Ashana Keyra Zerrin dan Kafka Acacio Narendra adalah teman masa kecil, namun Ashana tiba-tiba tidak menepati janjinya untuk datang ke ulang tahun Kafka. Sejak saat itu Kafka memutuskan untuk melupakan Asha.
Kemana sebenarnya Asha? Bagaimana jika mereka bertemu kembali?
Asha, bukankah sudah kukatakan jangan kesini lagi. Kamu selalu bertindak sesuka hati tanpa memikirkan orang lain. Aku butuh privasi, tidak selamanya apa yang kamu mau harus dituruti.” Ucapakan Kafka membuat Asha bingung, pasalnya tujuannya kali ini ke Stanford benar-benar bukan sengaja menemui Kafka.
“Tapi kak, Asha ke sini bukan sengaja mau menemui kak Kafka. Asha ada urusan penting mau ke …” belum selesai Asha bicara namun Kafka sudah lebih dulu memotong.
“Asha, aku butuh waktu untuk menerima semua ini. Walaupun untuk saat ini sebenarnya tidak ada kamu dalam rencanaku, semua terjadi begitu cepat tanpa aku bisa berkata tidak.” Asha semakin tidak mengerti dengan yang diucapkan Kafka.
“Maksud kak Kafka apa? Sha tidak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33. Penyesalan kafka
Kafka melaju dengan kecepatan diatas 90 km/jam menerobos jalanan sore itu, ingin segera sampai di rumah. Apapun yang ingin di bicarakan orang tuanya tentang Key sudah pasti adalah hal serius, tak berapa lama dia sudah sampai di halaman rumahnya dan sedang memarkirkan mobil. Kafka masuk dan di sambut ke dua orang tuanya yang sudah ada di ruang tengah terlihat sedang menunggunya.
“Istirahat dulu Nak! Kita bicara setelah kamu istirahat,” Tiara tidak tega jika harus langsung membahas Key dengan putra sulungnya. Terlebih dia tahu Kafka pasti lelah setelah melakukan operasi.
“Tidak apa-apa ma,” Kafka tidak ingin menunda lagi jika apa yang akan di bicarakan orang tuanya tentang Key. Lagi pula dia tadi sudah mandi setelah melakukan operasi, memang sudah menjadi hal yang wajib untuknya sebagai seorang dokter.
Suasana ruang tengah mereka menjadi lebih serius, Naren sengaja tidak turun ke lantai bawah karena tahu ke dua orang tuanya akan bicara serius dengan kakaknya. Sesungguhnya Naren penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi antara kakaknya dengan Key, karena semenjak itu dia juga kehilangan kontak dengan Cia. Baru satu bulan yang lalu dia bertemu kembali dengan Cia secara kebetulan, itupun Cia berusaha terus menghindar dari Naren.
“Kaf tadi siang mama bertemu dengan bunda Maira. Dia bercerita tentang Key dan kenapa mereka menghilang tanpa kabar, menurut Maira itu semua berkaitan dengan kalian sembilan tahun lalu” ucapan Tiara terjeda mengingat rasa bersalah pada keluarga Key. Keenan melanjutkan perkataan istrinya karena dia tahu Tiara tak akan sanggup mengatakannya pada Kafka.
“Semua hal sudah terjadi nak, kita tidak bisa mengulang semuanya. Tapi papa dan mama perlu tahu cerita yang sesungguhnya agar kami bisa membantumu, itupun jika kamu menginginkan Key” Kafka tertunduk lesu mendengar ucapan papanya.
“Kafka memang sudah menyakiti Key pa. Tapi sungguh tidak bermaksud seperti itu, saat itu Kafka sedang emosi. Kafka tahu itu tidak bisa di jadikan alasan atas perbuatanku pada Key sembilan tahun lalu,” Kafka dengan jujur menceritakan yang terjadi sembilan tahun lalu antara dirinya dengan Key.
Tiara amat terpukul mendengar cerita Kafka, saat itu dia hanya tahu mereka berdua hanya bertengkar. Kafka memarahi Key yang datang tanpa mengabarinya, Tiara tidak menyangka jika yang terjadi jauh lebih dari yang dia bayangkan. Tiara sudah terisak di sana, Keenan mengusap lembut puncak kepala istrinya sambil memeluknya.
“Sekarang apa yang akan kamu lakukan Kaf?” Keenan menghela napas, dia menyikapi dengan lebih tenang dan lebih memikirkan cara untuk menyelesaikan masalah. Meskipun Keenan juga sangat marah pada putranya, tentu cara berpikirnya dengan Tiara berbeda.
“Apapun akan Kafka lakukan untuk menebus semuanya pa,” Keenan melonggarkan pelukannya dari Tiara. Meminta istrinya untuk menceritakan apa yang dia tahu, Keenan yakin Kafka belum tahu tentang kecelakaan yang terjadi pada Key sembilan tahu lalu.
“Mungkin tidak semudah yang kamu bayangkan, sayang.” Tiara menyeka air mata yang sedari tadi mengalir dari pelupuk matanya. Perlahan dia mulai bercerita tentang Key dan sembilan tahun lalu.
“Setelah bertemu denganmu sembilan tahun lalu Key tidak pulang ke Jakarta, tapi dia kembali ke Harvard tempat dia selama ini menempuh pendidikan dokternya. Key mengalami kecelakaan saat perjalanan dari bandara Boston menuju kampusnya dan koma selama dua minggu,” Kafka menatap sendu mamanya yang menjeda ucapannya sebelum akhirnya kembali melanjutkan.
“Tante Maira tidak memberi tahu kita karena sebelum tak sadarkan diri Key berpesan pada sahabatnya, tak satupun dari kita boleh tahu keadaannya. Tante Maira ingin memberitahu setelah Key sadar dari koma, tapi dia mengurungkan niatnya saat melihat Key histeris begitu sadar dari koma. Dokter saat itu bilang dia mengalami trauma pasca kecelakaan, sejak saat itu dia tidak mau lagi di panggil dengan nama Asha,” pikiran Kafka kacau mendengar semua kenyataan yang dia tahu tentang Key.
Tiara juga menceritakan tentang Key yang mengalami kecelakaan saat perjalanan menuju ulang tahun Kafka, Key yang koma selama dua bulan dan mengalami cidera trauma pada kakinya. Menyebabkan satu kakinya mati rasa untuk sementara waktu, dia tidak mau Kafka tahu kondisinya karena takut Kafka tidak mau lagi bermain dengannya. Sampai akhirnya dia sembuh dan kembali lagi ke Indonesia, namun saat itu Kafka selalu menolak atensi apapun yang Key lakukan untuknya.
Hancur itu yang Kafka rasakan saat ini, dia meluruh pilu tergugu di hadapan ke dua orang tuanya. Luka luar biasa telah dia torehkan pada Key, pantas jika saat pertama kali Key bertemu dengannya hanya sorot mata kebencian yang dia temukan dari perempuan bermata indah itu.
“Aku sekarang mengerti kenapa Rion selalu ingin memukulku setiap kali melihatku berada di dekat kakaknya. Aku memang br**gs*k ma,” Kafka mengusak wajahnya, sakit perih itu yang dia rasakan saat ini. Sakit karena tahu dialah penyebab dari setiap luka yang Key alami, Tiara mendekat ikut meluruh sambil memeluk putra sulungnya.
“Meratapinya tidak akan menyelesaikan masalahmu. Perjuangkan sampai Key memaafkanmu, penuhi janjimu pada ayah Malvin. Kamu berjanji akan menjaga Key bukan?” Keenan mengingatkan kembali apa yang Kafka ucapkan saat sebelum akad saat itu.
“Mama tahu tidak hanya Key yang terluka, tapi kamu juga. Tante Maira tidak memaksamu harus memenuhi janjimu pada suaminya, kamu bisa melepaskan Key dan mengembalikannya pada keluarganya jika memang Kafka tidak mencintai Key” Tiara sebenarnya tidak ingin mengatakan itu, tapi ini salah satu caranya untuk tahu apakah Kafka akan memperjuangkan Key atau tidak. Bagaimanapun dia sudah berjanji pada Maira untuk memastikan sendiri pada putra sulungnya.
“Aku tidak ingin kehilangan dia lagi. Seberat apapun aku tidak akan menyerah,” untuk pertama kalinya Tiara dan Keenan melihat putra sulungnya terisak di pelukan Tiara. Bagi mereka berdua itu sudah menunjukkan bahwa Kafka serius dengan ucapannya.
“Papa dan mama akan selalu mendukungmu nak. Kita usahakan bersama untuk mendapatkan maaf mereka,” Keenan menepuk pundak Kafka.
“Kita akan berjuang bersama nak. Mama mungkin bisa membantumu dengan bicara pada bunda Maira, tapi tentang Key mama tidak bisa membantumu. Kamu sendiri yang harus memperjuangkannya,” Tiara tahu Kafka juga tidak baik-baik saja. Selama sembilan tahun dia mencari keberadaan Key yang menghilang tanpa jejak, Allah mempertemukan mereka kembali di saat putranya sudah mulai putus asa.
Kafka sudah berada di kamarnya setelah pembicaraan panjang dengan ke dua orang tuanya sore ini, dia merebahkan tumbuhnya di kasur. Saat ini pikirannya di penuhi tentang Key, bagaimana tatapan mata Key saat pertama kali mereka kembali bertemu. Sikap dan gerak gerik tubuhnya yang selalu menghindar darinya, Key akan mendekat jika itu berkaitan dengan professional mereka sebagai dokter.
Kepalanya terasa sangat pening, dia akhirnya bangun dan menuju kamar mandi. Kafka butuh mendinginkan kepalanya, dia membiarkan tubuhnya berada di bawah shower kamar mandi. Sengaja menyalakan air dingin untuk mengguyur seluruh tubuhnya dari ujung kepala hingga kakinya.
“Maafkan aku Key, apapun akan kulakukan. Aku tidak akan menyerah sampai kamu memaafkanku,” dadanya terasa sesak dengan semua penyesalan yang mendera dalam benaknya.
Kafka mencoba memejamkan matanya, tetap saja bayangan Key terlintas dalam benaknya. Bukan bayangan senyum indahnya, tapi bagaimana Key menjalani hari-harinya setelah kecelakaan itu terjadi. Tidak mungkin bagi Kafka bertanya pada Rion atau keluarga Key yang lain, terlebih saat ini Rion melihatnya seperti musuh yang harus di habisi. Tiba-tiba Kafka teringat pada Argan dan Amoora, pada awal Key datang dokter Andrew mengatakan bahwa mereka adalah teman satu kampus.
“Aku harus mencari kesempatan untuk bertanya pada dokter Argan atau dokter Amoora,” gumamnya lirih sebelum Kafka berusaha tetap memejamkan mata.
Pagi sekali Kafka sudah bangun, dia sudah siap dengan atribut dan tas yang biasa dia pakai ke rumah sakit. “Kak, ini masih pagi. Mau kemana?” ujar Tiara yang melihat putranya sedang mengambil sepatu
“Kafka mau mampir ke makan ayah dulu ma,” dari semalam Kafka memang berniat untuk ke makam ayah mertuanya dulu sebelum berangkat ke rumah sakit hari ini.
“Biar mama siapkan bekal untukmu,” ujar Keenan yang sedang membaca koran paginya.
“Tidak usah pa. Kafka bisa sarapan di rumah sakit nanti,” Kafka pamit pada ke dua orang tuanya.
Jalanan kota Jakarta pagi itu masih belum terlalu ramai, dia berangkat sebelum matahari muncul. Dia tetap harus sampai di rumah sakit sebelum Key sampai. Kafka melajukan mobilnya menuju makam Malvin dengan kecepatan tinggi namun tetap dalam kondisi aman.
“Ayah, maaf Kafka belum bisa menepati janji. Kafka minta maaf sudah menyakiti putri tercinta ayah, Kafka minta satu kesempatan lagi yah. Kafka akan mengusahakan apapun untuk mendapatkan maaf dari Key,” Kafka menangis diatas pusara ayah mertuanya. Tanpa dia sadari tak jauh dari sana ada yang memperhatikannya, dia ikut meneteskan air mata.
“Ayah, haruskah Key beri kesempatan padanya?” Key yang berdiri tak jauh dari tempat Kafka berada meneteskan air mata mendengar ucapan Kafka pada pusara ayahnya. Dua hari ini memang dia selalu datang ke makam ayahnya, biasanya dia datang setelah pulang dari rumah sakit. Tapi hari ini dia datang pagi hari karena sore nanti dia harus melakukan persiapan untuk operasi Atlantik besok.
Key tidak jadi ke makam karena ada Kafka di sana, dia memutuskan untuk bergegas pergi sebelum Kafka menyadari keberadaannya. Terlebih ada Rion yang menunggu Key di mobil, masih terlalu pagi untuk melihat mereka bertengkar. Key tidak mau modnya rusak seperti kemarin, namun dari kejauhan Kafka melihat Key. Kafka mengurungkan niatnya untuk mengejar Key, dia ingat pasti ada Rion di sana. Bagaimanapun dia tidak mau bertengkar dengan Rion, Kafka hanya ingin fokus pada Key dulu. Satu-satunya cara agar tidak berurusan dengan Rion adalah saat mereka ada di rumah sakit.
“Key … kali ini aku yang akan mengejarmu secara ugal-ugalan” Kafka bermonolog pada dirinya sendiri sambil berjalan meninggalkan pusara Malvin dan berangkat menuju rumah sakit.
“Sebentar doang? Tumben,” tanya Rion pada Key.
“Hmm … kakak buru-buru. Hari ini jadwal padat,” Key sudah masuk ke mobil memasang sabuk pengamannya.
“Ok … lu gak digangguin sm si br**gs*k itu kan kak?” Key menatap sebal pada adiknya.
“Kak Kafka … namanya Kafka Rion!” Rion mencebik.
“Terserah gue mau panggil dia apa. Awas kalau dia gangguin kakak,” Rion menatap serius kakaknya.
“Iya .. iya, sudah cepat jalan. Masih pagi jangan bikin mod kakak rusah deh,” Key meminta Rion untuk cepat pergi dari sana karena tidak ingin adiknya tersebut bertemu dengan Kafka. Sementara Kafka sengaja berjalan lambat agar tak terlihat oleh Rion, mobilnya terparkir di sisi jalan yang berbeda dengan Rion jadilah dia tidak menyadari keberadaan Kafka.