Winarsih, seorang gadis asal Jambi yang memiliki impian untuk bekerja di ibukota agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya yang buruh tani dan adiknya yang down syndrome.
Bersama Utomo kekasihnya, Winarsih menginjak Jakarta yang pelik dengan segala kehidupan manusianya.
Kemudian satu peristiwa nahas membuat Winarsih harus mengandung calon bayi Dean, anak majikannya.
Apakah Winarsih menerima tawaran Utomo untuk mengambil tanggungjawab menikahinya?
Akankah Dean, anak majikannya yang narsis itu bertanggung jawab?
***
"Semua ini sudah menjadi jalanmu Win. Jaga Anakmu lebih baik dari Ibu menjaga Kamu. Setelah menjadi istri, ikuti apa kata Suamimu. Percayai Suamimu dengan sepenuh hati agar hatimu tenang. Rawat keluargamu dengan cinta. Karena cintamu itu yang bakal menguatkan keluargamu. Ibu percaya, Cintanya Winarsih akan bisa melelehkan gunung es sekalipun,"
Sepotong nasehat Bu Sumi sesaat sebelum Winarsih menikah.
update SETIAP HARI
IG @juskelapa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Create Memories
Dean merasakan kedua tangan Winarsih melingkar di pinggangnya ragu-ragu. Tangan wanita itu hanya menggenggam kedua sisi kemejanya.
Dean menyapukan bibirnya mulai dari bawah telinga hingga ke garis rahang yang membingkai wajah Winarsih sambil sesekali tangannya membelai dan menyibakkan helai rambut wanita itu.
Winarsih tak sepenuhnya bereaksi, hanya berdiri seperti pasrah dengan apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
Dean tak bisa mendesak wanita itu untuk banyak bercerita padanya. Meski Dean ingin sekali melontarkan pertanyaan kasar dan langsung seperti yang selama ini sering dilakukannya kepada orang-orang.
Karena siapa Winarsih seperti ini? Dia atau Utomo kekasih wanita itu? Masihkah Winarsih bertemu dengan kekasihnya itu?
Jika Winarsih begini karena dia, kenapa wanita itu hanya diam? Namun, jika Winarsih mengatakan itu karena perbuatannya, apa yang bisa dilakukannya?
Apa Winarsih diam menerima ciumannya karena takut? Karena wanita ini merasa dia adalah pegawai di sini?
Ribuan pertanyaan tanpa jawaban melintas di kepalanya.
Dean terus mendaratkan ciumannya yang ringan dan lembut. Dia bisa merasakan aroma segar sampo yang menguar dari rambut Winarsih.
Saat tiba di bibir wanita itu, Dean mengusap dagu dan menangkupkan tangannya di kedua pipi Winarsih.
Dan seketika ratusan pikiran Dean tadi hilang menguap seiring dengan bibirnya yang terus menyesap bibir Winarsih. Tangan kirinya sudah berada di pinggang Winarsih untuk terus menempeli dan tak memiliki jarak.
Jari tangan Dean bisa merasakan pinggul Winarsih di balik daster tipisnya. Dean sudah lupa dengan tujuan sebenarnya dia mendatangi Winarsih malam itu.
Benda empuk yang sekarang menekan lembut dadanya menimbulkan rasa penasaran yang teramat dalam. Bagai sebuah magnet, tangan kanannya kini pergi ke sana. Menyusuri perut dan naik hingga ke batas benda yang malam ini seperti dibebaskan tanpa penahannya.
Ciuman Dean menjadi sedikit bergetar saat tangannya meraba benda lembut di balik kain tipis itu. Saat ujung ibu jarinya menemukan puncak dan mengelusnya lembut, Dean merasakan bagian tubuhnya yang lain ikut meminta pertanggungjawaban.
Dean tersentak sadar dan melepaskan benda yang paling didambanya. Jika dia memperlakukan Winarsih seperti ini, dia semakin melecehkan wanita itu.
Dean melepaskan pelukannya dan menatap Winarsih dari ujung kaki hingga mata yang menatap redup kepadanya. Ia kemudian memegang kedua bahu wanita itu seperti seorang Ayah yang menasehati anaknya.
"Aku minta maaf sekali lagi. Bohong kalo aku nggak pengen. Karena aku memang baru ngerasain hal itu sama kamu. Aku nggak pernah tau rasanya sampai aku.... Jadi setiap ngeliat kamu, pikiran untuk mengulang itu selalu ada. Tapi, jika lain kali itu ada, aku pengen melakukannya dengan benar." Ucapan Dean terdengar sangat lembut.
Dia ingin membuat Winarsih kembali mempercayainya dan merasa aman setiap mereka berdekatan. Winarsih hanya diam memandangnya seperti terkesima dengan ucapan barusan.
"Setiap pulang dari kantor, kita makan sama-sama. Tunggu aku," ucap Dean melepaskan pegangannya pada tubuh Winarsih.
Malam itu dia meninggalkan kamar Winarsih hampir pukul dua dini hari.
*******
Saat Dean meninggalkan kamarnya malam itu, Winarsih menyadari satu hal baru yang mengherankannya. Berada di dekat Dean membuatnya merasa nyaman. Padahal sebulan lebih yang lalu, Dean bagai sebuah momok baginya.
Dan dua minggu berikutnya adalah hari-hari paling indah bagi Winarsih. Setiap malam dengan wajah lelah namun ceria, Dean selalu muncul di depan pintu kamarnya dengan tentengan yang berisi banyak makanan.
Winarsih menghabiskan makanan itu bersama Dean, sambil mendengarkan pria itu bercerita tentang pekerjaannya yang lama kelamaan dimengerti olehnya.
Dean juga menyebutkankan tentang Genk Duda Akut. Nama sebuah genk aneh beranggotakan Dean dan ketiga orang teman prianya.
Winarsih akhir-akhir ini jadi sering tertawa karena cerita-cerita lucu Dean. Namun tak jarang juga Dean menceritakan tentang kesepiannya selama menjalani masa remaja yang lebih banyak bercerita dengan Mbah ketimbang ibunya.
Sesekali Dean menanyakan tentang kehidupannya di Desa, bagaimana mereka mencari nafkah, dan apa saja yang dilakukannya jika berada di rumah.
Pertanyaan-pertanyaan Dean yang sebenarnya mengintimidasi namun dilontarkan sangat lembut oleh pria itu, turut membuka satu persatu cerita tentang keluarga Winarsih.
Mungkin kemampuan Dean yang satu ini berkaitan dengan profesinya yang merupakan seorang pengacara.
Termasuk saat Dean banyak bertanya tentang adiknya yang menderita down syndrome. Apa saja kemampuan Yanto dan bagaimana remaja laki-laki itu melewati hari-harinya. Dean mendengarkan dengan sangat antusias sambil sesekali mengusap punggung tangannya. Begitulah cara Dean untuk membuatnya nyaman bercerita.
Meski begitu, tak sekalipun Dean menyinggung tentang nama Utomo. Mungkin Dean tak mau mengingat kejadian di mana dia beberapa kali membentak mantan kekasihnya itu.
Malam sebelumnya, Winarsih merasa sangat lapar meskipun dia baru saja makan malam. Dia sudah menerima dan pasrah dengan apa yang terjadi dengan tubuhnya.
Dia hanya ingin, sesuatu yang sedang berkembang di perutnya itu tetap sehat dan tak kekurangan. Uang gaji yang disimpannya mulai tergerus sedikit demi sedikit karena akhir-akhir ini dia jadi sering jajan di luar.
Jam 8 malam dia izin kepada Mbah untuk pergi ke simpang melihat beberapa gerobak pedagang kaki lima yang biasa mangkal di sana.
Saat sudah hampir sampai di simpang, mobil Dean tiba-tiba menjajarinya dari tepi jalan. Dean yang hari itu tiba dari kantor lebih cepat, melihatnya berjalan kaki di sepanjang trotoar.
Beberapa saat kemudian, dia sudah berada di mobil pria itu karena mereka akan pergi makan ke suatu tempat tak jauh dari sana.
Ketika turun dan melihat tempat yang mereka datangi, Winarsih terkesima melihat tempat yang memiliki nama asing, Pot Que No.
Bar yang bernuansa rumahan dengan lokasi yang cukup tersembunyi itu terasa sangat tenang. Dekorasi dinding dan lantainya yang gelap serta furniturnya yang warna-warni terlihat sangat kontras dan cantik.
Winarsih yang hanya mengenakan pakaian sederhananya seperti biasa, hanya berdiri termangu-mangu menatap sekeliling bar sebelum Dean menuntunnya ke sebuah meja dengan kursi yang saling berhadapan.
"Aku akan ngajarin kamu, gimana cara makan yang bener," ucap Dean kala itu dengan tersenyum.
Winarsih menatap pria itu dengan rasa kagum yang tak ada habis-habisnya. Dean yang tampan dan terlihat sangat elegan dan berkelas di matanya, tak malu menggandeng tangannya yang hanya mengenakan pakaian berwarna nyaris pudar dan sepasang sandal murahan.
Malam itu, Dean mengajarkan padanya bagaimana menggunakan berbagai jenis sendok, garpu dan pisau untuk tiap hidangan yang berbeda.
Setiap selesai berbincang dengan pria itu, Winarsih merasa dirinya semakin pintar.
*******
Dean berusaha menepati janjinya kepada Winarsih dan sejenak melupakan soal Disty yang terus menerus menerornya.
Pikiran akan bertemu dengan wanita itu setiap malam membuat hari-hari yang terasa melelahkan di kantor maupun di luar menjadi tak begitu terasa.
Dia menjadi punya kebiasaan baru melihat-lihat nama restoran dan menu yang dianggapnya harus Winarsih cicipi. Dean sangat bahagia dengan rutinitas barunya itu.
Perlahan-lahan dia mulai memahami Winarsih yang terkesan tak banyak bicara itu. Winarsih lebih senang menjadi pendengar dan mencerna semua yang dikatakannya sebaik mungkin.
Pada dasarnya Winarsih adalah seorang wanita pintar dengan segala tindak tanduk yang terukur. Wanita itu mudah memahami apa yang diucapkannya. Dan jika tak mengerti, wanita itu tak sungkan untuk bertanya padanya.
Dean juga merasa bersemangat mengajari Winarsih hal-hal baru karena wanita itu selalu menanggapinya dengan mata yang berbinar-binar.
Sebagai seorang laki-laki dia merasa menjadi begitu dihargai dan tersanjung karena seorang wanita cantik dengan tulus menunggunya berbagi cerita dan ilmu dalam satu waktu.
Bersama Winarsih, membuat Dean merasa dibutuhkan.
Dean bahkan mengajari Winarsih mempergunakan ponselnya. Berjam-jam menjelaskan soal guna internet kepadanya, juga soal cara mengirim pesan singkat.
Karena hal itu juga Dean lantas merubah nama Disty di ponsel menjadi nama seorang pria. Dean tak mau saat ponsel itu sedang berada di hadapan Winarsih, sebuah nama dengan emoticon hati berkali-kali muncul di layarnya.
Jika ditanya soal keinginan Dean setiap malam saat mengantar pembantunya itu ke kamar, tentu saja hasratnya tak pernah surut.
Tapi dia berjanji tak akan membuat Winarsih menjadi seperti wanita yang direndahkan. Meski kadang Dean tak bisa menahan dirinya untuk mencium dan menyentuh tubuh Winarsih yang dinilainya semakin berisi.
Sudah sebulan lebih mereka seperti berkencan dengan beragam wisata kuliner. Dean mengabaikan soal kedatangan Utomo beberapa kali untuk menemui Winarsih. Dia tak mau membahasnya dengan wanita itu karena merasa tak memiliki hak apapun. Lagipula, Winarsih juga tidak pernah membicarakan hal itu.
Biarlah itu menjadi sesuatu yang disimpan Winarsih, hingga wanita itu merasa perlu untuk memberitahu kepadanya suatu hari nanti. Suatu hari nanti yang Dean tak tahu apakah akan pernah datang.
Malam itu Winarsih telah duduk di bangku panjang tukang gerobak sate Madura yang mangkal di simpang jalan rumahnya.
"Wangi banget," ucap Dean saat baru tiba setelah memarkirkan mobilnya di bahu jalan.
Winarsih hanya tersenyum menyambut kedatangannya. Dan senyum itu membuat rasa lelahnya hilang seketika.
"Udah pesen?" tanya Dean.
"Belum, saya masih nunggu Bapak dateng," jawab Winarsih.
"Oke, kamu pesennya gimana?" tanya Dean.
"Maksudnya Pak?" Winarsih menaikkan alisnya "Saya pesen sate kayak biasa."
"Maksudnya ga ada pesanan khusus gitu? Lontongnya? Kecapnya? Bawang goreng banyak atau gimana?" tanya Dean lagi.
"Sate komplit lengkap seperti biasa, saya suka semuanya Pak." Winarsih nyengir.
Dean yang melihat Winarsih tersenyum dengan pipinya yang berisi menjadi tertawa.
Terbiasa mendengar Disty memesan sate dengan rentetan kata-kata, lontong yang dipotong serong, kecap manis dan bawang goreng melimpah serta sate yang harus matang tapi jangan sampai gosong, membuat Dean menarik nafas lega saat mendengar pesanan Winarsih barusan.
Dia merasa setengah masalah hidupnya akan mudah terselesaikan jika dia hidup bersama wanita di sebelahnya ini. Ternyata papanya lagi-lagi benar.
Saat mereka makan, Dean ingin sekali wanita itu sesekali bersandar padanya seperti pasangan-pasangan lain yang dilihatnya.
Winarsih masih sangat muda. Harusnya dia bisa lebih manja kepada Dean jika mengingat usianya itu.
Dean melirik seorang wanita yang duduk di seberang mereka bersama pacarnya. Wanita itu beberapa kali terlihat mencium mesra lengan kekasihnya. Norak memang. Tapi Dean ingin sesuatu yang norak seperti itu sesekali.
Tak sampai jam 10 malam, Mereka telah tiba di sayap kiri rumah dan Dean sudah memarkirkan mobilnya.
Sesaat sebelum Winarsih pamit turun dengan sebungkus sate yang dipaksa Dean untuk dibawanya tadi, Dean sempat menahan wanita itu untuk tak langsung turun.
Dean sempat mengajak Winarsih bergosip soal hubungan Pak Lutfi dan Tina untuk mengulur waktu agar bisa bersama wanita itu lebih lama.
Akhirnya, Dean yang merasa telah menjadi pria licik dan rendah, berhasil kembali mencium pembantunya itu.
Dia membuat Winarsih tak berkutik bersandar di jok mobil dengan kedua tangannya yang hanya terkulai pasrah di kanan-kirinya. Dean mencium wanita itu bertubi-tubi. Bahkan tangannya tak sengaja meremas lembut dada Winarsih berkali-kali.
Dean sekarang merasa dirinya sudah hampir seperti Utomo yang pernah dipergokinya di depan pintu kamar. Memalukan tapi juga tak bisa dihindarinya.
Dengan senyum mengembang dia masuk melalui pintu dapur utama untuk menuju tangga besar melingkar dan menuju kamarnya.
"Dari mana kamu?" teriak Bu Amalia yang berjalan dari ruang keluarga.
"Dari kantor, kenapa Ma? Kok marah-marah gitu?"
"Dari kantor apaan? Wanita itu barusan nelepon mama nanyain kamu. Katanya dia tadi ke kantor kamu tapi kamu udah pulang. Dia nelfon berkali-kali tapi kamu abaikan. Maumu sebenarnya apa Dean? Mama terganggu dengan wanita itu," berang Bu Amalia.
"Dean sibuk Ma...."
"Sibuk apa? Sibuk menghindar? Kamu sadar nggak sih? Kamu itu cuma mengulur-ulur waktu. Mau sampai kapan?"
"Dean masih nyari sesuatu Ma, Mama tunggu aja entar. Dean pasti bawa sesuatu untuk buktiin Dean gak salah. Disty punya suatu tujuan yang Dean belum bisa tau. Mama yang sabar," ucap Dean membujuk Bu Amalia.
"Sabar sampai kapan? Sampai papamu tau soal wanita itu yang ngancam mama bakal nyebar video mesum kalian?" teriak Bu Amalia.
"Video apa Ma? Video mesum siapa maksud Mama? Video Dean? Sama perempuan itu? Siapa yang mengancam Mama? Pacarnya Dean?" Tiba-tiba suara Pak Hartono yang baru tiba masih dengan pakaian batik lengkap dan memegang sebuah ponsel terdengar di antara mereka.
Bu Amalia dan Dean memucat. Tak menyangka jika pria tua yang paling mereka segani itu akan muncul lebih awal dari biasanya.
"Siapa yang mau menjelaskan ke papa? Mama? Dean? Ada apa ini?" Pak Hartono memandang mereka bergantian.
"Bukan Pa, bukan gitu. Dean jelasin pelan-pelan. Papa duduk dulu." Dean menghampiri Pak Hartono.
"Sudah papa ingatkan ke kamu berkali-kali soal wanita itu! Kamu nggak pernah gubris omongan papa! Kamu yang egois dan selalu ngerasa bisa sendirian ngadepin masalah kamu, nyatanya malah membuat masalah semakin besar!!" teriak Pak Hartono.
Dean memegang bahu papanya, tapi pria tua itu menampik tangannya dan memegang kepala.
"Aduh--aduh," rintih Pak Hartono memegang kepalanya. Wajahnya memerah.
Bu Amalia tergopoh-gopoh menghampiri suaminya.
"Pa! Pa! Irmaaaan!!! Fikaaaa!!! Irmaaaannn" teriak Bu Amalia memanggil ajudan dan asisten pribadi Pak Hartono.
Dean mencoba mengangkat tubuh Pak Hartono yang sudah roboh di dalam dekapannya.
To Be Continued.....
Terimakasih untuk like, comment, atau vote yang kalian berikan. Itu membuatku semakin bersemangat.
kok malu ya😂😂
apa ada di lapak lain?
Ada Dr Firza juga /Rose//Wilt//Rose//Wilt//Kiss//Kiss//Kiss/
Pinter bener tuh Pakde klo ngeles..Ampe Bude winar manut aj
untuk bisa tau besarnya Arus sungai..
#catat dech