Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Cahaya yang Mengelabui
Langkah Ardan terasa berat ketika ia memasuki dunia baru di balik gerbang. Cahaya terang menyelimuti sekelilingnya, hampir menyilaukan. Tidak seperti dunia-dunia sebelumnya yang penuh kegelapan dan keheningan yang menakutkan, tempat ini terasa damai.
Langit biru membentang tanpa cela, angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga, dan suara aliran air sungai terdengar menenangkan.
“Apakah ini... akhir perjalanan?” gumam Ardan dengan penuh harapan.
Di hadapannya terbentang sebuah desa kecil yang tampak hidup. Penduduknya tersenyum ramah, mengundangnya untuk bergabung. Rumah-rumah kayu berdiri berjajar, dihiasi bunga-bunga berwarna cerah.
Namun, Ardan tidak bisa menyingkirkan rasa curiga. Dunia ini terasa terlalu sempurna.
---
Sambutan yang Mencurigakan
Seorang pria tua mendekati Ardan, mengenakan jubah sederhana dan membawa tongkat kayu. Wajahnya penuh keriput, tetapi matanya memancarkan kebijaksanaan.
“Selamat datang, anak muda,” katanya dengan suara hangat. “Kau pasti lelah setelah perjalanan panjangmu.”
“Siapa Anda?” tanya Ardan, mencoba menahan rasa canggung.
“Aku hanyalah seorang penjaga di desa ini,” jawab pria itu. “Kami telah menunggumu.”
“M-menungguku?” Ardan mengernyitkan dahi. “Kenapa kalian tahu aku akan datang?”
Pria tua itu tersenyum, tetapi senyumnya terasa terlalu tenang, seolah menyembunyikan sesuatu. “Takdir selalu membawa orang ke tempat yang seharusnya. Sekarang, istirahatlah. Kau akan menemukan semua jawaban di sini.”
Ardan ragu, tetapi tubuhnya terlalu lelah untuk menolak. Ia mengikuti pria tua itu ke sebuah rumah kecil di pinggir desa. Di dalamnya, ada makanan hangat yang disajikan di meja kayu.
“Silakan makan,” kata pria itu.
Ardan mengamati makanan itu. Nasi, daging panggang, dan sayuran tampak menggoda. Perutnya lapar, tetapi nalurinya berkata untuk berhati-hati.
Dengan perlahan, ia mengambil sesuap kecil dan mencicipinya. Rasanya sempurna, lebih lezat dari apa pun yang pernah ia makan. Tetapi justru itu membuatnya semakin curiga.
---
Bayangan di Balik Cahaya
Saat malam tiba, Ardan berbaring di ranjang yang disediakan. Namun, ia tidak bisa tidur. Desa ini terlalu tenang, terlalu damai. Tidak ada suara binatang malam, tidak ada angin yang berbisik di jendela.
“Ini tidak mungkin nyata,” pikirnya.
Ia bangkit dari tempat tidur dan membuka jendela. Langit malam penuh bintang, tetapi sesuatu terasa salah. Ia memandangi desa itu dengan seksama dan melihat bayangan samar bergerak di antara rumah-rumah.
“Bayangan itu lagi…” gumamnya.
Ardan memutuskan untuk keluar, meskipun langkahnya terasa berat oleh rasa lelah. Ketika ia berjalan ke pusat desa, suara bisikan mulai terdengar di telinganya.
“Kenapa kau ada di sini, Ardan?”
Ia berbalik, tetapi tidak ada siapa-siapa.
“Kau tidak akan pernah keluar dari tempat ini...”
Bisikan itu semakin keras, seperti memakan pikirannya. Ketika Ardan menoleh lagi, ia melihat pria tua yang tadi membimbingnya berdiri di kejauhan. Wajahnya berubah—tidak lagi ramah, tetapi penuh kekosongan, seperti topeng tanpa emosi.
“Ini semua adalah ilusi,” kata pria tua itu, suaranya bergema aneh. “Kau hanya akan terjebak di sini jika kau tidak menghadapi dirimu sendiri.”
Ardan merasakan dunia di sekelilingnya mulai retak, seperti kaca yang pecah. Desa itu bergetar, rumah-rumah runtuh menjadi bayangan hitam. Langit biru berubah menjadi merah darah, dan tanah di bawahnya bergetar.
---
Dunia yang Terpecah
Ketika Ardan mencoba melarikan diri, ia menemukan dirinya kembali di gerbang yang sebelumnya ia buka. Namun, gerbang itu kini terkunci, dan kunci peraknya menghilang.
“Tidak... bagaimana ini bisa terjadi?” katanya panik.
Dari balik gerbang, suara tawa bergema. Kali ini, itu bukan suara pria tua, melainkan suara yang lebih dalam, lebih menyeramkan.
“Kau tidak bisa lari dari dirimu sendiri, Ardan,” suara itu berkata.
Ardan berbalik, melihat bayangannya sendiri berdiri di hadapannya. Namun, bayangan itu tidak seperti yang ia lihat di cermin. Sosok itu lebih besar, dengan mata merah menyala dan senyum jahat.
“Akulah dirimu yang sebenarnya,” kata bayangan itu. “Selama ini, kau hanya mencoba melarikan diri dari kebenaran. Tapi sekarang, aku di sini untuk mengambil alih.”
Bayangan itu menyerang, dan Ardan harus melawan dengan semua keberanian yang tersisa. Tetapi setiap kali ia menyerang, bayangan itu hanya menyerap pukulannya, tertawa dan semakin kuat.
“Tidak ada gunanya melawan,” kata bayangan itu. “Kau tidak bisa mengalahkanku, karena aku adalah kau.”
---
Pilihan yang Sulit
Ardan terjatuh, tubuhnya penuh luka. Bayangan itu mendekat, mengangkat tangannya untuk memberikan serangan terakhir.
Namun, Ardan tiba-tiba menyadari sesuatu.
“Aku tidak perlu melawanmu,” katanya, meskipun suaranya lemah.
Bayangan itu berhenti. “Apa maksudmu?”
“Aku menerima diriku... ketakutanku, penyesalanku, semuanya,” kata Ardan. “Kau bukan musuhku. Kau adalah bagian dariku.”
Dengan kata-kata itu, bayangan itu berhenti bergerak, lalu mulai memudar. Dunia di sekelilingnya kembali tenang, meskipun masih gelap.
Ardan merasakan kedamaian yang aneh mengalir melalui dirinya. Meskipun ia masih terjebak di dunia ini, ia tahu bahwa ia telah melangkah lebih dekat ke kebenaran.
“Perjalanan ini belum selesai,” katanya pada dirinya sendiri. “Tapi aku akan menemukan jalan keluar.”
Dengan langkah yang lebih mantap, Ardan melanjutkan perjalanan ke kegelapan, menuju apa pun yang menunggunya di depan.