Menjalani rumah tangga bahagia adalah mimpi semua pasangan suami istri. Lantas, bagaimana jika ibu mertua dan ipar ikut campur mengatur semuanya? Mampukah Camila dan Arman menghadapi semua tekanan? Atau justru memilih pergi dan membiarkan semua orang mengecam mereka anak dan menantu durhaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tie tik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Paket ... paket!
"Mas, tadi tuh ada kejadian aneh,"
Arman menoleh ke samping tanpa mengubah posisi tangan yang sedang menempelkan wallpaper dinding. "Aneh bagaimana?" tanya Arman sebelum pandangannya beralih menatap dinding kamar.
"Mbak Sinta tiba-tiba minta maaf ke aku. Terus aku dipeluk. Ini sesuatu yang aneh 'kan?" Camila menghampiri Arman untuk memberikan wallpaper roll yang lain.
"Tidak. Memang mau sampai kapan gak saling tegur sapa? Mungkin Mbak Sinta gak tahan bersikap dingin sama kamu. Setelah ini imbangi saja kalau mbak Sinta bersikap baik," tutur Arman tanpa menoleh ke tempat Camila. Dia fokus memasang wallpaper dinding yang akan dipakai background saat Camila live nanti.
"Eh, Mas, memangnya kita gak pamit ke ibu sama bapak ya kalau aku jualan online?" tanya Camila setelah sekelebat wajah mertuanya terlintas dalam pikiran.
"Kalau memang udah jalan dan ada hasil aja kita pamit ke Ibu. Lah sekarang kan belum jelas, nanti malah tambah kacau lagi," jawab Arman tanpa berpikir panjang.
Malam itu, mereka berdua sibuk menyiapkan alat penunjang untuk melakukan siaran langsung di toko oyen. Meski tempatnya hanya beberapa meter di sudut kamar, tetapi mereka mendesain semenarik mungkin. Keduanya sibuk mempersiapkan semua itu hingga larut malam.
"Istirahat dulu, Yuk. Besok kita lanjut lagi," ajak Arman setelah selesai memasang wallpaper dinding. Dia merebahkan tubuh di atas tempat tidur diikuti Camila.
"Besok kan hari minggu, jalan yuk, Mas!" ajak Camila dengan diiringi senyum manis.
"Oke lah. Ada cafe baru di Pacet. Kita kesana aja," jawab Arman. Pacet adalah kawasan wisata yang ada di salah satu pegunungan Mojokerto.
Berbicara dari hati ke hati menjadi rutinitas rutin setiap malam. Camila menceritakan segala hal yang dia alami. Tentang bagaimana perasaannya dan rencana untuk ke depan. Ya, meski tidak semua mendapat tanggapan positif dari Arman, minimal pria tampan itu menjadi pendengar yang baik untuk Camila.
"Mas, menurutmu ada perubahan gak dari aku?" tanya Camila. "Secara aku kan konsumsi pil KB dari dokter. Aku takut gendut," keluh Camila sambil memiringkan tubuhnya.
"Enggak tuh. Tetap seperti dulu," jawab Arman sambil menarik tubuh Camila ke dalam dekapannya.
"Kita harus nunggu enam bulan lagi ya untuk program hamil. Semoga kita cepat dikasih rezeki lagi ya, Mas," gumam Camila seraya menatap Arman penuh arti.
"Amin. Eh, Sayang, aku ada saran nih." Arman menatap Camila. "Apapun yang terjadi di masa depan, sebaiknya sekarang kita usaha dulu aja. Ya, kan manusia harus ikhtiar. Jadi, ada baiknya kalau kita sekarang bikin adonannya dulu. Oke gak saranku?" Arman mengembangkan senyum jenaka.
"Ya elah, aku pikir apaan, Mas! Eh gak taunya itu lagi itu lagi." Camila mencubit kedua pipi Arman karena gemas.
Ya, pada akhirnya bahasa cinta keduanya terungkap di atas ranjang king size itu. Suara lenguhan manja tak dapat ditahan lagi. Tubuh bergetar hebat saat kenikmatan sorga dunia datang menghampiri. Malam panjang kembali terulang. Camila tak berdaya di bawah kuasa Arman hingga membuatnya hilang kendali akan hasrat yang semakin menggebu.
***
"Assalamualaikum ... Paket ... Paket."
Aminah mendengus kesal mendengar suara kurir yang terus memanggil di depan rumah. Pasalnya hari ini sudah ada empat kurir yang datang mengantar barang. Tidak biasanya ada kurir datang sesering kali ini.
"Paket atas nama bu Camila," ucap kurir setelah Aminah keluar dari pintu ruang tamu.
"Tolong dibawa ke dalam, Nak. Saya gak kuat," pinta Aminah sambil mempersilahkan kurir tersebut masuk ke dalam ruang tamu.
Setelah kepergian kurir tersebut, Aminah berkacak pinggang di ruang tamu. Dia mengamati beberapa barang yang ada di sofa. Ada enam paket barang yang tertata rapi di sana.
"Mila ini belanja apa aja ya? Pemborosan!" gerutu Aminah tanpa mengalihkan pandangan dari tumpukan barang itu.
"Ada apa, Bu?" tanya Sinta yang baru saja masuk ke dalam rumah.
"Mila kemana?" tanya Aminah seraya menatap Sinta.
"Mila keluar sama Arman, Bu. Mungkin ke kota. Ini kan hari minggu, Bu. Mereka sepertinya jalan-jalan," jelas Sinta sambil menurunkan putranya. "Memangnya ada apa, Bu?" tanya Sinta.
"Ini loh tadi banyak tukang paket datang. Semua paket ini punya Mila," jawab Aminah sebelum meninggalkan ruang tamu. Wanita lanjut usia itu berjalan menuju dapur karena belum selesai membuat pisang goreng untuk suaminya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ya, momen yang ditunggu Sinta akhirnya tiba. Wanita berbadan dua itu mengembangkan senyum penuh kemenangan karena pada akhirnya menemukan kesempatan yang tepat untuk mengadu kepada Aminah tentang pekerjaan yang dijalani Camila saat ini.
"Zafi main hape di kamar saja ya. Mama mau nemenin mbah uti masak," ucap Sinta sambil menggiring putranya masuk ke dalam kamar.
Setelah memastikan putranya aman di dalam kamar, Sinta segera ke dapur. Dia membantu Aminah di sana sambil basa-basi membahas beberapa hal yang ada di sekitar mereka. Bahkan pembahasan itu mulai merambat ke masa lalu.
"Kalau dalam keluarga ibu, tidak ada namanya seorang istri bekerja. Kecuali, kalau mau jadi guru. Itu masih diperbolehkan. Lihatlah, Nduk. Ibu, bude Sinah dan bulek Siti mana ada yang bekerja. Ya, memang karena kami dididik menjadi istri yang hanya melayani suami di rumah. Maka dari itu, Yudi dan Arman kami didik keras agar menjadi pria yang mapan. Ya, supaya mereka bisa menanggung biaya hidup tanpa harus istrinya kerja."
Sinta mengangguk kepala setelah mendengar cerita panjang dari Aminah. Lagi dan lagi kesempatan untuk mengadu sangatlah besar. Sinta masih merancang kalimat yang tepat untuk menjatuhkan adik iparnya itu. "Memangnya kenapa, Bu, para istri di keluarga kita tidak boleh memiliki penghasilan sendiri? Bukannya membanggakan ya, Bu, punya menantu yang berpenghasilan?" tanya Sinta.
"Kamu ini bagaimana toh, Nduk? Ya jelas ibu malu lah kalau menantu wanita ibu harus kerja banting tulang. Lagi pula, untuk apa bekerja, toh semua kebutuhan juga tercukupi. Kakeknya Yudi itu orang terpandang. Sawahnya banyak dan termasuk kaya raya hingga ibu dan saudara-saudara ibu bisa menikmati hartanya sampai sekarang. Kalau sampai kamu atau Mila bekerja di luar sana, ya gak boleh lah. Maka dari itu, setelah menikah, Mila ibu suruh keluar dari bank. Arman kan udah jadi PNS, pendapatan dari hasil tanam cabai juga ada. Jadi, Ibu rasa kalian pasti tercukupi. Yudi juga gajinya setara PNS 'kan?" jelas Aminah seraya menatap Sinta penuh arti.
"Iya, Bu, Alhamdulillah gaji Mas Yudi cukup. Kami juga punya tabungan meski gak banyak." Sinta tersenyum tipis, "tapi Bu, kenapa Mila sekarang justru jualan kosmetik? Itu paket yang di ruang tamu sepertinya dagangan Mila. Memang boleh, Ya, Bu kalau jualan? Kalau boleh, saya juga mau jualan deh, Bu." Pada akhirnya Sinta mengucapkan hal ini kepada Aminah.
Aminah terkejut mendengar pertanyaan Sinta. Ekspresi wajah wanita lanjut usia itu mendadak berubah masam. Apalagi, setelah Sinta menunjukkan toko oyen yang dikelola Camila dan beberapa postingan di sosial media yang berhasil ditemukan Sinta. Aminah menggeleng tak percaya karena Camila berani membantah larangannya.
"Bu, tapi jangan bilang Mila dan Arman ya, kalau Saya yang ngasih tahu Ibu. Nanti mereka marah, Bu. Jujur Saya tuh takut dengan mereka." Sinta menatap sendu Aminah untuk meyakinkan mertuanya itu.
...🌹TBC🌹...
...Amit-amit jangan sampai punya ipar kayak Sinta...
Arman mana tau,,berangkat pagi pulang sore
terimakasih
Anak sekarang benar2 bikin tepok jidat
Lagi musim orang sakit..
Fokus sama usahanya biar makin lancar..
Goprutnya ntar sampai hafal sama Mila 😀😀
Camila harus lebih tegas lagi
Yg g boleh itu jadi pengadu domba
Fokus saja sama keluarga dan usaha biar sukses