Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal Kehancuran
📍 Dallas Company
-Ruangan Kerja-
Malam, pukul 8.
Reymond duduk bersandar di kursi kerjanya. Matanya menerawang, menatap dinding ruangan yang penuh dengan dokumen dan papan strategi. Wajahnya tampak lelah, menunjukkan beban yang bertumpuk di pikirannya. Semua yang harus dia kerjakan, semua yang harus dia rencanakan, menghimpitnya tanpa ampun.
Dia tahu satu hal pasti: perang dinginnya dengan Mattheo, ayah mertuanya, telah dimulai.
Reymond menyadari bahwa Mattheo pasti sadar akan rencana itu. Bahkan, kemungkinan besar Mattheo sudah bersiap menarik kembali niatnya menjadikan Reymond CEO, Mvvo Entertaiment. Namun, itu tidak membuat Reymond mundur.
“Dia harus dihentikan,” gumam Reymond, suaranya pelan namun penuh tekad.
Mattheo bukan hanya ancaman ringan bagi perempuan-perempuan. Dia adalah seorang perusak, seorang predator yang telah menghancurkan banyak kehidupan orang lain demi kepuasannya sendiri.
Reymond mengembuskan napas berat, lalu meraih ponselnya di atas meja. Dengan jari gemetar, dia menekan nomor Emily. Nada sambung terdengar berulang kali, namun tidak ada jawaban.
“Kenapa dia tidak angkat?” Reymond mengerutkan kening, rasa cemas mulai merayapi pikirannya.
Dia tahu kemungkinan terburuk.
“Mattheo… jangan-jangan dia bersama Emily,” desis Reymond, membayangkan Emily dipanggil ke kantor agensi Mattheo, Mvvo.
Dengan cepat, Reymond bangkit dari kursinya. Kursi berdecit pelan, hampir tenggelam oleh detak jantungnya yang semakin cepat. Dia mengambil jasnya, melangkah keluar ruangan dengan tergesa-gesa.
-Lobi Dallas Company-
Saat Reymond melangkah keluar dari lift, suara sepatu pantofelnya menggema di lantai marmer yang kosong. Hanya ada segelintir karyawan lembur yang tersisa, memandangnya dengan tatapan ingin tahu. Reymond tidak peduli.
Dia berjalan ke pintu depan, membuka ponselnya lagi, dan mencoba menghubungi Emily sekali lagi.
“Angkat, Emily… tolong, angkat,” gumam Reymond, tangannya mengepal ponsel begitu panggilan itu kembali tidak dijawab.
Seorang petugas keamanan menghampirinya. “Pak Reymond, ada yang bisa saya bantu?”
Reymond melirik sekilas, lalu menggeleng. “Tidak, terima kasih.”
Dia melangkah keluar, menuju mobilnya yang terparkir di depan gedung. Dalam pikirannya, hanya ada satu tujuan: mencari Emily sebelum Mattheo melakukan sesuatu yang tidak bisa dimaafkan.
****
📍Rai’s House – Ruang Kerja Mattheo
Mattheo duduk di kursi kerjanya dengan ekspresi penuh ketegangan. Jemarinya mengetuk permukaan meja kayu yang dingin, sementara matanya yang tajam menyisir dokumen-dokumen yang berserakan.
“Saya yakin,” gumamnya sambil bersandar di kursi, matanya menyipit. “Dia pasti sudah merencanakan ini sejak lama. Tapi… kapan? Dan sejauh apa dia tahu? Apakah dia tahu semua—termasuk soal saya?”
Mattheo menggeleng pelan, mencoba meredakan pikirannya yang penuh spekulasi. Reymond, menantunya, adalah pria cerdas. Mattheo yakin Reymond mulai mencurigai kebiasaan gelapnya—terutama soal pelecehan yang dia lakukan pada bawahannya di Agensi.
Merasa tekanan semakin menghimpit, Mattheo bangkit dari kursi. Langkahnya berat namun penuh keyakinan saat ia berjalan keluar ruangan. Sesampainya di depan tangga, ia berteriak dengan nada memerintah.
“Rein! Cepat ke sini!”
Teriakan itu menggema, membuat Rein yang sedang duduk di ruang tamu terperanjat. Ia segera bangkit dan menghampiri ayahnya dengan raut wajah bingung.
****
Attention!
Khusus bab ini, bab tambahannya sudah tersedia dikaryakarsa; Miralee. Yang berminat baca silahkan cek dikaryakarsa.
Fyi, berbijaklah dalam memilih bacaan yang lebih frontal.
****
Namun sangat jelas, Reymond tidak mengangkat panggilan itu.
Dilayar perangkat mobilnya, Reymond dengan jelasnya mengabaikan panggilan masuk dari Rein, istrinya.
Wajahnya memang terlihat jelas, akan tetapi… fokusnya bertumpuh pada Emily yang sejak tadi tidak mengangkat panggilannya.
Reymond mencari Emily di sudut bar, dia bahkan ke pantai dan berkeliling menatap sekitarannya, namun… tidak ada tanda-tanda dari Emily dipandangannya yang semakin cemas.
****
📍Apartement
Reymond melangkah cepat menuju lobi gedung, wajahnya dipenuhi kegelisahan. Ia menghampiri meja resepsionis dan berbicara kepada seorang petugas keamanan yang berjaga.
“Saya harus naik ke lantai atas. Apartemen Emily,” ucap Reymond tegas sambil mengeluarkan kartu identitasnya.
Petugas keamanan mengerutkan kening, tampak ragu. “Maaf, Pak, kami tidak bisa mengizinkan tamu naik tanpa konfirmasi dari pemilik apartemen.”
Reymond mendesah, mencoba mengendalikan emosinya. “Dengar, saya pengacara. Situasinya darurat. Emily membutuhkan bantuan saya.” Suaranya tegas namun tidak terlalu memaksa.
Setelah memeriksa kartu identitasnya, petugas akhirnya mengangguk pelan. “Baik, Pak. Silakan naik.”
Reymond mengambil kembali identitasnya, mengucapkan terima kasih singkat, lalu bergegas menuju lift.
****
Bel pintu berbunyi beberapa kali, membuat Baby yang sedang duduk di ruang tamu bangkit dengan rasa ingin tahu. Ia berjalan kecil menuju pintu, namun sebelum membukanya, ia menatap layar monitor di samping pintu.
Seorang pria berdiri di sana, napasnya terlihat berat, wajahnya tak dikenali. Baby mengernyit, merasa sedikit ragu, namun tetap membuka pintu perlahan.
“Ya?” tanyanya hati-hati, matanya menatap Reymond dengan curiga.
Reymond tidak membuang waktu. “Di mana Emily?” tanyanya cepat, nada suaranya cemas.
Baby terdiam sejenak, bingung dengan sikap pria asing itu. “Cece? Dia… ada di—”
Belum sempat Baby menyelesaikan kalimatnya, Reymond melangkah masuk tanpa izin, langsung menuju kamar Emily.
“Hey, tunggu!” Baby memanggil, namun Reymond tidak memedulikannya.
Reymond membuka pintu kamar Emily dan melihatnya sedang tertidur pulas di atas ranjang. Napasnya yang tersengal mulai melambat saat melihat Emily dalam keadaan baik-baik saja.
Dengan tangan bertumpu di pinggang, Reymond menarik napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. “Sial… saya hampir gila memikirkan hal ini,” gumamnya pelan, hampir tidak terdengar.
Baby muncul di belakangnya, berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada. “A-anda siapa?” tanyanya dengan nada tajam.
Reymond menoleh sekilas, mencoba meredam kecanggungannya. “Saya Reymond. Pengacara di perusahaan.”
Baby memiringkan kepala, masih tampak curiga. “Dan kenapa dengan cece saya?”
Reymond menggeleng cepat, mencoba menenangkan situasi. “Tidak ada apa-apa. Saya hanya… memastikan dia baik-baik saja.”
Baby melangkah ke depan. “Kalau begitu, saya akan membangunkannya.”
Reymond mengangkat tangannya, menghentikan langkah Baby. “Tidak usah. Biarkan dia tidur. Dia pasti lelah. Saya permisi.”
Sebelum Baby sempat membalas, Reymond sudah berbalik dan meninggalkan kamar dengan langkah tergesa. Baby hanya bisa berdiri diam, menatap ke arah pintu dengan alis terangkat, merasa ada sesuatu yang aneh dengan pria itu.
“Mencurigakan! Tapi… tidak bisa dibilang berbahaya! Apa… dia pacar cece?”