Sepeninggal suami, Nani terpaksa harus bekerja sebagai seorang TKW dan menitipkan anak semata wayangnya Rima pada ayah dan ibu tirinya.
Nani tak tau kalau sepeninggalnya, Rima sering sekali mengalami kekerasan, hingga tubuhnya kurus kering tak terawat.
Mampukah Nani membalas perlakuan kejam keluarganya pada sang putri?
Ikuti kisah perjuangan Nani sebagai seorang ibu tunggal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Desakkan
Jannah dan Rahma saling melempar pandangan, mereka khawatir karena tampak Nina sangat tak senang dengan situasi saat ini.
"Ya udah Rima. Mending main sama dek Arul sama Aruna ya, nanti nenek bawakan camilan enak," sergah Jannah mendinginkan suasana.
Budi lantas ikut mendekat karena Nina tak kunjung kembali. Dia khawatir apa yang akan di lakukan ibu dan adiknya ketahuan oleh Nina.
Bisa kacau segalanya jika Nina tak jadi menikah dengannya. Semua rencana indah sudah Budi dan keluarganya pikirkan saat Nina nanti berhasil bergabung dengan keluarga mereka.
"Ada apa Bu?" tanya Budi penasaran karena merasa suasana di dapur tampak tegang.
"Enggak ada apa-apa Bud, cuma ini, Nina sepertinya salah paham sama ibu dan Rahma," jawab Jannah yang justru menyudutkan Nina.
Nina terkeju dengan ucapan Jannah yang justru seperti menyalahkannya. Padahal bukan seperti itu maksud Nina. Mendadak janda satu anak itu menyesal memenuhi undangan Budi untuk bertandang ke rumahnya.
"Nin, maaf kan ibu ya, ini pasti salah paham," ujar Budi memohon.
"Salah paham apa mas? Saya ngga bilang apa-apa loh sama ibu kamu," sanggah Nina datar dan dingin.
Jannah menahan kesal, harusnya dia tidak perlu melakukan drama seperti ini. Justru sikapnya saat ini akan membuat Nina menjauh.
"Aduh maafkan Ibu Nina, bukan maksud ibu begitu, hanya karena melihat Nina kaya kesal jadi ibu pikir Nina marah," Jannah buru-buru menjelaskan.
Nina menarik napas, melihat Rima yang menunduk ingin sekali dia pulang dari rumah Budi.
"Saya ngga marah Bu, saya hanya meminta pada Rima jangan sembarangan di rumah orang, maaf kalau ibu salah paham," jelas Nina meski tak tulus.
"Maaf mas Budi, ini udah malam juga, kami ke sini niatnya hanya sekedar mengenal aja, jadi sebaiknya kami pulang ya mas," ucap Nina.
"Tunggu Nina!" cegah Jannah.
"Jangan begini, kalau Nina seperti ini justru membuat ibu merasa bersalah, sebaiknya kita duduk dulu ya, ada sesuatu yang ingin di sampaikan Budi pada Nina juga. Ya?" pinta Jannah yang mulai gusar.
Terpaksa Nina mengangguk setuju, lalu mengajak Rima duduk di ruang tamu bersamanya.
Tak lama, Rahma dan Jannah datang membawa suguhan untuk mereka semua.
"Ada apa toh bu, kok bapak dengar ramai-ramai di dapur. Atuh ngobrol di sini lah ajak-ajak bapak jangan berbincang sendiri dengan calon mantu," tegur Nurdin sambil terkekeh.
"Biasalah pak, mengakrabkan diri sama calon mantu dan cucu," balas Jannah.
Suasana sudah kembali kondusif, hanya perasaan Rima dan Nina yang masih mengganjal entah karena apa.
Ingat akan sesuatu yang di berikan pada minuman sang ibu, refleks Rima menyenggol cangkir ibunya hingga cangkir itu jatuh.
"Cangkir mahalku!" pekik Jannah dengan sorot mata melotot melihat cangkir ke sayangannya pecah.
Nina lalu menatap Rima sekilas dan membereskan cangkir yang dia jatuhkan.
"Maafkan Rima Bu, tadi Rima ngga sengaja," lirih Rima, yang hanya di dengar oleh Nina.
Nina menghela napas, tentu saja Nina tau jika putrinya itu sengaja menyenggol dirinya.
Namun tak mungkin Nina menegur sang putri di depan orang asing.
Dia lebih memilih meminta maaf pada Jannah, karena terlihat itu adalah cangkir kesayangan ibunda Budi.
"Maafkan Nina ya Bu, Nina kaget karena kepanasan," dusta Nina.
Namun sungguh Nina tak menyangka jika mendapat balasan sikap yang berbeda dari Jannah.
"Alah kamu ini katro sekali sih! Panas gimana? Orang tehnya udah hangat dari tadi!" jawab Jannah ketus.
Rahma berusaha mengingatkan sang ibu untuk tak meneruskan kemarahannya karena saat ini mereka harus bersikap baik di hadapan Nina dan Rima.
Namun hati Jannah tak bisa di bohongi, dia tetap merasa kesal, di samping cangkir kesayangannya pecah, mantra dari Ki Darto juga jadi terbuang sia-sia.
Huh, hilang dua jutaku. Dasar sialan! Wanita kampungan, kalau bukan karena kamu kaya enggan sekali aku bersikap manis padamu.
Tunggu saja kalau kalian udah menikah, kalian berdua akan kujadikan babu.
"Bu!" tegur Nurdin sambil menggeleng.
"Ya udah lupakan aja Nin, lain kali hati-hati. Kamu tadi bisa ngajarin anakmu untuk tak sembarangan memegang barang orang, tapi kamu sendiri malah merusak barang ibu," sindir Jannah.
Nina yang merasa tak enak dan panas hatinya, lalu menjawab ucapan Jannah.
"Akan Nina ganti besok ya bu, kalau bisa tolong di plastikan pecahannya. Nanti Nina cari yang sama persis seperti ini."
"Eh Nina ngga perlu, udahlah bu maafkan Nina kan dia ngga sengaja," sela Budi yang ingin agar suasana tegang ini segera berlalu.
"Iya toh Bu, kita kan mau mendengarkan penjelasan Budi dan Nina, tentang rencana masa depan mereka," sergah Nurdin menengahi.
Nina mengernyit heran, dia menerima ajakan Budi ke rumahnya hanya sekedar ingin mengenal keluarga Budi.
Dia sama sekali tak ada niat membicarakan masalah masa depan yang di maksud oleh Nurdin.
Budi tampak gugup, Rahma juga sudah tak sabar dengan pembahasan ini, yang di pikirkan adik Budi itu hanya toko sembako milik Nina. Dia tahu betul bertapa ramainya toko itu.
"Begini Pak, Bu, aku dan Nina ingin merajut rumah tangga, kalian merestui bukan?"
Nina merasa ada yang salah, dia merasa seperti tengah melamar Budi pada orang tuanya. Harusnya Budi berkata seperti ini pada bapaknya, bukan pada orang tuanya.
Rima sudah gelisah, di liriknya sang ibu yang tampak tenang. Sungguh Rima tak ingin sang ibu membina rumah tangga dengan Budi.
"Ya kalian sudah dewasa, sama-sama pernah menikah, tak baik juga lama-lama berhubungan. Kalau memang serius segeralah menikah," jawab Nurdin semangat.
Ingin sekali Nina menyela, hubungannya dengan Budi belum sampai tahap itu menurutnya. Namun di sana seolah-olah Nina sudah setuju dengan lamaran Budi siang tadi.
"Nina, bapak dan ibu serta keluargaku sudah setuju, aku yakin Nina mau kan menikah dengan mas?" tanya Budi penuh harap.
"Maaf mas Budi, bapak dan Ibu. Saya belum berencana untuk menikah dalam waktu dekat, terlebih lagi saya punya Rima—"
Ucapan Nina di potong langsung oleh Rahma, "Rima mau kan ya punya ayah seperti Om Budi?" ucap Rahma menatap Rima dengan tajam.
Rima yang di tanya hanya mampu menunduk. Sungguh Nina tak suka situasi seperti ini. Dia tau anaknya merasa di sudutkan.
"Maaf Rahma, kami juga baru kenal, belum sampai tahap ingin segera menikah," ujarnya pada Rahma.
Jannah yang mendengar penolakan Nina merasa kesal, dia merasa ucapan Budi waktu itu memang benar, Nina bukanlah wanita yang mudah di taklukkan.
"Tapi Nin, apa kamu ngga lihat ketulusanku?" ujar Budi dengan sorot mata penuh harap.
"Mas—" lagi-lagi ucapan Nina di sela oleh Rahma.
"Bener kata Mbak Nina mas, sebaiknya kalian saling mengenal lagi aja, mungkin mbak Nina pengen pacaran dulu sama kamu?" sindir Rahma.
Keluarga Budi sangat tak mengerti maksud Nina, bukan menjalin kasih atau bagaimana, Nina hanya ingin mereka dekat seperti saat ini, tanpa desakan untuk segera menikah.
Setelah obrolan panjang membosankan bagi Nina dan Rima akhirnya mereka kembali ke rumah.
Jelas saja Nina merasa bosan sebab pembahasan keluarga Budi tak jauh dari uang dan usaha milik Nina. Mereka seolah mengatur apa yang harus Nina lakukan tentang usahanya.
Bahkan Rahma dengan tak tahu malunya ingin membantu Nina di tokonya, tapi tak di tanggapi oleh Nina.
Nina memutuskan segera istirahat kala Budi berkata ingin bertemu dengan Dibyo.
Setelah merasa Nina sudah masuk ke kamar, Budi lantas segera mencecar Dibyo.
"Pak, bapak harus pastikan Nina mau menikah denganku segera! Kalau enggak, sesuai kesepakatan, saya akan meminta uang ganti rugi dua kali lipat!" ancamnya lalu meninggalkan Dibyo yang mematung.
.
.
.
Tbc