Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.
Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.
Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.
Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua enam
Perhatian...
Kasih sayang...
Ketulusan...
Semua itu tak pernah ia dapati dari orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai keluarganya.
"Selama ini papa hanya sibuk dengan istri dan anak baru papa. Sedangkan kepadaku? Papa hanya menyumpaliku dengan uang, uang, dan uang tanpa pernah menanyakan bagaimana kabarku... apakah aku baik-baik saja... tidak pernah. Sama sekali tidak pernah!"
Kepalan tangan Abraham semakin menguat. Matanya memerah, nyaris buliran bening air mata akan segera menetes dari sana. Namun, sekuat tenaga Abraham menahan diri karena tidak ingin terlihat lemah di hadapan ayahnya.
"Aku menjadi orang yang seperti ini, tidak terjadi begitu saja dalam satu malam. Jadi, silakan tuai dan nikmati sendiri hasil didikan papa kepadaku selama ini," lanjut Abraham lagi.
Tono meremas dadanya sendiri yang terasa makin sesak mendengar ucapan putranya yang begitu durhaka terus-terusan memojokkannya seperti ini. "Kamu... Dasar anak tidak tahu terima kasih!" umpatnya sangat marah. "Segala pemberian papa kepadamu selama ini tidak pernah kamu lihat. Kamu benar-benar tidak tahu bersyukur, Abraham!"
Tono lantas menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan pikirannya sendiri yang saat ini penuh kemelut memikirkan putranya sendiri yang semakin hari semakin kurang ajar.
Sorot matanya menatap tajam ke arah Abraham. "Jika begini, sepertinya keputusanku untuk mengeluarkanmu dari daftar ahli waris keluarga Handoko adalah keputusan yang tepat."
Ramon yang mendengar ancaman sang ayah seketika membelalak, tak dapat menutupi rasa terkejut dalam dirinya. Dia tidak menyangka ayahnya bisa memberikan ancaman demikian kepada saudara tuanya tersebut.
Sementara itu, lain halnya dengan Sintia. Kala telinganya mendengar pernyataan sang suami yang penuh dengan ancaman, dia justru menyeringai kesenangan penuh rasa puas. Akhirnya... Perjuangannya selama ini mencari muka kepada suaminya dan merenggangkan hubungan pria itu dengan putra kandungnya sendiri ini benar-benar membuahkan hasil.
Semua perjuangan itu tidak sia-sia. Sintia tersenyum puas membayangkan seluruh harta kekayaan keluarga Handoko sepenuhnya akan menjadi milik putranya, Ramon. Tanpa harus repot-repot berbagi sedikit pun dengan Abraham.
"Lihat saja, Abraham," lanjut Tono sambil menunjuk ke arah putra kandungnya itu dengan jari telunjuknya, penuh peringatan. "Camkan... Kalau sampai kamu berani menikah tanpa restu dari keluarga ini, aku benar-benar akan mengeluarkanmu dari anggota keluarga Handoko. Jangan kira ini hanya ancaman belaka, lakukan saja jika kamu berani... Aku pastikan akan benar-benar menjadikan ancaman ini kenyataan."
Abraham mendengus pelan seraya menatap balik sorot mata tajam ayahnya tanpa rasa takut sedikit pun. "Lakukan saja apa pun yang papa inginkan, aku benar-benar tidak peduli. Lagi pula... Sejak kapan aku dianggap keluarga? Dari awal kalian memang menganggapku bukan bagian dari keluarga Handoko kan?"
Dan dengan itu, setelah melontarkan pertanyaan bernadasar khas tersebut Abraham tanpa basa-basi langsung menarik Firda bersamanya, pergi meninggalkan kediaman keluarga Handoko, membawa serta ketegangan yang masih menyelimuti udara.
Suasana di dalam mobil terasa mencekam. Hening. Hanya terdengar deru mesin dan suara hujan yang mengguyur kaca mobil. Firda duduk diam di kursi belakang, tubuhnya gemetar, dan kedua tangannya erat meremas ujung gaunnya. Napasnya tidak teratur, dadanya naik-turun, seolah-olah mencoba menahan air mata yang siap jatuh kapan saja.
Di sebelahnya, Abraham duduk bersandar dengan tenang, satu tangan menopang dagunya. Pandangannya lurus ke depan, dingin dan tanpa ekspresi. Ia seakan tidak peduli pada guncangan emosi yang jelas terpancar dari tubuh mungil Firda di sebelahnya.
“T-tuan...” Firda akhirnya membuka suara, tapi suaranya bergetar. Dia menunduk, tak berani menatap pria itu. “Apakah... apakah ini benar-benar keputusan yang tepat?”
Abraham menoleh perlahan ke arahnya, matanya tajam, membuat Firda langsung menundukkan kepala lebih dalam. “Apa maksudmu, Firda?”
“Aku... aku...” Firda menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. “Pernikahan ini... keluarga Tuan tidak menyetujui aku m-menjadi i-istri Tuan. B-Bagaimana jika....”
Abraham tidak langsung menjawab. Ia menatap Firda dalam-dalam, mencoba membaca pikirannya. Lalu, dengan suara rendah yang tegas, ia berkata, “Dengar baik-baik, Firda. Aku tidak membutuhkan restu mereka.”
Firda menatapnya dengan mata lebar. “Tapi... tapi mereka adalah keluarga Tuan. Bagaimana mungkin...”
“Karena aku tidak peduli,” potong Abraham dingin. “Restu mereka tidak pernah berarti apa-apa bagiku. Kalau mereka menolakmu, itu masalah mereka. Bukan masalahku. Dan bukan masalahmu.”
“T-tapi...” Firda terisak pelan karena rasa takut yang berhasil menguasai seluruh jiwanya. Ancaman Tuan Tono Handoko terdengar sangat mengerikan baginya. “Bagaimana kalau... kalau ayah Tuan b-benar-benar mengeluarkan tuan dari anggota keluarga Handoko? B-Bagaimana kalau mereka...”
“Firda.” Suara Abraham tiba-tiba meninggi, membuat Firda terdiam seketika. Matanya menunduk lagi, takut pada nada tegas itu. “Aku sudah bilang, aku tidak peduli. Pernikahan ini akan terjadi, suka atau tidak suka. Dan mereka tidak punya kuasa untuk mengubahnya.”
“T-tapi aku... aku tidak pantas untuk Tuan...” lirih Firda, hampir seperti bisikan. Penghinaan yang didapatkan dari orang tua pria itu membuat dirinya merasa semakin rendah diri. Karena nyatanya mereka memang benar, dirinya sama sekali tak pantas bersanding dengan pria hebat seperti Tuan Abraham.
“Firda.” Kali ini suara Abraham lebih rendah, tapi ada nada ancaman di dalamnya. Ia meraih dagu Firda dengan lembut tapi tegas, memaksanya menatap matanya... Membuat Firda tanpa sadar menahan nafasnya karena rasa gugup yang tak terkendali.
“Aku membayar satu miliar untuk membelimu. Kamu adalah milikku. Aku akan melakukan apa pun yang aku mau. Jika aku memutuskan untuk menikahimu, maka itu yang akan terjadi. Tidak ada yang bisa menghentikanku, termasuk kamu.” Ucapan Abraham sangat posesif dan mendominasi, menyadarkan Firda bahwa hidup gadis itu kini tidak lagi berada di tangannya sendiri. Sepenuhnya kendali ada pada pria berkuasa yang kini tengah duduk di sampingnya.
Firda tercekat. Napasnya tercekat di tenggorokan, dan air matanya mulai mengalir tanpa henti. Namun, di sisi Firda juga memikirkan nasib pria itu setelah ini.
Memiliki orang tua lengkap adalah hal yang begitu Firda impi-impikan sejak kecil. Firda sungguh tidak ingin pria di sampingnya kehilangan orang tuanya hanya demi menikahinya. Karena seharusnya... orang tua pria itu jauh lebih penting kan?
“Tuan... aku mohon... aku tidak ingin pernikahan ini membuat Tuan kehilangan keluarga Tuan...”
Abraham tertawa kecil, tapi tidak ada kehangatan di dalamnya. “Kehilangan keluarga?” Ia melepaskan dagu Firda dan bersandar kembali ke kursinya. “Firda, aku tidak pernah merasa memiliki keluarga. Mereka sudah lama kehilangan hak untuk disebut sebagai keluargaku.”
“T-tapi—”
“Cukup.” Abraham menoleh lagi padanya, kali ini dengan tatapan menusuk. “Aku tidak ingin mendengar alasanmu lagi. Aku sudah memutuskan. Kamu akan menjadi istriku, Firda. Ini bukan sesuatu yang bisa dinegosiasikan.”
Firda menggeleng lemah, air matanya mengalir makin deras.