DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM25
"Bukan mengusir, tapi, sebaiknya kamu pulang dulu biar tidak memanas keadaannya."
"Baik, Mbak, aku akan pergi. Lagi pula, siapa juga yang mau lama-lama di rumah sialan ini?" Dengan menghentak-hentakkan kakinya, bulek Darmi keluar dari rumah kami.
Kulihat ibu masuk ke dalam kamarnya, sementara bapak masih duduk di sofa ruang tamu.
"Permisi, Pak. Saya mau membereskan gelasnya," kata Bu Asih ke Bapak.
"Silahkan, Bu."
"Kakeeek ...!" Bian memanggil kakeknya sambil berjalan tertatih-tatih. Bapak tersenyum melihatnya.
"Sini cucu Kakek." Bapak memegang tangan Bian yang sudah bergelayut di pahanya.
"Main benenang yok, Kek! Benenang ...!" Bian dengan bahasa planetnya.
Bapak melihat ke Bu Karto.
"Maksud Bian, berenang, Pak." Ucap Bu Karto seolah mengerti kebingungan Bapak.
"Oooo. Bian mau berenang ya, Nak?"
"Mau!" Bian menganggukkan kepalanya. "Mau benenang cama Kakek!"
"Ya, udah, ayo!" Bapak mentoel pipi anak ku.
Bian bertepuk tangan.
"Minta tolong digantikan bajunya ya, Bu ...," pintaku ke Bu Karto.
Wanita paruh baya itu mengangguk dan segera membawa Bian ke kamarnya, untuk berganti baju renang.
"Bapak berenang sekalian aja sama Bian, Pak. Kan kata Dokter, selain jalan, berenang juga baik buat jantung Bapak. Mumpung menjelang sore begini, tidak terlalu panas."
"Iya, kayaknya enak ini main air sama Bian. Mendinginkan pikiran juga hahahaha."
Tak berselang lama, Bapak dan Bian berenang bersama. Aku lekas menyiapkan minuman dan cemilan di samping kolam. Senang rasanya melihat anakku tertawa riang, bermain dengan kakeknya.
***
6 bulan telah berlalu sejak bulek Darmi merusuh di rumah. Bapak dan ibu sudah kembali tinggal di rumahnya 4 bulan yang lalu.
Bang Dono sudah bekerja di pabrik bersama Mas Rama. Untuk pekerjaannya sebagai kurir di tempatku, digantikan oleh adik iparnya.
Saat ini cafe ku baru berjalan, belum ada 1 bulan buka.
SUMRINGAH, nama yang ku pilih untuk cafe ku. Aku berharap cafe ini membawa kebahagiaan untuk para pengunjung, karyawan, dan masyarakat sekitarnya.
Kami membeli tanah yang cukup luas ini dari kenalan Mas Rama di travel dulu. Dia menjualnya karena butuh uang untuk pengobatan anaknya. Aku saat itu sedang memikirkan usaha baru yang masih berkaitan dengan usaha kue ku dan terlintas ide membuka cafe.
Cafe nuansa alam dengan target pelanggan untuk anak muda. Bukanya jam 3 sore, tutup jam 10 malam. Karena untuk anak muda, jadi kupilih menu-menu ringan yang disukai anak muda, misalnya kentang goreng, burger, spaghetti.
Karena nuansanya yang instagramable dan harganya ramah di kantong, dan mungkin juga karena lahan parkir yang luas, cafeku selalu ramai.
Untuk pengunjung yang berulang tahun, bisa mendapatkan 1 chiffon cake mini dengan rasa dan topping yang mereka inginkan, selama persediaan masih ada. Ini salah satu strategi marketingku. Aku juga ingin melestarikan jajanan tradisional, jadi, ya tentu saja kue-kue basah ku juga dijual di sini.
Dan ... tak lupa juga minuman tradisional seperti es dawet, es doger, bandrek, bahkan kunyit asam juga ada di dalam menu.
Alif, karyawanku bagian produksi ku angkat sebagai penanggung jawab cafe. Dia yang mengajukan diri saat tahu aku akan membuka cafe. Sesuai dengan sekolahnya sebenarnya. Alif dibantu Agus, Ida, dan Nina, teman-teman saat di SMK dulu. Jadi untuk urusan kerja tim, aku tidak perlu repot lagi.
Sore ini, aku datang untuk mengkontrol cafe.
"Bagaimana perkembangan cafe, Lif? Apa ada kendala?"
"Cafe lancar, Mbak, aman. Kendala sih tidak ada, Mbak. Tapi, saya ada saran jika Mbak berkenan."
"Katakan saja, Lif. Tidak usah ragu-ragu begitu."
"Kalau Mbak tidak keberatan, boleh nambah menu berat gitu, Mbak? Misalnya nasi goreng, mie goreng dan sejenisnya gitu? Banyak yang nanyain, Mbak."
"Mbak tidak keberatan. Tapi siapa yang masak nanti? Apa perlu tambahan personil?"
"Yang masak bisa aku, Mbak. Untuk tambahan personil sepertinya tidak perlu. Tapi ... hmm... kalau misalnya omset naik, bolehlah kiranya kami naik gaji, Mbak! Hahahahaha."
Aku menggeplak lengan Alif dan ikut tertawa.
"Kamu ini, Lif. Tenang aja, kalau omset naik kalian pasti kecipratan. Ya udah, sekarang kasih Mbak itung-itungannya untuk menu baru itu. Dan, apa aja yang harus disiapkan. Kalau bisa kita realisasikan secepatnya."
"Baik, Mbak. Aku kasih hitung-hitungannya dan apa aja yang harus disiapkan dalam 2 hari ini ya, Mbak. Makasih lho, Mbak, sudah sudi mendengarkan inspirasi kami."
"Mbak yang harus terima kasih ke kamu, Lif. Kalau kamu tidak kasih masukan atau ide baru, bagaimana cafe ini bisa bertahan. Di luar sana, banyak cafe-cafe baru atau tempat makan yang menawarkan berbagai macam. Kita memang harus berinovasi terus."
"Iya, Mbak, aku ngerti. Terus terang aku berhutang budi sama Mbak Alana. Cuma Mbak yang mau nerima aku kerja tanpa ijazah karena gak bisa bayar ke sekolah. Yang lain minta aku nunjukin ijazah dulu. Udah gitu, dengan gaji yang Mbak kasih, aku bisa nyekolahin adik-adikku."
Alif juga teman Yanti. Dia ini anak yatim piatu, 3 bersaudara. Adiknya bernama Anita dan Arka. Ibunya meninggal dalam kecelakaan saat akan berangkat dagang sayur ke pasar. Saat itu Alif baru menyelesaikan ujian SMK nya, sehingga tinggal cari kerja saja. Aku mendengar kisahnya mirip denganku, dan kulihat anaknya gigih. Jadi, tanpa ragu kuterima dia di dapur produksi.
"Kalau kamu kerja begini, adik-adikmu sama siapa?"
"Sama Anita, Mbak. Anita kan sudah SMP, jadi bisa bantu jagain Arka dan bebersih rumah. Makanan sudah ku siapkan sebelum berangkat tadi. Kalau dulu saat masih kerja di dapur, sore aku pulang masak buat makan malam sampai besok siang, Mbak. Makanya kalau masak nasi goreng atau mie goreng aja, aku sudah biasa, hehehehe."
"Ya udah kalau begitu. Doakan aja cafe ini lancar jaya ya, Lif. Biar banyak yang terbantu juga."
"Pasti, Mbak."
"Oh iya, Lif, jangan lupa bagi-bagi makanan gratisnya ya. Sama yang untuk panti asuhan di belakang."
"Iya, Mbak. Tenang aja, sudah disiapkan."
Bagi-bagi roti dan kue masih rutin ku lakukan tiap minggu. Sekarang dengan adanya cafe ini, aku juga mau bagi-bagi makanan berat. Meski tidak banyak porsinya, kuharap dengan begini, kami tetap menunduk dan menjadi saluran berkat buat mereka yang membutuhkan.
...
Sabtu sore aku, Mas Rama dan Bian pergi ke cafe. Sesekali healing tipis-tipis bersama keluarga.
"Selamat datang Mbak, Mas, Dedek Bian."
"Sore begini sudah ramai ya, Nin."
"Iya, Mbak, apalagi malam minggu begini. -- Mau pesan apa nih, Mbak?"
Mas Rama membaca menu cetakan baru yang disodorkan Nina. Sudah ada nasi goreng dan teman-temannya di situ.
"Saya mau nyoba nasi goreng spesialnya ya. Minumnya es teh tawar aja." Mas Rama memesan duluan.
"Saya mau bihun goreng dan jus jeruk, Nin." pesanku. "Bian mau makan apa, Nak?"
"Ini, Nda." Bian menunjuk gambar kentang goreng.
"Minumnya?"
"Mik ini!" Kali ini dia menunjuk es doger. Ok lah, untuk kali ini akan ku kabulkan.
"Kentang gorengnya 1 ya, Nin. Sama es doger. Eh, tambah air mineral 1 ya, itu aja dulu, Nin."
"Nina ulang ya Mbak pesanannya. Nasi goreng spesial 1, bihun goreng 1, kentang goreng 1, es teh tawar 1, jus jeruk 1, es doger 1, air mineral 1."
Aku mengangguk. "Iya itu dulu aja."
"Okay, Mbak. Ditunggu ya."
Sambil menunggu pesanan, ku amati kondisi sekitar. Sejauh ini masih tertangani menurutku.
Dalam waktu singkat minuman kami diantar. "Ini minumannya ya, Mbak, Mas. Untuk makanannya ditunggu 10 menit."
Ku bantu Bian menikmati es dogernya.
"Dikit dulu ya, Nak. Makanannya kan belum." Bian manggut-manggut lucu sambil menikmati es nya.
Masakan Alif ini memang enak. Mas Rama yang baru mencoba, juga mengakuinya.
"Enak ini masakan Alif, Yank. Nasi goreng rumahan tapi bumbunya pas. Mantap lah."
Tak butuh waktu lama buat Mas Rama menghabiskan nasi gorengnya. Bahkan dia ikut memakan bihun gorengku. Cicip katanya.
"Waktu test food pertama sebelum dimasukkan ke menu, sudah jadi rebutan anak-anak berempat itu, Mas. Makanya pas bagi-bagi makanan gratis minggu lalu pake menu nasi goreng spesial ini."
"Emang enak banget kok ini."
Tiba-tiba obrolan kami terhenti karena dering ponsel Mas Rama.
"Halo, Pak?"
*
*
Bersambung......
Bagus banget /Kiss/
Apalagi part di mana Alana hamil, ya ampun, saya sampai meneteskan air mata. /Good/