Ashana Keyra Zerrin dan Kafka Acacio Narendra adalah teman masa kecil, namun Ashana tiba-tiba tidak menepati janjinya untuk datang ke ulang tahun Kafka. Sejak saat itu Kafka memutuskan untuk melupakan Asha.
Kemana sebenarnya Asha? Bagaimana jika mereka bertemu kembali?
Asha, bukankah sudah kukatakan jangan kesini lagi. Kamu selalu bertindak sesuka hati tanpa memikirkan orang lain. Aku butuh privasi, tidak selamanya apa yang kamu mau harus dituruti.” Ucapakan Kafka membuat Asha bingung, pasalnya tujuannya kali ini ke Stanford benar-benar bukan sengaja menemui Kafka.
“Tapi kak, Asha ke sini bukan sengaja mau menemui kak Kafka. Asha ada urusan penting mau ke …” belum selesai Asha bicara namun Kafka sudah lebih dulu memotong.
“Asha, aku butuh waktu untuk menerima semua ini. Walaupun untuk saat ini sebenarnya tidak ada kamu dalam rencanaku, semua terjadi begitu cepat tanpa aku bisa berkata tidak.” Asha semakin tidak mengerti dengan yang diucapkan Kafka.
“Maksud kak Kafka apa? Sha tidak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20. Indonesia
Asha sudah berada diapartemennya sejak pukul 9 pagi waktu setempat, dia sengaja tidak mengabari Amoora ataupun Argan agar mereka tidak perlu menjemput di bandara. Asha tahu mereka berdua pasti juga sedang belajar untuk ujian step 1 nanti siang. Asha sudah mengganti bajunya dengan baju rumah, dia juga sudah mandi. Masih ada beberapa jam sebelum ujian, dia gunakan waktu yang tersisa untuk istirahat sebentar.
Asha menyalakan alarm dua jam sebelum waktu ujian, agar dia tidak tergesa-gesa nanti. Dia juga sempat membuat kebab yang akan dia bawa ke kampus untuk bekal, Asha akan menjalani ujian step 1 selama kurang lebih 8 jam dengan tiap sesi selama 60 menit. Dia, Amoora maupun Argan harus mnejawab kurang lebih sebanyak 280 soal tentang berbagai macam topik medis.
Asha tidak terlalu memperdulikan beberapa chat yang masuk ke ponselnya, termasuk chat dari Kafka yang memang sengaja dia abaikan. Asha tidak ingin merusak moodnya, dia di sini untuk menyelesaikan pendidikan jadi sebisa mungkin dia akan menghindari hal-hal yang dapat memicu konsentrasinya buyar.
"Ayah, bunda, hari ini Asha akan melalui tahap pertama ujian pendidikan dokter. Doakan Asha bisa melaluinya dengan baik," Asha mengirim pesan chat ke grup keluarganya.
"Bismillah sayang, semoga kakak mendapat hasil terbaik," balasan chat dari sang ayah di aamiinkan oleh semua yang ada dalam grup keluarga termasuk Rion dan Cia.
"Kakak Semangat," Cia mengirimkan emot bentuk hati
"Kakak jangan lupa pulang," Rion mengirimkan emot mata berkaca-kaca karena sedang merindukan kakaknya.
"Jangan lupa berdoa sebelum mulai ujian ya kak," Maira mengirimkan emot tangan berdoa dan peluk.
"Siap," Asha kemudian mulai tidur agar saat ujian dirinya lebih segar.
Sementara Kafka tidak bisa memejamkan matanya sampai pagi karena menunggu balasan chat dari Asha, berbeda dengan Asha yang mulai memejamkan matanya untuk istirahat. Kalau Asha saat ini tidur sekitar jam 9 pagi, maka Kafka di Stanford masih jam 6 pagi karena beda waktu sekitar 3 jam. Namun karena Kafka mengira Asha pulang ke Singapur dengan perjalanan udara kurang lebih 17-18 jam tanpa transit jadi sebenarnya wajar kalau Asha belum membalas chatnya, karena mungkin masih di pesawat.
"Semalam gak tidur Kaf?" Revan melihat Kafka yang menguap di sela-sela materi kuliah.
"Lebih tepatnya belum tidur Van," Kafka menyamankan posisi duduknya karena merasa pegal.
"Ngapain aja kalian berdua sampai tidak tidur? Benar-benar peningkatan," Revan mengira Asha masih ada diapartemen Kafka.
"Berdua apanya Van? Aku datang dia sudah tidak ada diapartemen, sudah pulang. Chatku juga belum di balasnya," Revan mengernyitkan dahi mendengar penuturan sahabatnya, tak lama kemudian dia menertawakan Kafka.
"Rasain, tahu rasakan sekarang? Sok nyuekin Asha, sekarang anaknya sendiri yang inisiatif ngilang deh. Bingungkan kan sekarang?" Kafka mengusak rambutnya kasar, sementara Revan benar-benar puas melihat sahabatnya itu mulai gelisah.
Beberapa bulan berlalu sejak Asha datang ke Stanford, chat yang di kirim Kafka padanya pun benar-benar lupa dia balas. Dari sejak itu juga Asha menjadi lebih fokus pada kuliahnya, dia juga sudah harus memulai coass nya sebagai dokter umum bersama Argan dan Amoora. Sementara Kafka sudah lulus pendidikan dokternya dan saat ini sedang memulai residen sebagai dokter bedah umum karena dia akan melanjutkan spesialis bedah jantung di Stanford.
Kesempatan jeda libur Asha gunakan untuk pulang ke Indonesia, dia rindu sekali dengan keluarganya. Asha jarang sekali pulang karena aktivitasnya yang padat sebagai mahasiswa kedokteran juga sebagai coass. Sebentar lagi Asha lulus pendidikan dokternya, dia pulang selain rindu pada keluarganya juga karena ingin meminta pertimbangan langsung dari ayah dan bundanya untuk melanjutkan spesialis.
"Assalamu'alaikum, taraaa ... kejutan" Rion tersedak es krim karena kaget mendengar suara kakak sulungnya.
"Wa'alaikumussalam. Sayang kok pulang gak bilang, kan bisa di jemput pak Maman." Maira bangkit dari duduknya menghampiri Asha.
"Kalau bilang namanya bukan kejutan dong bun" ucap Asha
"Untung gue gak lagi makan kayu, bisa lewat gue keselek karena kaget," Rion memang selalu punya cara untuk membuat semua orang tertawa.
"Keselek doang gak ngaruh buat kamu" rion mencebik karena jawaban Cia.
"Sudah-sudah, biar kakak istirahat dulu. Bunda kabari ayah dulu kalau kakak pulang," Asha menuju kamarnya untuk mandi dan ingin segera istirat.
Selesai mandi Asha tidak langsung tidur, dia menuju balkon kamarnya. Melepaskan semua rasa rindunya, menghidup bebas udara Indonesia yang lama dia tinggalkan. Selama hampir tujuh tahun Asha berada di Harvard, bisa di hitung berapa kali dia pulang. Bukan karena tak sanggup untuk pulang, tapi karena dia memang harus fokus dengan pendidikan dokternya yang menguras waktu juga energi dan pikirannya. Keluarganya sangat memaklumi hal tersebut, bahkan kadang Malvin sesekali mengunjunginya saat ada perjalanan dinas keluar negeri.
Malam itu mereka berkumpul makan malam bersama, suasana meja makan tentu lebih riuh dari biasanya. Rion dengan jahilnya selalu menggoda kakak sulungnya, selalu saja ada tingkah jahilnya pada Asha. Dari minta di suapi, minta di kupaskan buah, minta diambilkan minum dan tingkah apapun yang dia lakukan tidak pernah membuat Asha marah. Selesai makan mereka berkumpul di ruang keluarga, seperti biasa bi Ana sudah menyiapkan makanan ringan.
"Cia sebentar lagi lulus? ade mau ambil jurusan apa?" Asha benar-benar sudah menjadi perempuan yang lebih dewasa dan Cia saat ini sudah memasuki usia remaja yang sebentar lagi akan menyusul kakaknya masuk dunia perkuliahan. Sementara Rion tumbuh tinggi dengan baik, sekarang dia sudah SMP.
"Aku mau ambil sekolah bisnis kak, tapi di BINUS saja. Nanti baru setelah itu aku pikirkan lagi mau lanjut atau tidak" Cia memang lebih tertarik dengan dunia bisnis dari pada kakaknya.
"Asha sayang, kak Kafka juga pulang lho hari ini. Tante Tiara baru saja telepon bunda," Asha hanya tersenyum datar mendengar perkataan bundanya.
"Ayah, bunda. Sepertinya Asha mau lanjut spesialis bedah jantung," Malvin dan Maira sudah menduganya, sebelumnya mereka memang sudah membicarakan kemungkinan Asha akan langsung lanjut spesialis.
"Kakak sudah tahu mau ambil spesialis dimana?" Malvin membuka pembicaraan dengan serius.
"Ada dua pilihan yah, antara Stanford atau tetap di Harvard. Tergantung nanti beasiswa sama programnya lebih menguntungkan yang mana," sudut bibir Malvin melengkung membentuk senyuman mendengar jawaban putri sulungnya.
"Kalaupun tanpa beasiswa tidak apa-apa sayang, ayah masih bisa membiayai sekolah kakak dan semua adik-adik" ucap Malvin pada Asha dan juga ke dua anaknya yang lain.
"Asha gak mau ketemu kak Kafka?" Maira kembali membuka pembicaraan, menurutnya agak aneh kalau Asha tidak terlalu antusias ketika mendengar nama Kafka di sebut.
"Emm ... enggak bun, Asha cuma punya 4 hari jadi mau quality time sama kalian. Asha kangen pengen peluk ayah yang lama banget," Malvin dan Maira saling bertukar pandangan, tiba-tiba saja sifat manja putrinya keluar.
"Ya sudah, sini peluk ayah." Asha menggeser tubuhnya mendekat dan langsung memeluk ayahnya, entahlah dia merasa ingin memeluk ayahnya lama dan erat. Seolah akan ditinggalkan ayahnya lama untuk pergi jauh. Di susul Cia dan Rion yang ikut mendekat, entah kenapa dua bocah itu juga merasa ingin ikut memeluk Malvin lama dan erat.
"Baiklah, bunda selalu dapat hikmahnya kalau sudah seperti ini" Malvin terkekeh mendengar jawaban istrinya.
"Bunda kan tiap malam udah di peluk ayah," ucap Rion yang disambut senyum merekah dari sang bunda karena merasa terharu melihat ketiga anaknya sudah tumbuh besar.
"Ayah cuti ya! kita jalan-jalan ya besok? Ya ... ya ...ya, yah?" Cia mencoba merayu ayahnya, sudah lama mereka berlima tidak pergi jalan-jalan bersama. Tentunya karena Asha yang berada jauh dari mereka.
"Ok, ayah bilang dulu ke om Tama," Tama adalah salah satu asisten kepercayaan Malvin.