Setelah aku selamat dari kecelakaan itu, aku berhasil untuk bertahan hidup. Tetapi masalah yang kuhadapi ternyata lebih besar daripada dugaanku. Aku tersesat dihutan yang lebat dan luas ini. Aku mungkin masih bisa bertahan jika yang kuhadapi hanyalah binatang liar. Tapi yang jadi masalah bukanlah itu. Sebuah desa dengan penduduk yang menurutku asing dan aneh karena mereka mengalami sebuah penyakit yang membuat indera penglihatan mereka menjadi tidak berfungsi. Sehingga mereka harus mencari "Cahaya" mereka sendiri untuk mengatasi kegelapan yang amat sangat menyelimuti raga mereka. Mereka terpaksa harus mencari dan mencari sampai bisa menemukan mata mereka yang hilang. Dan akhirnya mereka bertemu dengan kami. Beberapa penumpang yang selamat setelah kecelakaan itu, harus bertahan hidup dari kejaran atau mungkin bisa kusebut penderitaan mereka atas kegelapan yang menyelimuti mereka. Berjuang untuk mendapatkan "Cahaya Mata" mereka kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tersesat
Aku tak punya pilihan lagi selain dengan menyibak tebu-tebu itu dan menerobos masuk kedalamnya. Yang kupikirkan saat ini hanyalah untuk bisa keluar dari ladang tebu yang menyesatkan ini. Walaupun harus berusaha ekstra dan kulitku yang mulai dikerubuti oleh serangga, aku berusaha untuk mengabaikannya.
Setelah beberapa lama aku menyibak dan berjuang keras melewati ladang tebu yang lebat ini, aku menemukan sebuah jalan setapak lagi. Kupikir setelah aku mencapai ujung petak ini, aku bisa langsung menuju ke pinggiran ladang, ternyata belum. Aku mulai putus asa dan terduduk lemas disana. Aku melihat yang lainnya juga sudah mulai kelelahan dibelakangku.
"Sial! Bukannya seharusnya disini itu udah sampai ke pinggiran ladang ya? Kenapa malah ketemu sama jalan setapak lagi," gumamku sembari memukul-mukul tanah.
"Udah. Gak usah disesalin. Kita istirahat dulu yuk. Kalo udah hilang capeknya, baru kita lanjut lagi," ucap Vivi menenangkanku. Aku hanya memandangnya dan hanya menurutinya.
Matahari pun mulai terbenam, menelan cahaya dan membawa kegelapan. Mengantarkan malam beserta teror didalamnya. Dengan kemungkinan besar aku pasti dihantui oleh para zombie itu, dan mungkin anjing-anjing itu juga pasti kembali mengejar kami.
Aku memutuskan untuk beristirahat dan menunggu besok pagi untuk melanjutkan perjalanan. Asalkan kami bisa berhasil ke pinggiran ladang dan pergi kearah utara, aku bisa selamat nantinya. Walaupun harus berjuang lebih keras karena tanpa bantuan yang lainnya.
Tetapi dengan petak tebu yang amat lebat ini, kemungkinan juga bisa menguntungkanku. Aku bisa bersembunyi kalo aku menjumpai mereka, dan mungkin bisa untuk melakukan serangan kejutan. Kesedihan dan pengalaman buruk yang terus menerus menimpa kami membuat jiwaku bangkit. Aku merasa aku harus bisa untuk menghadapi mereka. Aku terus memantapkan hatiku.
Setelah beberapa menit kami beristirahat, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Kali ini aku memilih untuk mengikuti jalan setapak yang mengarah keutara. Kami pun saling bergandengan tangan agar tidak terpisah lagi dengan rombongan.
Suasana yang sunyi dan hawa dingin yang menyelimuti kami, membuat kami sedikit ragu disetiap langkah kami. Untuk pertama kali suara nyanyian binatang malam tidak terlalu bising seperti sebelumnya. Suara gesekan daun yang mendesis karena tertiup angin menambah situasi menjadi lebih mencekam. Kami tak punya senter untuk menyingkap kegelapan malam, dan hanya mengandalkan feelingku saja untuk setiap langkah kakiku.
Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki dibelakangku. Aku pun langsung menengok karenanya. Aku samar-samar melihat sesosok bayangan hitam dibawah sinar rembulan yang setinggi orang dewasa dikejauhan sana. Sosok itu berjalan agak bungkuk dan membawa seperti sabit ditangan kanannya. Kami pun langsung memutuskan untuk bersembunyi terlebih dahulu diantara petak tebu yang rapat dan mengamati siapakah sosok itu.
Beberapa menit kami menunggu, sampailah sosok itu yang hanya berjarak beberapa meter dari pandanganku saat ini. Sosok itu berpakaian compang-camping. Dengan kepala botak, mulut menganga, dan kelopak mata yang dipenuhi beberapa daun tebu yang disumpal, semakin menambah kengerian makhluk itu. Dengan sabit yang tergenggam ditangan kanannya, aku berusaha untuk mengatur nafasku agar dia tidak menemukan kami.
Tetapi pikiranku berkata lain, sabit itu senjata yang bagus. Pikiran gila itu pun muncul di kepalaku. Aku menginginkan sabit itu. Aku mengatur nyaliku untuk berduel dengan dia. Sudah cukup untuk mereka membunuh kedua orang temanku. Aku pun menunggu dia berjalan melewatiku terlebih dahulu.
Setelah dia menjauh beberapa meter, aku memutuskan untuk keluar dari petak tebu, tetapi Vivi langsung mencengkeram tanganku dan menggelengkan kepalanya. Aku sempat ragu, tapi aku tetap dalam pendirianku. Aku berkata kepadanya untuk meyakinkannya. Walau dengan berat hati, dia perlahan mulai melepaskan genggamannya.
"Kamu harus janji! Jangan sampai terluka!" ucapnya dengan tatapan memohon. Aku hanya mengangguk.
Aku mulai mengendap-endap dibelakangnya. Dengan perlahan dan dalam jarak tertentu aku harus bisa mengeksekusinya dengan cepat. Setelah aku tepat berada dibelakangnya, aku segera mengangkat tongkat kastiku dan akan segera memukulnya dengan keras. Tetapi sebelum sempat aku memukulnya, dia tiba-tiba menoleh. Aku yang terkejut pun menjadi kehilangan keseimbangan. Aku pun jatuh terduduk karenanya.
Kemudian dia seperti berbicara dalam bahasa yang tidak aku mengerti. Sepertinya dia tidak menyadari aku dibawahnya. Dia hanya berdiam diri dan menoleh ke kanan dan ke kiri. Untuk beberapa saat, dia seperti sedang mencariku.
Menurut informasi dari Pak Juari dulu, mereka memang terbagi menjadi dua. Satu tipe melihat, dan satu lagi tipe mendengar. Dengan ciri-ciri kelopak mata yang tersumpal oleh daun tebu, aku menyimpulkan dia tipe mendengar. Dalam posisiku yang tidak memungkinkan ini, aku mencoba melempar kerikil kearah lain, dengan maksud untuk mengalihkan perhatiannya.
Percobaan pertama gagal, suaranya kurang keras untuk membuatnya berpaling. Aku mencoba lagi meraih kerikil yang lain. Tapi sayang, suara tanah yang bergesekan dengan bokongku membuatnya tersadar bahwa aku berada dibawahnya. Dia langsung mengangkat sabitnya keatas dan siap menghujamkannya kearahku. Mataku terbelalak dan kali ini aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Tiba-tiba terdengar suara petasan dari arah lain, makhluk itu pun langsung menoleh dan mengejar kearah sumber suara tersebut. Ternyata itu petasan yang dinyalakan oleh Novan. Disaat makhluk itu sedang membabi buta semak yang ada dihadapannya, terlihat Vivi berdiri didepannya, sembari mengarahkan sebuah ketapel kepadanya.
Vivi melepaskan tarikan ketapelnya dan makhluk itu pun langsung terhempas kebelakang. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku langsung menerjangnya dan langsung memukul kepalanya dengan keras. Akhirnya makhluk itu pun terkapar ditanah. Aku tersenyum bangga atas kerjasama mereka. Aku tidak menyangka mereka bisa bekerja sama dengan baik. Aku pun mengambil sabit yang dipegangnya dan berjalan kearah teman-temanku.
"Kalian luar biasa banget. Aku gak nyangka kalian bisa seberani itu. Aku gak tau lagi gimana nasibku kedepannya kalau gak ditolong sama kalian," ucapku menyesal.
"Aku juga gak tau kenapa aku bisa seberani ini. Tubuhku kek bergerak sendiri," jawab Vivi. Aku hanya keheranan mendengarnya.
"Mungkin keberanian Kak Andra sudah tersalurkan kepada kami," sahut Novan sambil tertawa.
"Mungkin benar. Jadi kita punya anggota yang hebat-hebat dong. Kek si Vivi nanti kita kasih julukan Kak Evelyn versi lite, terus Novan Mas Haris versi lite, terus aku Pak Bonadi versi lite juga," sambungku sembari ikut tertawa bersamanya.
"Lah terus aku?" sahut Aini yang terlihat kesal.
"Oiya. Yaudah kamu Kak Ayu versi lite aja. Kamu kan bisa membuat nyaman ke orang lain. Persis seperti Kak Ayu," jawabku. Aini hanya tersenyum mendengarkan ucapanku. Dan kami pun tertawa bersama-sama.
Setelah itu kami pun memutuskan untuk mencari tempat persembunyian dan tempat untuk beristirahat. Aku merasakan teman-temanku sudah sangat letih sekali. Aku menyibak semak-semak dan sebisa mungkin aku tata hingga nyaman untuk berbaring disana. Yah walaupun diselingi rasa gatal yang tak bisa dihindari.