Riin tak pernah menyangka kesalahan fatal di tempat kerjanya akan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar yang merugikan perusahaan. Ia pun dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kehilangan pekerjaannya, atau menerima tawaran pernikahan kontrak dari CEO dingin dan perfeksionis, Cho Jae Hyun.
Jae Hyun, pewaris perusahaan penerbitan ternama, tengah dikejar-kejar keluarganya untuk segera menikah. Alih-alih menerima perjodohan yang telah diatur, ia memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan Riin. Dengan menikah secara kontrak, Jae Hyun bisa menghindari tekanan keluarganya, dan Riin dapat melunasi kesalahannya.
Namun, hidup bersama sebagai suami istri palsu tidaklah mudah. Perbedaan sifat mereka—Riin yang ceria dan ceroboh, serta Jae Hyun yang tegas dan penuh perhitungan—memicu konflik sekaligus momen-momen tak terduga. Tapi, ketika masa kontrak berakhir, apakah hubungan mereka akan tetap sekedar kesepakatan bisnis, atau ada sesuatu yang lebih dalam diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Am I Pregnant?
Restoran kecil itu terletak di sudut jalan yang rindang, dengan jendela besar yang membiarkan sinar matahari masuk ke dalam. Aromanya dipenuhi dengan bau roti panggang dan rempah-rempah yang menggoda. Seon Ho dan Riin memilih meja di dekat jendela, memberikan mereka pemandangan taman kecil di luar. Sepanjang makan siang, Seon Ho berusaha membuat Riin tertawa dengan cerita-cerita lucunya. Ia berbicara tentang kejadian memalukan di kantin kantor dan bagaimana ia pernah salah mengirim email penting ke alamat yang salah.
"Kau seharusnya melihat wajahku saat menyadari kesalahan itu. Aku ingin menghilang begitu saja," kata Seon Ho, membuat Riin tertawa kecil.
"Kau benar-benar ceroboh," jawab Riin sambil tersenyum, merasa sedikit lebih ringan. Meski pikirannya masih dipenuhi kecemasan, setidaknya untuk saat ini, ia bisa melupakan sejenak apa yang mengganggunya.
Namun, di kantor, Jae Hyun duduk di mejanya dengan pikiran yang berkecamuk. Ia mencoba fokus pada dokumen-dokumen yang perlu ia periksa, tetapi bayangan Riin dan Seon Ho terus muncul di pikirannya. Akankah perasaan ini merusak profesionalismenya? Ataukah ini hanya bentuk dari kekhawatirannya saja? Khawatir jika gadis itu membocorkan rahasia diantara mereka alih-alih merahasiakannya.
***
Jam dinding di kantor berdentang lembut, menandakan pukul enam sore. Di luar jendela kaca besar, hujan deras mengguyur kota dengan irama yang monoton, menambah suasana muram pada sore itu. Lampu-lampu jalan mulai menyala, memantulkan cahayanya pada genangan air di trotoar yang sepi. Di dalam kantor yang mulai lengang, hanya tersisa beberapa karyawan yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Salah satunya adalah Riin, seorang gadis muda yang kini tengah membereskan dokumen di mejanya.
Seon Ho mendekatinya dengan senyum yang tak pernah gagal membuat orang merasa nyaman. “Riin~a,” panggilnya lembut, nada suaranya penuh perhatian. “Hujan sangat deras. Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang?”
Riin menoleh, senyum tipis menghiasi wajahnya yang lelah. “Tidak perlu. Lagipula kita tidak searah, pasti hanya akan merepotkanmu saja,” jawabnya dengan nada halus, namun tegas. Di balik penolakannya, pikirannya bercampur aduk. Setelah menikah dengan Jae Hyun, kini ia terpaksa harus tinggal di apartemen pria itu, bosnya sekaligus suaminya, sebuah kenyataan yang tak ingin ia ceritakan pada siapa pun, terutama Seon Ho. Apartemen lamanya yang dulu ia tempati bersama Ah Ri, kini ditempati oleh Ah Ri yang tinggal bersama kekasihnya.
Seon Ho mengerutkan alis, menunjukkan kekhawatiran yang tulus. “Repot apanya? Lebih baik aku meluangkan waktuku sebentar daripada kau harus kehujanan hanya untuk pergi ke halte bus. Memesan taksi saat cuaca seperti ini juga cukup sulit,” ujarnya, mencoba membujuk lagi.
Sebelum Riin sempat merespon, sebuah suara dingin namun berwibawa menyela dari belakang mereka. “Riin-ssi, jangan pulang dulu.”
Riin mendongak, matanya bertemu dengan Cho Jae Hyun, bos mereka yang terkenal dengan sikapnya yang tegas dan sedikit misterius. Ia berdiri di sana dengan jas hitam yang sempurna melekat pada tubuhnya.
“Sajangnim, Anda belum pulang?” tanya Riin, mencoba menyembunyikan kegugupannya dengan sikap formal.
“Ada pekerjaan yang lupa kusampaikan padamu. Datang ke ruanganku sebentar,” perintah Jae Hyun dengan nada datar, namun penuh otoritas. Ia tidak menunggu jawaban dan langsung berbalik, memberi isyarat agar Riin mengikutinya.
Seon Ho tampak tidak puas dengan situasi ini. “Riin~a, aku akan menunggu jika kau mau,” katanya, nada suaranya menunjukkan ketulusan yang tak tergoyahkan.
Riin menatap Seon Ho dengan ekspresi menyesal. “Maaf, lebih baik kau pulang saja lebih dulu. Sajangnim pasti akan bicara cukup lama, dan aku akan memesan taksi untuk pulang. Terima kasih atas tawarannya,” katanya sambil mencoba tersenyum. Tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut, ia bergegas menuju ruangan Jae Hyun, meninggalkan Seon Ho yang hanya bisa menatap punggungnya dengan perasaan campur aduk.
***
Riin berdiri mematung di depan pintu ruang kerja Jae Hyun. Udara di ruangan itu terasa hangat, namun keheningan di antara mereka menciptakan rasa canggung yang hampir membuatnya sulit bernapas. Ia baru saja menyelesaikan tumpukan dokumen yang diminta pria itu tadi siang, dan pikirannya penuh dengan rencana untuk menikmati malam yang tenang di rumah, atau lebih tepatnya di apartemen Jae Hyun. Namun, sepertinya pria itu punya ide lain.
“Tutup pintunya,” ujar Jae Hyun tanpa menoleh, matanya tetap fokus pada layar komputer di depannya. Riin mengikuti perintahnya, lalu berdiri canggung di depan meja.
“Ada yang perlu saya kerjakan, Sajangnim?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
Jae Hyun akhirnya mengangkat wajahnya, matanya yang tajam bertemu dengan tatapan Riin. “Duduk,” katanya singkat, menunjuk kursi di depannya. Riin menurut, meski hatinya berdebar kencang.
“Pekerjaan apa lagi yang harus aku selesaikan? Bukankah tadi siang kau sudah memberiku tugas baru?” tanyanya, suaranya terdengar sedikit lelah namun tetap sopan. Riin menatap pria itu dengan alis terangkat, berharap ini bukan permintaan yang akan merusak malamnya.
Jae Hyun, yang sedang duduk di kursi kulit hitamnya, memandangnya dengan ekspresi tenang namun penuh keyakinan. Ia menyilangkan kedua tangannya di atas meja, tatapannya tak teralihkan dari wajah Riin. “Tidak ada tugas baru. Aku hanya ingin kau pulang bersamaku,” ujarnya tanpa ragu, suaranya rendah namun jelas.
Riin tertegun. Kata-kata itu menghantamnya seperti angin dingin yang tiba-tiba menerpa wajah. “Apa? Kau yakin? Bagaimana jika ada yang melihat nanti?” Ia bergidik ngeri membayangkan gosip yang bisa menyebar dengan cepat di kantor. Terlebih lagi, Jae Hyun adalah sosok yang dipuja oleh hampir semua pegawai wanita di perusahaan. Pria dengan karisma dan ketampanan yang sulit ditandingi.
“Tidak akan,” jawab Jae Hyun, seolah sudah memikirkan semua kemungkinan. “Mereka yang menggunakan kendaraan pribadi pasti sudah pulang lebih dulu. Jadi kita bisa ke basement dengan aman. Lagipula, ada hal yang ingin aku bicarakan di perjalanan pulang nanti.”
Riin menggigit bibirnya, ragu. Ia tahu Jae Hyun jarang melakukan sesuatu tanpa alasan. Namun, rasa khawatirnya tetap ada. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Tapi jika nanti ada rumor di kantor soal kita, kau yang harus mengatasinya.”
Jae Hyun mengangguk tanpa ragu. “Cepat ambil tasmu. Kita pulang sekarang.”
***
Basement kantor terasa sunyi, hanya ada deretan mobil yang diparkir rapi di bawah cahaya lampu neon yang berpendar dingin. Suara langkah kaki mereka menggema di ruangan yang luas, menciptakan suasana yang hampir terasa seperti adegan dalam film thriller. Riin berjalan di belakang Jae Hyun, mencoba menghilangkan rasa canggung yang menyelimuti dirinya. Ia bisa merasakan detak jantungnya yang sedikit lebih cepat dari biasanya.
Riin berjalan dengan langkah hati-hati, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada pegawai lain yang melihatnya. Suara sepatu hak tingginya beradu dengan lantai parkiran basement yang dingin dan suram. Lampu neon di langit-langit berkelip-kelip, menciptakan bayangan yang bergerak di dinding. Aroma lembap dan samar bau oli menguar di udara, menambah suasana yang membuatnya semakin gugup. Ia mempercepat langkahnya saat melihat Jae Hyun sudah menunggu di mobil hitamnya yang mengilap.
“Ayo cepat masuk,” ujar Jae Hyun sambil membuka pintu penumpang. Suaranya terdengar tenang, namun ada sedikit ketegangan di matanya.
Riin segera masuk dan menutup pintu, menghela napas panjang. “Ck, aku sudah seperti wanita simpanan seorang CEO beristri,” gumamnya dengan nada kesal, meskipun ia tahu tidak sepenuhnya serius.
Jae Hyun meliriknya sambil menyalakan mesin mobil. “Sebenarnya, kalau kau mau, tak masalah jika kita membuka identitas pernikahan kita. Lagipula, ini sudah tidak bisa lagi disebut sebagai pernikahan kontrak.”
Riin memutar bola matanya, lalu menyandarkan kepala ke sandaran kursi. “Tidak, aku bisa gila jika harus berhadapan dengan para pegawai wanita yang menjadi fans fanatikmu itu.” Nada suaranya tegas, namun ada sentuhan lelah di dalamnya. “Lalu... apa yang ingin kau bicarakan tadi?”
Jae Hyun mengemudi perlahan, mengarahkan mobil keluar dari parkiran basement. Hujan deras mengguyur kota, menimbulkan suara gemuruh di atap mobil. Wiper bergerak ritmis, membersihkan kaca depan dari air hujan yang terus-menerus turun.
"Aku perhatikan seharian ini kau tidak fokus dengan pekerjaanmu,” ujarnya, sambil tetap memandang jalan. “Bahkan sejak semalam, kau sudah terlihat gelisah. Ada masalah apa?”
Riin menggigit bibirnya, merasa hatinya semakin berat. Ia tahu pertanyaan ini akan datang, tapi tetap saja ia merasa sulit untuk menjawabnya. “Itu...” Ia berhenti sejenak, mencoba merangkai kata-kata. “Semalam... aku baru menyadari sesuatu.”
"Soal apa? Ada hubungannya denganku?” Jae Hyun bertanya dengan nada serius. Matanya melirik sekilas ke arah Riin sebelum kembali fokus ke jalan.
"Kemungkinan seperti itu...” jawab Riin, suaranya terdengar sangat pelan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. “Jae Hyun~a, sebaiknya kita menepi dulu. Aku tidak ingin konsentrasimu terganggu, terlebih lagi saat ini sedang hujan deras.”
Jae Hyun mengangguk, meski raut wajahnya menunjukkan kebingungan. Ia menepikan mobil di area yang cukup aman, di bawah naungan pohon besar di pinggir jalan. Suara hujan yang menghantam atap mobil terdengar lebih jelas sekarang, menciptakan suasana yang terasa semakin intim namun penuh ketegangan.
"Baiklah, sekarang katakan. Aku semakin penasaran, ada masalah apa sebenarnya?” desaknya dengan nada lembut namun penuh perhatian.
Riin menghela napas panjang, menatap tangannya sendiri yang gelisah. Ia mencoba mencari kekuatan dalam dirinya. “Semalam... aku baru menyadari kalau... siklus datang bulanku sudah terlambat. Sudah hampir... dua minggu,” ungkapnya akhirnya. Suaranya bergetar, dan ia masih tak berani menatap Jae Hyun.
Jae Hyun terdiam sesaat, mencoba mencerna informasi tersebut. “Apa itu artinya...” Ia berhenti sejenak, menelan ludah. “Kau hamil?”
***