Menikah secara tiba-tiba dengan Dean membuat Ara memasuki babak baru kehidupannya.
Pernikahan yang awalnya ia kira akan membawanya keluar dari neraka penderitaan, namun, tak disangka ia malah memasuki neraka baru. Neraka yang diciptakan oleh Dean, suaminya yang ternyata sangat membencinya.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? apakah Ara dapat menyelamatkan pernikahannya atau menyerah dengan perlakuan Dean?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalu Unaiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 25
Dean menjalankan mobil dengan kecepatan sedang, keduanya tak ada yang membuka suara sejak tadi, hanya suara mesin mobil yang terdengar. Dean hanya fokus menyetir, sedangkan perempuan di sampingnya hanya menatap kosong pada jendela di samping kirinya. Ara hanya diam memperhatikan jalanan lewat kaca mobil. Psikisnya terlalu terkejut menerima semua hal yang terjadi malam ini.
Tes..
Setetes air mata jatuh di pipi Ara, ia tidak bisa lagi membendung air mata yang coba ia tahan sejak memasuki mobil. Kejadian beberapa saat lalu sungguh menguras emosinya. Seolah penderitaannya selama ini belum cukup. Ia tak menyangka Papa dan Mamanya akan berbuat sejauh itu. bagaimana bisa mereka tega melakukan hal itu kepadanya.
Segala hal berkecamuk saat itu, rasanya ia ingin menyerahkan segalanya, ia hanya ingin semuanya baik-baik saja. Ia ingin keluarganya baik-baik saja. Pada satu titik ia berharap Rio tidak masuk ke dalam kamar itu dan menghentikannya, sehingga ia tidak harus bertambah terluka karna mengetahui fakta tentang pernikahannya yang membuatnya sakit hati. Ia ingin menolak percaya bahwa Papanya sampai setega itu kepadanya, seolah belum cukup fakta tentang warisan Ibunya yang ditutupi oleh sang Papa, laki-laki itu juga tega menukarnya dengan sebuah hotel.
Ia tak masalah memberikan warisan itu, sungguh. Ia hanya ingin diperlakukan dengan baik. Ia hanya ingin merasakan kasih sayang dari keluarganya yang selama ini tidak pernah ia rasakan. Ia sudah berusaha keras, berusaha bersikap baik agar sedikit saja orang tuanya bisa menganggapnya sebagai anak, ia tidak pernah melawan, ia menuruti semua apa yang mereka inginkan, namun sepertinya itu semua tidak cukup. Seolah semua yang ia lakukan tidak akan ada artinya di mata mereka.
Ara masih tenggelam di dalam fikirannya, sesekali tangannya bergerak menyeka air mata yang jatuh membasahi pipinya. Dean memperhatikan dalam diam, sesekali ia melirik ke samping. Bahu perempuan itu terlihat bergetar, meski tidak bersuara Dean tau wanita itu menangis.
Setelah menempuh waktu setengah jam lebih akhirnya mereka sampai, setelah mobil berhenti, Ara membuka seatbeltnya.
“terima kasih,” ucap Ara lalu turun dari mobil. Perempuan itu melangkah menuju pintu, memasukkan pin pada pintu lalu masuk tanpa menunggu Dean terlebih dahulu.
Sedangkan Dean masih bergeming di dalam mobil, ia memperhatikan dari dalam mobil, Perempuan itu terlihat sangat lemah, mengesampingkan masalah di antara mereka ia merasa kasihan dengan Ara, ternyata hidup jauh lebih tidak adil bagi Ara ketimbang dirinya.
Dean kemudian turun dari mobil, membuka garasi lalu kembali masuk ke dalam mobil, setelah memarkirkan mobil di dalam garasi, ia kemudian masuk ke dalam rumah melalui pintu di dalam garasi yang terhubung dengan ruang tengah.
Dean mengedarkan pandangannya mencari tau keberadaan Ara, apa perempuan itu menghilang dan bersembunyi di taman belakang lagi seperti sebelumnya. Ia kemudian memeriksa taman belakang namun ia tak mendapati Ara di sana, di kamar pun perempuan itu tidak terlihat, Dean semakin kebingungan kemana perginya perempuan itu, ia kemudian berjalan menuju dapur, dan perempuan itu juga tidak ada di sana. Jujur saja ia khawatir perempuan itu melakukan hal yang tidak-tidak.
Ia berhenti sejenak, tangannya terulur memijat pelipisnya, di dalam rumah itu tidak ada lagi tempat yang biasa Ara masuki karna tentu saja Dean sudah melarang keras perempuan itu.
Setelah lama berdiam, Dean sayup-sayup mendengar suara air dari arah kamar mandi dapur, ia kemudian berjalan cepat lalu mengetok pintu, beberapa saat kemudian pintu itu dibuka dari dalam, kepala Ara terlihat menyembul keluar. Rambutnya basah, rupanya ia sedang mandi.
“ada apa?” tanya Ara. Perempuan itu berusahan menyembunyikan badannya yang hanya terlilit handuk di belakang pintu.
Dean berdehem, ia mendadak kikuk. Melihat Ara dengan penampilan seperti itu meski hanya sebatas bahu membuatnya hilang fokus.
“buatkan makan malam.” Dean merutuki mulutnya. Ia sama sekali tidak lapar, lagi pula siapa yang akan memikirkan makanan dalam situasi seperti ini.
“Baiklah, tunggu sebentar,” ucap Ara lalu kembali menutup pintu. Dean mengacak rambutnya frustasi, ada apa dengan dirinya.
Setelah itu laki-laki itu masuk ke dalam kamarnya untuk membersihkan diri, kemudian setelah selesai mandi dan berpakaian ia keluar kembali dan duduk di meja makan.
Ara terlihat masih sibuk di dapur, Dean memperhatikan dari arah meja makan. Ini adalah kali pertama ia memperhatikan Ara memasak, perempuan itu terlihat sangat telaten. Meski tidak pernah memuji secara langsung tapi Dean akui masakan Ara memang enak. Masakan rumahan yang sangat ia rindukan selama ini, sejak Ibu kandungnya meninggal ia sangat jarang makan masakan rumahan, sejak SMA ia sudah tinggal di apartemen karna tidak ingin tinggal dengan Ayana sebagai Ibu tirinya. Sejak saat itu ia hanya makan makanan cepat saji atau makan di restoran. Namun tetap saja rasanya sangat berbeda, bahkan ketika ia belajar memasak pun, masakannya tetap tidak bisa menghilangkan kerinduannya dengan masakan Ibunya. Dan sekarang Ara mengobati kerinduannya tersebut.
Perempuan itu kini tengah menyajikan makanan di atas meja, Dean masih memperhatikan, mata Ara masih terlihat sembab, rambut perempuan itu juga masih basah. Sepertinya setelah selesai mandi dan berpakaian ia langsung menuju dapur untuk memasak tanpa mengeringkan rambutnya terlebih dulu.
Selesai menyajikan makanan untuk Dean, Ara kemudian beranjak, Dean seketika salah tingkah ingin sekali mengajak perempuan itu makan. Namun gengsinya terlalu besar.
"kau tidak makan?" tanya Dean, Ia menggulum bibirnya setelah mengatakan itu.
"tidak, aku tidak lapar." Lalu Ara meninggalkan Dean yang sedang merutuki dirinya sendiri.
Ia merasa heran dengan dirinya sendiri, mengapa ia menjadi gugup begini. Dean melihat Ara pergi menuju taman belakang, sepertinya perempuan itu akan menyendiri lagi di sana.
***
Setelah cukup lama duduk di bangku teras belakang rumah, Ara kemudian masuk ke dalam rumah, udara juga sudah mulai dingin, sudah cukup larut. Sepertinya ia harus segera tidur meski ia sama sekali belum mengantuk.
Saat melewati ruang tengah Ara melihat Dean sedang duduk sambil menonton televisi, Ara melewati saja ia akan mengambil selimut dan bantalnya yang ia simpan di ruang laudry. Ia akan tidur di ruang tamu seperti seminggu belakangan ini.
Ara pun mematikan lampu, ia lebih suka tidur di tengah kegelapan, sudah terbiasa sejak kecil. Ia kemudian merebahkan dirinya di atas sofa, mencoba mencari posisi yng nyaman agar ia segera tertidur.
Ia menghela nafas panjang, mencoba kembali memejamkan mata, namun sangat sulit untuk tertidur, sudah sekitar setengah jam ia mencoba memejamkan mata, namun yang ia dapati bukan kantuk melainkan air mata yang tanpa ia sadari menetes melalui sudut matanya.
Ara kemudian memilih untuk kembali duduk, memeluk lututnya sembari mengigit bibirnya untuk mereda isakannya, tangannya menghapus kasar air mata yang semakin banyak membasahi kedua pipinya. Ia sudah lelah, sangat lelah untuk menangis. Ia hanya ingin tidur dengan harapan hari esok akan jauh lebih baik.
Di ruang tengah.
Dean sayup-sayup mendengar suara tangisan, ia bahkan mematikan televisi untuk memastikan pendengarannya. Dean menajamkan pendengarannya, suara itu berasal dari ruang tamu.
Dean perlahan-lahan melangkah ke ruangan itu, gelap, hanya ada sedikit cahaya dari luar, Dean mendekat ke arah sofa di mana seseorang tengah duduk meringkuk di atas sofa.
Suara tangisan itu makin terdengar jelas di telinga Dean. Di depannya, di atas sofa itu, Ara tengah menangis, bahu perempuan itu bergetar.
Dean mendekat berdiri di depan Ara yang sedang menunduk, lalu tangannya terulur mengelus kepala perempuan itu, Ara terlihat terkejut, ia mendongak menatap Dean dengan wajah yang basah oleh air mata.
Tangan Dean kemudian bergerak menangkup wajah sembab itu, ibu jarinya bergerak menghapus air mata di pipi Ara, Ia tidak suka melihat air mata itu. meski tanpa ia sadari bahwa kadang ia juga membuat perempuan itu menangis.
Tangan yang sebelumnya menangkup wajah Ara kini beralih memeluk tubuh perempuan itu, sebuah pelukan hangat yang benar-benar sangat Ara butuhkan saat ini, pelukan yang tidak ia sangka berasal dari seorang Dean. Bahunya kembali bergetar, ia menyembunyikan wajahnya di dada bidang Dean, kini ia tak menahannya lagi, isak tangisnya pecah begitu saja di pelukan Dean.
Laki-laki itu hanya diam tanpa mengatakan apa-apa, namun pelukannya semakin erat pada tubuh Ara yang bergetar. Tangannya sesekali mengelus punggung perempuan di pelukannya itu.
Cukup lama Ara menangis hingga ia merasakan tangan Dean bergerak, menyelip di bawah kakinya, tubuhnya terangkat, Dean menggendongnya ala bridal style.
Ara mendongak menatap wajah Dean, laki-laki itu menunduk.
"ayo tidur di kamar," kata Dean singkat tanpa menghentikan langkahnya.
Sesampainya di kamar ia mendudukan Ara di atas ranjang, Dean tidak tau apa yang ia lakukan benar atau salah, ia hanya mengikuti kata hatinya.
"kau bisa tidur di sini," ucap Dean hendak beranjak untuk naik di sisi lain ranjang.
"kenapa?" Ara bertanya.
Dean berbalik, ia menatap Ara dengan heran.
"kenapa tiba-tiba kau menjadi baik? Bukankah sebelumnya kau ingin membunuhku?" ucap Ara dengan wajah yang masih memerah.
"APA?!" ucap Dean dengan terkejut.