**Prolog**
Di bawah langit yang kelabu, sebuah kerajaan berdiri megah dengan istana yang menjulang di tengahnya. Kilian, pangeran kedua yang lahir dengan kutukan di wajahnya, adalah sosok yang menjadi bisik-bisik di balik tirai-tirai istana. Wajahnya yang tertutup oleh topeng tidak hanya menyembunyikan luka fisik, tetapi juga perasaan yang terkunci di dalam hatinya—sebuah hati yang rapuh, terbungkus oleh dinginnya dinding kebencian dan kesepian.
Di sisi lain, ada Rosalin, seorang wanita yang tidak berasal dari dunia ini. Takdir membawanya ke kehidupan istana, menggantikan sosok Rosalin yang asli. Ia menikah dengan Kilian, seorang pria yang wajahnya mengingatkannya pada masa lalunya yang penuh luka dan pengkhianatan. Namun, di balik ketakutannya, Rosalin menemukan dirinya perlahan-lahan tertarik pada pangeran yang memikul beban dunia di pundaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 34
Malam kedua sejak Rosalin menghilang. Keheningan menyelimuti kastil, namun di dalam kamar Kilian, kegelisahan tidak pernah benar-benar pergi. Dua hari yang panjang telah berlalu sejak dia terakhir melihat Rosalin, dan setiap detik terasa seperti jarum yang menancap di hatinya. Kilian duduk di dekat jendela besar, menatap keluar ke arah gelapnya hutan yang hanya diterangi oleh kilau bulan.
Bayangan wajah Rosalin menghantuinya. Kilian mengingat senyum terakhir yang dilemparkan wanita itu kepadanya sebelum mereka berpisah.
"Aku akan kembali dengan selamat, percayalah."
Saat itu, Kilian ingin mempercayainya. Tapi kini, kata-kata itu lebih terdengar seperti kebohongan yang pahit.
Dia memejamkan mata, menarik napas panjang, namun bayangan buruk tentang apa yang mungkin menimpa Rosalin terus menghantui pikirannya. Apakah dia diserang binatang buas? Tersesat? Atau lebih buruk lagi—apakah dia masih hidup?
...***...
Dari luar, para pelayan yang melewati lorong depan kamar Kilian dapat mendengar suara langkah pria itu yang tak henti-hentinya mondar-mandir. Mereka saling bertukar pandang, khawatir, tapi tidak ada yang berani menghentikannya.
Sejak berita tentang hilangnya Rosalin menyebar, Kilian tidak lagi menjadi dirinya. Wajahnya yang biasanya dingin kini tampak lebih keras, matanya yang tajam dipenuhi bayangan gelap. Bahkan senyuman kecil yang kadang ia tunjukkan pada Emma kini telah lenyap.
Emma, yang setia berada di sisinya, memasuki ruangan dengan membawa nampan berisi roti dan semangkuk sup hangat. Dia menatap punggung Kilian yang tegap tapi terlihat rapuh di bawah cahaya redup lilin.
“Yang Mulia,” panggilnya pelan, tapi Kilian tidak menoleh.
Emma mendekat, menempatkan nampan itu di meja yang sudah penuh dengan peta, laporan pencarian, dan coretan tangan Kilian sendiri yang berisi rute-rute baru yang harus disisir. “Anda harus makan sesuatu, Yang Mulia. Jika Nona Rosalin tahu Anda tidak makan, dia pasti akan marah.”
Nama Rosalin membuat Kilian berhenti sejenak. Emma melihat punggungnya sedikit menegang, sebelum akhirnya pria itu menarik kursi dan duduk dengan berat hati. Dia mengambil potongan roti kecil, tapi tidak benar-benar memakannya.
“Dia pasti akan marah, bukan?” gumam Kilian, mencoba tersenyum kecil, namun senyuman itu tidak pernah sampai ke matanya.
Emma mengangguk. “Dia selalu peduli kepada Anda, Yang Mulia. Jangan biarkan rasa khawatir Anda membuat tubuh Anda melemah. Nona Rosalin membutuhkan Anda untuk tetap kuat.”
Kilian tidak menjawab. Dia memandang ke luar jendela, ke arah kegelapan hutan yang tampak seperti jurang tanpa dasar. “Jika dia membutuhkan aku, kenapa aku tidak bisa menemukannya?” suara Kilian pecah, penuh rasa bersalah.
Emma merasa hatinya sakit melihat pria yang selama ini begitu kuat, kini terlihat begitu rapuh. Dia ingin menghiburnya, tapi tahu tidak ada kata-kata yang benar-benar bisa menyembuhkan luka di hati Kilian saat ini.
...*** ...
Sementara itu, suasana di kastil semakin tegang. Para prajurit yang dikerahkan untuk mencari Rosalin kembali satu per satu, namun tidak membawa kabar baik. Beberapa pelayan mulai berbisik-bisik, membicarakan kemungkinan terburuk, meskipun mereka berhati-hati agar tidak terdengar oleh Kilian.
Di ruang utama, Pangeran William berdiri di depan perapian, wajahnya suram. Dia tidak pernah menyukai Rosalin—setidaknya, itulah yang selalu dia tunjukkan. Tapi kali ini, ada kekhawatiran yang tidak bisa ia sembunyikan.
“Elena, apakah kau mendengar sesuatu dari pelayan lain?” tanya William pelan.
Elena yang duduk di kursi di dekatnya mengangguk pelan. “Tidak, mereka masih mencari. Aku... aku hanya berharap Rosalin baik-baik saja.” Suaranya bergetar, menunjukkan kecemasan yang nyata.
Namun, dalam hatinya, Elena bergulat dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia cemas, tapi juga takut bahwa jika Rosalin ditemukan, perhatian Kilian akan kembali sepenuhnya padanya.
Kembali di kamar Kilian, pria itu masih duduk diam, menatap ke luar jendela. Dalam hatinya, hanya ada satu tekad:
*"Aku akan menemukanmu, Rosalin. Bagaimanapun caranya."*
...***...
Terimakasih karena telah menjadi pembaca setia cerita silhoute of love ❤️
Jangan lupa untuk like komen dan vote ❤️
One gift ❤️
semoga ceritanya sering update