NovelToon NovelToon
Serunai Cinta Santriwati

Serunai Cinta Santriwati

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Fantasi Wanita
Popularitas:345
Nilai: 5
Nama Author: Lalu LHS

Fahira Hidayati tak pernah menyangka akan terjebak begitu jauh dalam perasaannya kini. Berawal dari pandangan mata yang cukup lama pada suatu hari dengan seorang ustadz yang sudah dua tahun ini mengajarnya. Sudah dua tahun tapi semuanya mulai berbeda ketika tatapan tak sengaja itu. Dua mata yang tiba-tiba saling berpandangan dan seperti ada magnet, baik dia maupun ustdz itu seperti tak mau memalingkan pandangan satu sama lainnya. Tatapan itu semakin kuat sehingga getarannya membuat jantungnya berdegup kencang. Semuanya tiba-tiba terasa begitu indah. Sekeliling yang sebelumnya terdengar riuh dengan suara-suara santri yang sedang mengaji, tiba-tiba saja dalam sekejap menjadi sepi. Seperti sedang tak ada seorangpun di dekatnya. Hanya mereka berdua.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalu LHS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#12

"Astagfirullah!" Desah Ustadz Pahlevi panjang. Ia melepas kopiahnya dan meremas-remas rambutnya keras. Tak henti-henti terucap takbir dari mulutnya. Ia benar-benar tak mengerti kenapa tatapan santri itu seakan-akan menenggelamkannya dan membuatnya lupa beberapa saat.

Suara dentang jam di dinding terdengar menghentak hening dan mengejutkan Ustadz Pahlevi. Ia mendesah panjang dan memasang kembali kopiahnya. Tak tersadar hari telah mulai gelap. Setelah merapikan kitab-kitabnya, ia segera meninggalkan ruangan.

Senja telah tenggelam. Gelap mulai terhampar. Mendung sudah ada yang terlihat mampir di langit desa. Panas di bulan desember sebentar lagi akan berakhir. Bau musim penghujan sudah mulai memperlihatkan tanda-tandanya. Awan hitam sering terlihat ketika maghrib telah tiba. Hawa panas yang menggerahkan badan terasa berbeda malam ini. Melebihi malam-malam sebelumnya.

Di dalam asrama, suara santri putri yang sedang membaca surah yasin setelah shalat maghrib terdengar ramai. Beradu dengan pembacaan surah yang sama di asrama putra. Suasana khidmat malam jumat sangat terasa. Malam yang barokah. Malam tempat terkabulnya segala doa dan hajat yang dipanjatkan dengan khusyu'.

Di tengah-tengah barisan shaf para santri, ada Fahira Hidayati yang sedang gundah gulana hatinya. Pembacaan surah yasin yang setiap malam jumatnya selalu ia niatkan pahalanya untuk kedua orang tuanya, kini beralih begitu saja untuk Ustadz Pahlevi. Lebih jauh dari itu, ia ingin suatu hari nanti Ustadz Pahlevi adalah tulang rusuknya yang akan kembali menyatu dengannya. Tentunya tanpa ada yang tersakiti. Ia tidak pernah berpikir untuk berdoa agar Ustadz Pahlevi berpisah dengan istrinya. Atau mendoakan istrinya mati. Justru ia juga turut mendoakan istri Ustadz Pahlevi agar ikhlas menerimanya kelak. Keyakinannya untuk bersatu dengan Ustadz Pahlevi sudah sampai kepada puncak kesempurnaan yakin. Dia pun sudah mulai bertekad. Mulai malam ini ia akan melazimkan membaca shalawat setiap malam seratus kali setiap malam. Sampai saat pada akhirnya nanti Allah menyatukannya dengan Ustadz Pahlevi.

Angin dingin berhembus lembut. Menerpa wajah-wajah santri yang kepanasan. Dan gak lama kemudian, gemeritik hujan tiba-tiba terdengar keras di atas atap asrama yang sebagian besar dari spandek. Para santri sontak menghentikan bacaan yasinnya sejenak dan serempak mengucapkan Hamdalah atas turunnya hujan pertama di tahun ini. Sebagian dari mereka ada yang ditugaskan turun dari mushalla untuk mengamankan jemuran santri-santri lain.

Fahira Hidayati memejamkan matanya sembari merasakan aroma khas tanah ketika pertama kali diguyur hujan. Hawa terasa begitu sejuk. Menyingkirkan perlahan peluh yang mengepung tubuh. Semakin lama hujan semakin turun dengan derasnya. Suara riuhnya di atas atap spandek, menenggelamkan suara-suara santri yang sedang membaca Al-qur,an di mushalla. Hingga saat adzan isya terdengar berkumandang, hujan masih deras mengguyur.

†***

Di tempat lain. Ustadz Pahlevi dan Zulaikha masih sibuk memperbaiki atap rumah yang bocor sejak pertama kali hujan turun beberapa jam yang lalu. Berbekal galah panjang di tangan masing-masing, mereka terlihat sibuk membenarkan beberapa genteng yang bergeser dari tempatnya. Di beberapa tempat yang sulit di jangkau dan tingkat kerusakannya yang parah, tidak ada jalan lain selain meletakkan baskom atau pun ember di bawahnya. Jika dihitung, ada sekitar lima ember yang berjejer di ruang tamu. Bahkan ada yang tidak ditampung sama sekali karna mereka kehabisan ember. Mereka harus berjalan hati-hati sebab lantai yang licin dan tergenang air. Beruntung Winda sudah tidur sejak maghrib tadi. Tidurnya terlihat nyaman sebab hawa di dalam kamarnya tidak terasa panas lagi.

Ustadz Pahlevi mendesah pendek sembari menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Ia menekan-nekan bagian belakang lehernya dengan ujung sofa yang keras. Terlalu lama mendongak saat memperbaiki genteng, membuat lehernya terasa pegal da. sakit.

"Dik, titip kopi ya," kata Ustadz Pahlevi saat melihat Zulaikha melangkah menuju dapur.

"Yang tanpa gula atau sedikit gula," kata Zulaikha tanpa menoleh dan terus berjalan ke arah dapur.

"Yang pakai gula saja," jawab Ustadz Pahlevi.

Tak beberapa lama kemudian, Zulaikha kembali dengan membawa dua wadah transparan. Ia mendehem. Ustadz Pahlevi yang saat itu mulai terbawa ingatannya kepada sosok Fahira Hidayati segera menoleh. Ia melihat Zulaikha berdiri di pintu dapur seraya memperlihatkan wadah di tangannya.

"Gulanya kosong dan kopinya tinggal setengah sendok saja. Jika kamu habiskan sekarang, besok pagi kamu tidak bisa ngopi lagi," kata Zulaikha. Ustadz Pahlevi mendesah pendek dan menganggukkan kepala.

"Mau ngopi sekarang atau untuk Besok," tanya Zulaikha. Ustadz Pahlevi memejamkan matanya. Dia berpikir sejenak.

"Aku ngopi sekarang saja. Terkait besok, ya besok kita pikirkan," jawab Ustadz Pahlevi. Zulaikha pun berbalik. masuk dapur. Dan setelah menunggu beberapa menit, Zulaikha kembali dengan membawakan segelas kopi untuk Ustadz Pahlevi.

"Sebagian besar bahan-bahan pokok kita di dapur sudah habis. Untuk belanja Winda sekolah besok pun tak ada. Aku hanya menyimpan dua puluh ribu sisa uang yang kamu berikan kemarin. Rencananya mau aku pakai untuk membeli lauk pauk untuk makan kita besok. Tapi kilometer listrik kita sudah berbunyi dari tadi pagi minta diisi." Zulaikha menghela nafas panjang. Ustadz Pahlevi terdiam. Pikirannya mulai kusut. Tapi ia berusaha tetap terlihat tenang. Segelas kopi yang diletakkan Zulaikha di atas meja kaca di depannya ia seruput beberapa kali, sambil memikirkan dimana kiranya ia akan mendapatkan uang.

"Winda gak usah sekolah dulu besok. Uang yang dua puluh ribu itu kamu pakai saja dulu untuk makan kita besok. Dan untuk kilometer listriknya, insya Allah akan bertahan satu malam lagi. Besok pagi, aku akan ambil dulu honorku yang bulan depan," kata Ustadz Pahlevi. Dia berharap penjelasannya tadi bisa sedikit menenangkan hati Zulaikha. Zulaikha menatap Ustadz Pahlevi yang kembali menyandarkan tubuhnya setengah terbaring. Tatapan Zulaikha yang sayu menyiratkan kesusahan yang mendalam.

"Lalu bagaimana dengan penyetoran kita di Bumdes. Kita harus segera menyetornya kalau tidak mau di denda lebih besar lagi," kata Zulaikha putus asa. Ustadz Pahlevi memijat matanya keras. Suara hujan yang deras mengguyur semakin memperkeruh pikirannya. Dia mulai kesal dengan laporan kesusahan Zulaikha yang beruntun tanpa koma. Ingin rasanya ia bangkit dan berteriak memarahi Zulaikha, namun ia segera sadar. Zulaikha tidak salah. Itu semua memang kewajibannya sebagai seorang suami.

Ustadz Pahlevi mendesah panjang. Kopi di atas meja kembali diseruputnya. Dia belum punya jawaban yang pas untuk menenangkan Zulaikha. Dia juga belum menemukan siapa gerangan di antara teman-temannya yang bisa ia mintai pinjaman.

Ustadz Pahlevi menggeleng kecil. Semua sudah pernah meminjamkannya uang dan sampai sekarang belum ia lunasi. Sebagian besar sudah masuk lebih dari dua bulan. Dia merasa malu jika harus meminjam lagi.

"Aku belum bisa memberimu jawaban, Dik. Hanya honorku yang di asrama cadangan terakhir kita.Aku benar-benar tidak tahu lagi harus berbuat apa."

Keduanya serempak menghela nafas panjang. Zulaikha ikut menyandarkan tubuhnya di sofa. Sejenak keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing.

1
MEDIA YAQIN Qudwatusshalihin P
good
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!