bertatap pada satu arah, yaitu sebuah bingkai berwarna emas, tampak seorang pria bertubuh tegap, wajah tampan di dalam sana.
"Aku hanya menciummu, tapi kau sudah seperti berada di dalam neraka. Lalu bagaimana kau akan menikah dengan Fairuz, tapi hatimu masih milik adikku. Apakah duniamu akan baik-baik saja?"
Mendadak tangisnya berhenti, tapi hatinya serasa di tusuk sangat dalam dengan kata-kata Adrian.
"Aku tidak melakukan apa-apa pada mu, aku hanya mencium bibirmu ketika sadar. Jadi untuk apa kau menangis hingga menyiksa diri sendiri."
Kali ini tenggorokannya yang terasa kering, ludahnya seperti terkuras mengetahui kalau dirinya sudah salah paham.
"Tapi satu hal yang harus kau sadari Hana. Sebenarnya kau juga menginginkan ku." kata Adrian, dekat sekali dengan wajah Hana yang menyamping. seketika perempuan itu menoleh hingga kedua bola mata mereka bertemu.
"Tak." jawab Hana, nyaris tak terdengar.
Adrian tersenyum, memperhatikan setiap inci wajah cantik yang mengusik hidupnya belakangan ini, dan membuatnya gelisah sejak semalam. Dia ingat betul semalam, tangan Hana menolak tapi bibirnya diam saja.
Mengingat hal itu dia jadi ingin mengulanginya lagi. Apalagi sekarang posisinya benar-benar pas, wajah Hana seperti menantang untuk ditaklukan.
Sebelum itu terjadi, Hana mendorong Adrian agar menjauh, mendadak rasa mual kembali menggulung perutnya.
Akhirnya Adrian memutuskan membawa Hana ke klinik untuk mendapatkan perawatan intensif.
Ramai anak-anak di depan masjid itu baru saja pulang mengaji, ternyata Fairuz baru saja kembali dan melaksanakan sholat di sana. Samar ia melihat di depan klinik, ada Adrian dan juga Rosa membawa seseorang yang pasti di kenalinya.
"Hana?"
💞💞💞💞
#quoteoftheday..