Aku sangka setelah kepulanganku dari tugas mengajar di Turki yang hampir 3 tahun lamanya akan berbuah manis, berhayal mendapat sambutan dari putraku yang kini sudah berusia 5 tahun. Namanya, Narendra Khalid Basalamah.
Namun apa yang terjadi, suamiku dengan teganya menciptakan surga kedua untuk wanita lain. Ya, Bagas Pangarep Basalamah orangnya. Dia pria yang sudah menikahiku 8 tahun lalu, mengucapkan janji sakral dihadapan ayahku, dan juga para saksi.
Masih seperti mimpi, yang kurasakan saat ini. Orang-orang disekitarku begitu tega menutupi semuanya dariku, disaat aku dengan bodohnya masih menganggap hubunganku baik-baik saja.
Bahkan, aku selalu meluangkan waktu sesibuk mungkin untuk bercengkrama dengan putraku. Aku tidak pernah melupakan tanggung jawabku sebagai sosok ibu ataupun istri untuk mereka. Namun yang kudapat hanyalah penghianatan.
Entah kuat atau tidak jika satu atap terbagi dua surga.
Perkenalkan namaku Aisyah Kartika, dan inilah kisahku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 25
Selepas kepergian sang adik, Bagas masih berdiam beberapa detik, hingga dia benar-benar dapat mengontrol emosinya dengan sekali tarikan nafas.
"Dava benar-benar brengsek!! Arrghh...!!" teriaknya sambil memukul kuat angin.
Setelah itu, dia segera kembali kedalam mobilnya, dan langsung menancapkan gas dengan cepat.
Dia urungkan dulu niatnya untuk bertemu dengan sang putra, mengingat keadaan wajahnya yang tidak baik-baik saja. Tujuanya saat ini adalah kembali kerumah terlebih dahulu.
'Apa bocah brengsek itu, pulang sendiri?? Atau dengan ayah?? Aku tidak akan diam, jika dia benar-benar ingin menghancurkan rumah tanggaku dengan Aisyah!!' gerutu batin Bagas, seolah cemas dengan kedatangan sang adik.
Drett...drett...
(Asisten Farhan)
Fokusnya teralihkan, saat ponsel yang dia letakan dijok samping, berdering dengan keras.
"Iya, ada apa Farhan?!" kata Bagas disebrang telfon.
"Maaf tuan, saya hanya mengingatkan, bahwa setelah makan siang ini, anda akan melakukan meting dengan perusahaan Darmanta!!" tungkas Farhan.
'Mana mungkin, aku meting dengan keadaan wajahku yang seperti ini!!' batinya, "Saya sedang ada sedikit problem, jadi lebih baik kamu tunda saja rapatnya!!"
Tut...!! Panggilan terputus sepihak oleh Bagas.
Hingga berselang waktu, kini mobil yang dia kendarai, sudah memasuki gerbang mewah rumahnya.
Bagas langsung turun, dan melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam rumah. Sesampainya dia diruang tamu, hal pertama yang dapat dia rasakan yakni keheningan.
Rumah megah dengan dua tiang besar didepan, seolah menjadi saksi bisu, betapa ceria dan hidupnya rumah tangga yang dulu pernah dia jalani. Bagas terduduk lesu diruang tamu sendirian.
Tatapanya menerobos jauh, mengingat bagaimana waktu dulu disaat dia pulang, dan langsung disambut hangat oleh Aisyah beserta putranya.
Dan memang, sesibuk apapun Aisyah, selain dia menjadi wanita karir, dirinya pun tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang istri, disaat suaminya sudah berada dirumah.
"Hai sayang!! Lihatlah, ayah siang ini makan dirumah! Yeee..." sorak Aisyah, seolah sedang menirukan suara anak kecil, sembari tanganya menimang Narendra, sewatu masih usia 1 tahun.
"Mas, sudah pulang?! Bagaimana tadi, lancar metingnya?!"
"Aku sudah menyiapkan makanan kesukaanmu!! Kamu tahu, aku belajar masak kesukaanmu, sekarang!!"
Dan masih banyak lagi, kalimat-kalimat sang istri pertama, yang berputar dalam pikiranya saat ini. Senyum manis Asiyah seolah menumpuk dipelupuk matanya.
Bagas menghela nafas panjang, sambil menyenderkan tubuhnya kebelakang. Rumah semegah ini, seolah mati termakan masa, tanpa dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa.
"Bagas, kamu sudah pulang?!" seru bu Dewi dari dalam.
Bagas yang masih memejamkan mata, samar-sama mendengar suara sang ibu, yang kian semakin mendekat.
"Astaga Bagas!! Kenapa dengan wajahmu?!" bu Dewi membolakan mata, setelah berhasil mendekat kearah putranya.
Bagas membenarkan posisi duduknya, "Dimana Melati, bu?!"
Bu Dewi mengambil posisi duduk disamping sang putra, dengan raut wajah yang sama, yakni khawatir.
"Istrimu tadi keluar, katanya ingin bertemu dengan teman-temannya!!" jawab sang ibu.
Bagas mengernyit, tatapanya sontak memaling, "Pergi kemana?! Kenapa dia tidak bilang padaku?!" geram Bagas.
"Sudahlah Bagas, biarkan saja!! Toh, nanti juga pulang! Mungkin dia kesepian kali!" bela bu Dewi.
'Melati benar-benar keterlaluan!! Dia selalu menyepelekan hal-hal kecil dariku!!' batin Bagas, yang merasa geram atas sikap istri keduanya.
"Ini...ini kenapa wajahmu, Bagas!! Kamu habis berkelahi dengan siapa?" seru bu Dewi kembali, sembari memegang wajah putranya.
Bagas menghempas tangan sang ibu, "Dava!!" balasnya dingin.
Degh...
Bu Dewi terperanjat, tatapanya terbuka sempurna, "Dava?! Dava siapa, Bagas?!" lirihnya, sembari mengoyak lengan sang putra, berharap nama Dava yang baru saja dia dengar, bukanlah nama putra keduanya.
"Putramu sudah kembali, bu!! Entah sejak kapan pulangnya, karena aku tadi dihadang saat perjalanan dari kantor!!" jelas Bagas menatap lurus kedepan.
Dada bu Dewi seketika menjadi sesak, seolah dihantam benda keras yang dia tidak tahu darimana arahnya. Kepergian putra keduanya beserta sang suami, memang tidak lain karena keegoisannya saat dulu. Dia selalu membenarkan, atas apapun yang dilakukan putra pertamanya itu.
"Kamu harus ngalah dengan masmu, Dava!! Sebagai adik jangan egois!! Biakan masmu menikah terlebih dulu!! Lagian, kamu juga belum lulus, sudah sok-sokan mau melamar anak orang!!" tungkas bu Dewi, disaat Dava tidak terima dengan keputusan sang kakak beberapa tahun lalu.
"Tapi aku sangat mencintai Aisyah, bu!! Setidaknya, jika mas Bagas bijaksana, dia bisa mencari wanita lain, bukanya orang yang aku cintai!! Itu namanya tidak adil!!" bela Dava pada dirinya sendiri.
Bagas tersenyum remeh, "Sudahlah Dava!! Lebih baik, kamu fokus saja pada pendidikanmu. Mas yang lebih tua, jadi mas yang akan menikah lebih dulu!!" sahutnya.
"KALIAN BERDUA BENAR-BENAR KETERLALUAN!!" teriak Dava menatap ibu dan kakaknya secara bergantian. Setelah itu dia melenggang pergi dari sana.
Dan disaat pertikaian itu, Dava memutuskan untuk pergi mengasingkan diri, tanpa keluarganya tahu, dimana tempatnya berada. Satu kelemahan Dava, hanya ada pada sang ayah. Setelah pencarian tuan Basalamah, akhirnya pria tua itu mengetahui dimana tempat tinggal sang putra, dan memutuskan pergi juga menyusul Dava.
Sudah hampir 9 tahun, setelah kepergiannya, Dava baru kembali setelah dia tahu penghianatan yang dilakukan sang kakak, kepada orang yang begitu dicintainya.
"Dava!!" lirih bu Dewi. Matanya sudah berembun, mengingat putra keduanya, yang hingga kini dia belum pernah bertemu sekalipun.
** **
"Bu Aisyah, bu tunggu sebentar!!" seru Dinda dari arah belakang, setelah melihat Aisyah sudah selesai dengan rapatnya.
Merasa terpanggil, Aisyah sontak membalikan badan. Keningnya mengernyit, karena anak didiknya hingga siang ini masih ada yang belum pulang.
"Dinda...?! Kamu mahasiswa baru saya kan?!" tegur Aisyah meyakinkan.
Dinda tersenyum canggung, setelah berada didepan dosen cantik itu. Tanganya bertaut, karena bingung akan memulai ucapanya dari mana.
"Ada apa, Dinda?!" tegur Aisyah kembali.
"Emt!! Oh ya bu, saya ingin bertanya. Saya kan mahasiswa baru, saya sedang cari guru privat untuk mengajari saya dirumah. Dan kebetulan, kurikulum yang bu Aisyah berikan begitu pas dengan tangkap pikir saya. Apa bu Aisyah bersedia, menjadi guru privat saya?!" tanya dinda.
'Mas Bastian ini ada-ada saja!! Mana gue lagi kenal pula dengan bu Aisyah! Kan canggung gini, jadinya!! Awas aja, kalau permintaan gue gak diturutin!!' gerutu batin Dinda, yang merutuki perbuatan sang kakak.
Aisyah terdiam sejenak, dia mencoba berpikir, keputusan apa yang akan dia berikan pada mahasiswa barusnya itu.
'Aku ambil nggak ya?! Ambil deh!! Mungkin ini salah satu rezeki dari ALLAH yang datangnya tidak disangka-sangka' Aisyah mencoba meyakinkan hatinya, bahwa apapun sudah Tuhanya siapkan, setelah keputusanya menyendiri.
"Baik Dinda, saya bersedia!! Untuk waktu dan harinya, nanti saya kirim ke email kamu saja!!" balas Aisyah tersenyum.
Mata Dinda berbinar, "Terimakasih banyak bu!!"
"Kalau begitu, saya permisi dulu!!" pamit Aisyah.
"Oh ya bu, silahkan-silahkan!!" jawab Dinda, seakan dalam hatinya tengah bersorak gembira, karena perjanjiannya dengan sang kakak. 'Yess, mobil impian gue bakal segera terwujud!! Aaaa...aku nggak sabar kasih tau sama mas Bastian!!' batin Dinda, yang kemudian bergegas pulang dengan langkah bahagianya.
Drett...drett...
Dinda yang tengah fokus dengan kemudinya, sontak merogoh ponselnya yang dia simpan didalam tas.
"Pucuk dicinta, ulan pun tiba!!" gumam Dinda, dengan tawa tengilnya. Dia segera menggeser tombol hijau, karena orang yang baru saja menghubunginya adalah sang kakak.
"Bagaimana, bocah?!" seru Bastian disebrang telfon.
Dinda tersenyum cerah, hingga memperlihatkan gigi rapinya, "Ahh, beres dong sama Dinda!! Aku canggung banget tau nggak, mas!! Tapi emang bener, bu Aisyah itu lembut banget tau nggak bicaranya, mas!! Nggak kaya mantan kamu dulu, nenek lampir!!" gerutu Dinda, yang berhasil mengubah raut wajahnya, dengan hitungan detik saja.
"Hah...!!" terdengar helaan nafas panjang dari sang kakak, "Oke bocah, mobil impian bakal segera datang!! Awas saja kalau kamu bohongi mas!" sahut Bagas disebrang telfon.
"Nggak mungkin, bu Aisyah ingkar janji mas!! Dia sudah bersedia jadi guru privat aku. Udahlah kamu tenang aja!! Tunggu saja kejutan bu Aisyah datang kerumah!!"
"Ya sudah, byee!!" balas Bastian, dan langsung memutus panggilannya.
Pria dewasa itu masih terduduk diruanganya, dengan senyum yang merekah tiada henti.
'Aisyah...semoga saja, kamu segera bercerai dengan suamimu!! Nggak papa harus menunggu lama kaya gini, jika dapatnya kamu!' gumam batin Bastian.
"Tuannn....!!" teriak Dimas, yang sejak tadi sudah berdiri didepan pintu, tanpa Bastian tau kedatanganya.
Senyumnya seketika luntur, setelah dia mendongak. Bastian langsung melayangkan tatapan membunuh kearah sang asisten, yang kini berjalan semakin dekat.
"Kamu sudah berani dengan saya, Dimas!!" suara Bastian menggelegar, memenuhi setiap sudut ruangan kerjanya.
"Maaf tuan, lagian anda sejak tadi saya panggil, malah senyam senyum sendiri!! Ini, saya hanya mau meminta tanda tangan anda saja!!" Dimas menyodorkan beberapa tumpuk laporan, agar segera tuanya tanda tangani.
"Kok bisa sebanyak ini?!" tegur Bastian, saat netranya menatap tumpukan berkas laporan, yang sudah diatas meja kerjanya.
Dimas meraup nafas dalam, mencoba tenang dan sabar, atas tindakan sang bos. Karena semenjak pertemuan tuannya dengan wanita cantik yang dia sendiri tidak tahu namanya, seakan jiwa tuanya mulai sedikit terganggu.
"Sudah tuan, lebih baik anda tanda tangani saja!! Nanti saya ambil lagi, setelah pekerjaan saya selesai," pekik Dimas, dengan senyum dibuat semanis mungkin.
"Sudah, sana pergi!! Saya menjadi mual melihat senyummu!! Hiii...!" sahut Bastian bergidik ngeri.
** **
Aisyah yang baru saja tiba dirumahnya, langsung saja disambut dengan kedatangan sang putra, yang kini tengah bersorak gembira, berlari dari dalam rumah.
"Bunda...yee...bunda sudah pulang?!" seru Narendra menghambur kedalam pelukan sang bunda.
Aisyah dengan sigap menangkap tubuh sang putra, dengan langsung menciumi gemas pipi gembul Narendra.
"Tadi bagaimana sekolahnya, sayang? Terus, pulangnya tadi sama siapa?"
Narendra berpikir cukup keras, "Oh ya bunda, tadi pas istirahat di sekolah, Narendra diberi mainan oleh om ganteng!!" balas Rendra dengan wajah antusiasnya.
Aisyah memicing, "Om ganteng?! Siapa sayang? Apa Narendra pernah bertemu sebelumnya?" tanya sang bunda penasaran.
Narendra menggelengkan kepala dengan cepat. Lalu dia berlari kearah dalam untuk mengambil sesuatu.
"Iya sayang, tadi Narendra juga bilang sama bunda!! Entah siapa pria itu. Bunda tanya, apa dia ayahnya, dia bilang tidak!!" sahut bu Sinta yang baru keluar dari dalam.
Aisyah bangkit, kemudian duduk diatas sofa ruang tengah, dengan masih mencari tahu siapa sosok pria itu.
"Apa dia rekan kerjamu, sayang?" ucap kembali bu Sinta mencoba mengingatkan sang putri.
"Nggak ada bunda!! Nanti, coba Ara tanyakan pada Inem saja," jawab Aisyah. 'Apa dia, pria yang waktu lalu di apartemen?! Tapi Narendra bilang nggak. Terus siapa ya?' batin Aisyah, yang masih terdiam dalam duduknya.
"Ya sudah, lebih baik kamu istirahat dulu sayang!! Narendra sudah makan, jadi nanti kamu langsung makan siang saja!" bu Sinta mengusap lengan putrinya, merasa bersyukur putrinya bisa berkumpul kembali denganya, walaupun jalanya menyakitkan.
Aisyah lalu bangkit kembali dari duduknya, masuk kedalam untuk membersihkan tubuhnya.
Tepat pukul 3 sore.
Aisyah lebih memilih duduk ditaman belakang, sambil menjaga putranya yang sedang asik bermain sepeda.
'Bambi kecil?! Apa dia, Dava?? Sudah beberapa tahun, dia menghilang bak ditelan bumi!' lirih batinya, sambil memandang pesan dari nomor asing waktu lalu.
Aisyah masih terdiam, ingatanya kembali kemasa, dimana dia dan sang sahabat yang selalu bersama, hingga takdir pahit harus memisahkan mereka berdua.
Sapuan angin taman belakang, membuat jiwanya seketika menghangat. Gemercik air mancur disisi sekumpulan bunga, bagaikan musik relaksasi yang membantu psikisnya perlahan membaik.
Sudah hampir 2 minggu, dia keluar dari neraka yang diciptakan suaminya, Bagas. Entah mengapa, rasa sesal kian menyeruat dalam jiwanya, setelah dulu dia menerima lamaran dari kakak sahabatnya itu.
Gugurnya dedaunan kering, yang berjatuhan didepanya, seolah meyakinkan pada hatinya, bahwa cinta yang dulu menggebu, kini perlahan sirna, bak daun yang dia tatap saat ini.
Rerumputan hijau pun menerima takdirnya, bahwa dia siap kapan saja menemani daun kering tersebut, hingga usang dimakan waktu. Aisyah meraup nafas dalam, senyumnya terukir indah, setelah memahami filosofi tentang daun yang jatuh menimpa rumput.
Drett...drett....
Senyum yang merekah, sontak langsung sirna, setelah melihat nama yang tertera jelas di nomor ponselnya.
'Kenapa aku sampai lupa, mengganti nama ponselnya?!' gerutu batin Aisyah, setelah fokusnya teralihkan.