Wanita kuat dengan segala deritanya tapi dibalik itu semua ada pria yang selalu menemani dan mendukung di balik nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syizha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia
Pagi berikutnya, Akselia berdiri di depan toko buku Nathaniel dengan perasaan campur aduk. Malam yang ia lalui membuatnya semakin yakin bahwa dirinya berada di pusat sesuatu yang lebih besar daripada sekadar trauma masa lalu. Ketukan pada pintu kayu itu menggema di telinganya.
Nathaniel muncul dari dalam, wajahnya sedikit terkejut melihat Akselia berdiri di sana begitu pagi. “Ada apa? Kau terlihat tegang,” tanyanya sambil melonggarkan apron yang melingkari pinggangnya.
“Ada seseorang yang masuk ke rumahku semalam,” ujar Akselia tanpa basa-basi.
Nathaniel mengerutkan kening. “Seseorang? Kau yakin itu bukan hanya imajinasimu?”
Akselia menatapnya tajam. “Aku tidak sedang berhalusinasi, Nathaniel. Dia meninggalkan pesan, memperingatkanku untuk pergi dari kota ini.”
Mendengar itu, raut wajah Nathaniel berubah. Ia menghela napas panjang, seperti seseorang yang tahu sesuatu tetapi ragu untuk mengatakannya.
“Kau perlu tahu sesuatu, Akselia,” katanya akhirnya. “Kota ini bukan tempat yang aman untuk orang seperti kita.”
“Kita?” Akselia mengulanginya, alisnya terangkat.
Nathaniel menunduk sejenak, lalu menatap Akselia dengan pandangan yang sulit diartikan. “Aku tahu tentang pabrik itu, keluargamu, dan apa yang terjadi bertahun-tahun lalu.”
Kata-katanya bagaikan petir di siang bolong. Akselia terdiam, tidak tahu apakah ia harus marah atau bersyukur bahwa Nathaniel akhirnya bicara.
“Kenapa kau tidak pernah memberitahuku?” tanya Akselia tajam, suaranya bergetar antara marah dan bingung.
Nathaniel menghela napas dalam, pandangannya turun ke lantai. “Karena aku tidak tahu apakah kau siap mendengarnya. Dan karena… aku tidak ingin menyeretmu lebih jauh ke dalam kekacauan ini.”
“Kekacauan apa?” desaknya. “Kau tahu apa yang terjadi pada keluargaku, Nathaniel. Kau tahu apa yang mereka sembunyikan. Jadi, katakan!”
Nathaniel berjalan ke meja kasir, meraih sebuah amplop usang dari dalam laci. Ia menyerahkannya kepada Akselia. “Ini adalah sebagian dari kebenaran yang kucoba lindungi darimu. Tapi mungkin sudah saatnya kau tahu segalanya.”
Akselia membuka amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya terdapat foto-foto hitam putih, beberapa dokumen tua, dan sebuah surat yang tampaknya ditulis tangan. Ia memeriksanya satu per satu, matanya terpaku pada sebuah foto yang menunjukkan pria berpakaian formal sedang berdiri di depan pabrik yang sama dengan foto yang ia lihat di perpustakaan. Tapi kali ini, pria itu tidak asing baginya.
“Itu… Itu ayahku,” gumamnya pelan.
Nathaniel mengangguk. “Dan pria di sebelahnya adalah Lucas Ravindra, pemilik pabrik itu. Dia adalah otak di balik proyek rahasia yang merenggut keluargamu.”
Nama itu menggema di kepala Akselia. Lucas Ravindra. Nama yang tidak pernah ia dengar sebelumnya, tetapi entah bagaimana terasa akrab. Ia membaca dokumen lainnya dengan cepat, sebagian besar berisi catatan teknis tentang proyek energi yang disebut Aurora. Namun, semakin ia membaca, semakin jelas bahwa proyek itu tidak hanya tentang energi.
“Aurora…” bisiknya. “Apa sebenarnya ini?”
Nathaniel duduk di kursi kayu di dekatnya. “Aurora adalah eksperimen yang mereka lakukan untuk menciptakan sumber energi alternatif. Tapi mereka menggunakan zat kimia eksperimental yang sangat tidak stabil. Ketika ayahmu mengetahui bahwa Lucas berencana menjual teknologi ini kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, ia mencoba menghentikannya. Itu sebabnya keluargamu menjadi target.”
Akselia merasakan dingin menjalar di punggungnya. “Jadi kebakaran itu adalah pembunuhan. Mereka sengaja menghilangkan bukti, termasuk keluargaku.”
Nathaniel menatapnya dengan penuh empati. “Aku tahu ini berat bagimu, tapi aku harus mengatakan yang sebenarnya. Lucas Ravindra tidak pernah benar-benar pergi. Dia mungkin tidak lagi berada di kota ini, tetapi pengaruhnya masih ada. Orang-orang yang bekerja untuknya tetap menjalankan perintahnya. Kau harus berhati-hati, Akselia.”
Akselia merasakan emosi yang bercampur aduk. Ia marah, bingung, dan merasa sangat lelah. Namun, di balik semua itu, ada tekad yang mulai menyala dalam dirinya.
“Aku tidak akan pergi,” katanya akhirnya, suaranya tegas. “Aku sudah terlalu lama lari dari masa laluku. Jika Lucas Ravindra masih memiliki kendali, aku akan menemukannya. Aku akan memaksa dia membayar atas apa yang telah dia lakukan pada keluargaku.”
Nathaniel memandangnya lama sebelum akhirnya mengangguk. “Kalau begitu, kita harus mempersiapkan segalanya. Kau bukan satu-satunya yang mencari Lucas. Dan mereka yang mencarinya tidak selalu datang dengan niat baik.”
Malam itu, Akselia memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Ia duduk di meja kerjanya, menatap liontin dan dokumen-dokumen yang diberikan Nathaniel. Ada rasa takut yang samar, tetapi juga rasa penasaran yang lebih besar.
Ia membuka liontin itu dengan hati-hati, berharap menemukan sesuatu yang mungkin ia lewatkan sebelumnya. Di dalamnya terdapat foto kecil seorang wanita—ibunya. Akselia tersenyum pahit. Foto itu adalah satu-satunya yang tersisa dari kenangan keluarganya. Namun, di balik foto itu, ia menemukan sesuatu yang tidak pernah ia sadari sebelumnya: sebuah ukiran kecil berbentuk angka 27.
“Dua puluh tujuh?” gumamnya. “Apa maksudnya?”
Pikirannya terus berputar, tetapi tidak ada jawaban yang jelas. Ia memutuskan untuk menyimpannya kembali, berharap angka itu akan masuk akal suatu saat nanti.
Namun, sebelum ia sempat beristirahat, suara ketukan di jendela membuatnya terlonjak. Ia berdiri dengan cepat, memandang ke arah jendela dapurnya. Bayangan seseorang tampak di balik tirai, dan ketukan itu terdengar lagi.
“Siapa di sana?” tanya Akselia, suaranya dingin namun tegas.
Tidak ada jawaban. Hanya suara langkah kaki yang perlahan menjauh. Akselia mengumpulkan keberaniannya, mengambil tongkat kayu yang ia simpan di sudut dapur, dan membuka pintu belakang.
Di luar, hanya ada gelap dan angin dingin yang menusuk. Namun, di tanah, ia menemukan sesuatu yang membuatnya terdiam—sebuah amplop lain, kali ini tanpa nama.
Ia membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya, terdapat selembar kertas dengan tulisan tangan yang sangat rapi:
"Rahasia Aurora terkubur di bawah tanah. Jika kau ingin menemukan kebenaran, pergilah ke gudang lama di sisi utara kota. Tapi berhati-hatilah, karena mereka tahu kau di sini."
Akselia memandang ke sekeliling, memastikan bahwa tidak ada orang yang mengawasinya, lalu masuk kembali ke dalam rumah. Amplop itu membuat pikirannya berputar lebih cepat. Siapa yang meninggalkan pesan ini? Apakah mereka teman atau musuh?
Namun, satu hal yang pasti: ia harus pergi ke gudang itu. Jika rahasia Aurora ada di sana, maka itu adalah langkah berikutnya untuk mengungkap kebenaran.
Keesokan paginya, Akselia memberi tahu Nathaniel tentang pesan yang ia terima. Ekspresi pria itu langsung berubah serius.
“Gudang lama itu bukan tempat yang aman,” kata Nathaniel. “Itu adalah bagian dari pabrik tua, tempat mereka melakukan eksperimen terakhir sebelum semuanya hancur. Aku mendengar desas-desus bahwa area itu diawasi.”
“Diawasi oleh siapa?”
Nathaniel menggeleng. “Orang-orang yang masih setia pada Lucas Ravindra, mungkin. Aku tidak tahu pasti, tapi yang jelas mereka tidak ingin siapa pun mendekat.”
“Kalau begitu, aku harus lebih berhati-hati,” jawab Akselia.
Nathaniel menghela napas. “Aku ikut denganmu. Kau tidak bisa pergi sendiri.”
Meskipun ingin menolak, Akselia tahu bahwa ia membutuhkan bantuan. Mereka merencanakan perjalanan ke gudang itu pada malam hari, saat lebih sedikit kemungkinan mereka akan terlihat.
Ketika malam tiba, mereka menyusuri jalan setapak yang hampir tertutup semak belukar. Gudang itu terletak di ujung kota, jauh dari pemukiman. Bangunannya besar, tetapi sudah lapuk dimakan waktu.
“Di sana,” bisik Nathaniel, menunjuk pintu besar yang sebagian tertutup.
Mereka masuk dengan hati-hati, hanya menggunakan senter kecil untuk menerangi jalan. Bau logam tua dan debu memenuhi udara. Di dalam, mereka menemukan jejak-jejak aktivitas manusia—laci-laci yang terbuka, bekas kaki di debu lantai, dan alat-alat yang tampaknya baru saja digunakan.
“Kita tidak sendirian,” gumam Nathaniel.
Namun, sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari ujung ruangan. Seseorang mendekat, dan Akselia merasakan jantungnya berdebar kencang.
“Kita sembunyi,” bisik Nathaniel, menariknya ke belakang salah satu rak besar.
Langkah kaki itu semakin dekat, dan Akselia menggenggam tongkat kayunya dengan erat. Ia tahu, apapun yang menunggunya di gudang ini, hanya akan semakin mendekatkannya pada kebenaran yang ia cari—dan bahaya yang mungkin akan menghancurkannya.