5 hari sebelum aku koma, ada sesuatu yang janggal telah terjadi, aneh nya aku tidak ingat apa pun.
__________________
"Celine, kau baik-baik saja?"
"Dia hilang ingatan!"
"Kasian, dia sangat depresi."
"Dia sering berhalusinasi."
__________________
Aku mendengar mereka berbicara tentang ku, sebenarnya apa yang terjadi? Dan aneh nya setelah aku bangun dari koma ku, banyak kejadian aneh yang membuat ku bergidik ketakutan.
Makhluk tak kasat mata itu muncul di sekitar ku, apa yang ia inginkan dari ku?
Mengapa makhluk itu melindungi ku?
Apakah ini ada hubungan nya dengan pria bermantel coklat yang ada di foto ku?
Aku harus menguak misteri ini!
___________________
Genre : Horror/Misteri, Romance
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maylani NR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Balasan
Cafeteria tempat Celine bekerja.
Terlihat Celine dan Angela sedang berbicara, tatapan mereka nampak tidak bersahabat. Celine ingat betul sebelum nya, Angela sudah menyandung kaki nya di rumah sakit, pasti hari ini ia akan berbuat sesuatu lagi untuk nya.
"Oh, ini sebuah keberuntungan aku bisa tahu tempat kerjamu," ucap Angela dengan nada bahagia, seolah-olah menemukan harta karun yang tersembunyi.
Celine menatapnya dengan skeptis. "Apa kau melacak keberadaan ku?" tanyanya, suaranya datar dan tak menunjukkan ketertarikan.
"Ya, aku tidak sengaja melihat postingan media sosialmu, dan di sana ada seseorang yang memberitahuku kalau kamu bekerja di cafe ini," jelas Angela, senyumnya seolah menyimpan rahasia yang lebih dalam.
Celine mengangkat bahu, terlihat acuh tak acuh. "Begitu ya. Kalau begitu, selamat menikmati. Aku harus kembali bekerja." Ia berbalik, berniat menghindari percakapan yang semakin tidak nyaman itu. Namun, langkahnya terhenti saat Angela memanggilnya.
"Tunggu dulu, Celine! Aku belum mencicipi cappuccino buatanmu." Angela mengeluarkan nada manja, seolah-olah semua ini hanyalah sebuah permainan.
Celine menoleh, matanya menyiratkan ketidaknyamanan.
"Aku cicipi dulu ya," kata Angela, sambil menyicipi sedikit cappuccino yang disajikan di depannya. Namun, saat cangkir itu mendekat ke bibirnya, mata Angela melirik ke arah Celine dengan tatapan licik, membuat Celine merasakan gelombang ketidakpastian.
"Sudah?" tanya Celine, mencoba menahan perasaan tidak enak yang merayap di hatinya.
Angela mengerutkan bibirnya, seolah-olah menemukan sesuatu yang tidak memuaskan. "Cih, cappuccino ini tidak enak." Dalam sekejap, ia meludahkan sedikit minuman itu ke sisi kiri, lalu tanpa ragu menyiramkan sisa cappuccino panas tersebut ke wajah Celine.
Crahh!
Celine terkejut, reflek menjerit. "Panaaaas!" Suaranya melengking, dan seketika perhatian pengunjung lain tertuju padanya. Rasa panas itu menyengat, meninggalkan jejak merah di pipinya yang halus. Celine merasa dunia seolah melambat, semua mata menatapnya dengan penasaran.
Angela berdiri di sana, tertawa geli melihat reaksi Celine. "Oh, maaf. Sepertinya kau tidak bisa menyajikan cappuccino yang lebih baik," sindirnya dengan sinis.
Di sisi lain, Reina yang tengah sibuk mengatur mesin kopi mendongak saat mendengar suara teriakan Celine dari ujung ruangan. "Celine?" panggilnya, suaranya mengandung nada khawatir. Celine terlihat memegangi wajahnya, tampak kesakitan. Tanpa pikir panjang, Reina segera meninggalkan pekerjaannya dan berjalan cepat ke ruangan Devid untuk melapor.
Sementara itu, Celine yang merasa wajahnya terbakar akibat cappuccino panas yang dilemparkan Angela, memutuskan untuk berlari ke kamar mandi, dan mengabaikan Angela.
Taptaptaptaptap!
Angela yang memperhatikan kepergian Celine hanya berdiri santai, wajahnya menunjukkan kepuasan. Namun, sesaat setelah itu seorang rekan kerja Celine yang berada di dekatnya menegur, "Apa yang Anda lakukan, nona?" suaranya terdengar gemetar.
Angela, dengan nada angkuh, menjawab, "Cappuccino itu tidak enak. Jadi, aku refleks menumpahkannya ke wajahnya."
Tidak butuh waktu lama bagi Angela untuk berjalan keluar dari cafe. Namun, langkahnya terhenti ketika Devid muncul di hadapannya, wajahnya merah padam menahan marah. "Angela, kurang ajar kau!" seru Devid.
Angela mengangkat alis dengan santai. "Oh, Devid rupanya. Apa masalahmu sekarang?"
"Kedatangan mu ke sini hanya untuk menyiramkan cappuccino panas ke Celine?" tanyanya, suaranya menggema di dalam ruangan.
Angela tertawa kecil, tetapi sinis. "Iya, aku membalas tamparan mu. Jadi, Celine pantas mendapatkannya."
Devid tak dapat lagi menahan emosinya. Dengan gerakan cepat, dia menampar Angela. Suara tamparan itu menggema, membuat semua orang yang ada di cafe membeku.
Angela memegang pipinya yang memerah, matanya membelalak. "Kamu menamparku lagi, Devid?" tanyanya dengan nada tak percaya.
Devid mendekat, menatap tajam ke arah Angela. "Aku peringatkan sekali lagi, Angela. Kalau kau melakukan hal yang keterlaluan lagi pada Celine, aku tidak akan segan-segan menjebloskan mu ke penjara!"
Angela tersenyum tipis, penuh kebencian. "Silakan laporkan saja! Aku tidak takut, tamparan mu ini akan ku balas. Celine akan mendapatkan akibat dari tindakanmu."
Devid menunjuk ke arah pintu, nadanya penuh perintah. "Tutup mulutmu! Angkat kakimu dari sini! Aku tidak sudi melihat wajahmu lagi di cafe ini!"
Angela memutar bola matanya dengan santai, tetapi pandangan matanya penuh ancaman. "Baik, aku akan pergi. Sampai nanti, Devid," ucapnya sebelum berbalik dan melangkah keluar.
Reina masuk tepat setelah Angela pergi. "Boss, Celine terluka. Kita harus melakukan sesuatu."
Devid mengepalkan tangannya, menatap ke arah pintu tempat Angela menghilang. Dalam hati, ia bersumpah akan melakukan sesuatu pada perempuan jalang itu.
"Baiklah Reina, aku akan mengecek keadaan nya."
.......
.......
.......
Di kantor Devid.
Suasana di ruang kantor Devid begitu hening. Reina dengan hati-hati membantu Celine masuk dan mendudukkannya di sofa yang empuk. "Tenang, Boss akan segera mengobati mu. Duduklah di sini, Celine," ujar Reina dengan nada lembut namun tegas.
Celine hanya mengangguk pelan, wajahnya masih menegang, menahan perih akibat cappuccino panas yang tersiram ke wajahnya. Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka, dan Devid masuk membawa kotak P3K. Wajahnya tegang, menunjukkan kemarahan sekaligus kekhawatiran.
"Reina, terima kasih atas bantuan mu. Sekarang kamu boleh pergi meninggalkan kami," perintah Devid.
"Baik, Boss," jawab Reina cepat, melirik sekilas ke arah Celine sebelum keluar dari ruangan.
Devid mendekat dan duduk di sebelah Celine, matanya memeriksa wajah wanita itu dengan penuh perhatian. Kulit di sisi kanan wajah Celine tampak memerah, bekas luka terbentuk dengan jelas. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara.
"Angela keterlaluan," gumam Devid, sambil membuka kotak P3K dan mengeluarkan kapas serta Petroleum Jelly. "Aku yakin dia sudah merencanakan ini sejak awal."
Celine tetap diam, pandangannya kosong. Ia menahan rasa perih, tetapi tak ingin menunjukkan kelemahannya.
Dengan gerakan hati-hati, Devid mulai mengoleskan petroleum jelly ke luka di wajah Celine. Tangannya gemetar ringan, namun ia tetap fokus. "Celine, apa ini sakit?" tanyanya pelan, suaranya mengandung nada lembut yang jarang terdengar.
Celine masih bungkam, namun kali ini ia mengangguk kecil, cukup untuk menunjukkan bahwa rasa sakit itu nyata.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita ke rumah sakit? Dokter akan menangani ini jauh lebih baik," usul Devid, nada suaranya kini berubah menjadi penuh kekhawatiran.
Namun Celine menggeleng tegas. "Tidak perlu, Devid. Perban saja wajahku! Nanti juga membaik dengan sendirinya."
Devid membuka mulut, hendak membantah, tetapi ia terhenti ketika Celine meraih perban yang ada di tangannya. "Kalau kamu tidak mau melakukannya, aku yang akan memperban wajah ku sendiri," ujar Celine dingin, nadanya penuh tekad.
Devid menahan napas, mengalah pada kegigihan Celine. "Ah, baiklah. Aku akan melakukannya," jawabnya sambil meraih kembali perban dari tangan Celine.
Dengan hati-hati, Devid membalut luka di wajah kanan Celine. Tangannya bergerak pelan, hampir seperti ia takut menyakiti wanita yang diam-diam ia cintai. Saat balutan selesai, Devid menatap wajah Celine, mencoba membaca pikirannya yang tersembunyi di balik ekspresi datarnya.
"Celine," ucapnya lirih dalam batin nya, "Kau tidak sendiri, aku akan memastikan Angela tidak lagi menyakitimu."
...****************...
Siang itu, di bawah teriknya matahari, sebuah mobil sedan berwarna pink melaju dengan tenang di jalanan kota. Angela duduk di balik kemudi, senyum puas terpancar di wajahnya.
"Ahahahaha, Celine ... Celine ..." ia tertawa, suaranya penuh dengan rasa kemenangan. "Kamu pikir Devid bisa melindungi mu selamanya? Oh, tidak. Aku akan memastikan penderitaanmu tak akan pernah berakhir."
Tangannya menggenggam kemudi dengan erat, senyum licik terus menghiasi bibirnya. Namun, Angela tidak menyadari bahwa ia tidak sendirian di dalam mobil itu.
Di kursi belakang, sosok Briyon duduk diam. Matanya memancarkan amarah yang begitu dalam, tubuhnya diselimuti aura gelap. Wajahnya yang menyeramkan tampak semakin menakutkan dalam pencahayaan, ia menatap Angela dengan kebencian yang membara, tetapi Angela terlalu larut dalam pikirannya sendiri untuk menyadari kehadirannya.
Saat mobil mencapai jalan tol, Angela melaju dengan kecepatan rata-rata. Namun, suasana yang semula biasa berubah ketika Briyon mulai menampakkan dirinya. Bayangannya perlahan terlihat di kaca spion tengah. Angela melirik kaca itu dengan sekilas, dan tubuhnya langsung menegang.
Mata Angela membelalak, napasnya tertahan. "Apa itu ...?" gumamnya. Sosok Briyon yang menyeramkan menatapnya balik melalui kaca, mata merah menyala dan senyum mengerikan menghiasi wajahnya.
Angela langsung bergidik. "Aahhh! Kyaaaaaaa! Hantu!" jeritnya, tangannya mulai gemetar di atas kemudi.
Briyon menggerakkan tangannya, mengeluarkan kuku-kuku tajam yang mengerikan. Dengan cepat, ia meraih leher Angela. Angela meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman tak kasat mata itu. Tapi usahanya sia-sia.
Angela panik, kakinya menekan pedal rem, namun yang terjadi malah sebaliknya. Mobil itu justru melaju semakin cepat, melebihi batas normal. Angela berteriak lebih keras, "Berhenti! Berhenti!" tetapi mobilnya seolah dikendalikan oleh kekuatan lain.
Briyon semakin erat mencekik Angela, tawa menyeramkannya menggema di dalam mobil. Angela, yang hampir kehilangan akal, membanting setir ke kanan dengan paksa. Mobil itu oleng, menabrak trotoar, dan akhirnya terjun ke bawah flyover.
"Kyaaaaaaaaaaaaaa!"
Saat mobilnya meluncur jatuh, Angela hanya bisa menjerit. Waktu terasa melambat, tetapi dalam hitungan detik, sedan pink itu menghantam daratan dengan keras. Suara hantaman terdengar memekakkan telinga, menghancurkan ujung depan mobil menjadi puing-puing.
Asap mulai mengepul dari kendaraan yang ringsek, dan seketika mobil itu meledak membuat orang yang berada di sekitar terkejut.
...Bersambung ......