NovelToon NovelToon
Masihkah Ada Cinta?

Masihkah Ada Cinta?

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Cinta Murni / Romansa / Penyesalan Suami / Trauma masa lalu
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Fahyana Dea

Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.

Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.

Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Masa Lalu Nino (3)

Nino menunggu di ruang tamu setelah Clarissa diantar ke kamar oleh ibunya. Nino khawatir ketika kembali memikirkan keadaan Clarissa yang tiba-tiba saja seperti itu. 

Diane keluar dari kamar Clarissa dan menghampiri Nino yang duduk dengan tidak tenang di ruang tamu. 

“Tante gak tahu apa yang terjadi pada Clarissa akhir-akhir ini.” Diane seolah tahu apa yang dipikirkan oleh Nino. “Dia sering murung, jarang sekali bicara. Kalau ditanya pun kadang lebih banyak diam. Sudah seminggu ini dia gak masuk kantor.” 

Nino terkejut. “Apa ada sesuatu yang terjadi di kantornya? Apa mungkin dia di-bully?” 

Diane menggeleng. “Enggak mungkin. Teman-temannya gak mungkin ada yang mem-bully Clarissa. Tante yakin itu.”

Nino membuang napas berat. Ia baru menyadari jika selama sebulan terakhir ini, sikap Clarissa juga berubah padanya. Apa yang terjadi pada kekasihnya?

“Awalnya, Tante kira dia cuma kelelahan karena bekerja, tapi … Tante mulai khawatir karena melihatnya tiba-tiba histeris seperti tadi.” Diane menambahkan. 

“Sudah satu bulan ini kami jarang berkomunikasi, Tante. Pesan yang aku kirim jarang dibalas.” 

Wajah wanita paruh baya itu semakin tampak khawatir. “Nanti Tante akan coba bicara sama Amira.”

Clarissa termenung dalam kesendirian. Pikirannya kosong, hanya ada keheningan yang memekakan telinga. Namun, dalam keadaan seperti ini, pikirannya akan menuju ke kenangan buruk yang berulang kali terjadi. Ini titik tergelap dalam hidupnya. 

Clarissa melirik bingkai foto yang tersimpan di nakas. Di foto itu menampilkan senyum cerahnya yang senantiasa menghiasi hari-hari sebelum kenangan buruk itu datang. Nino juga tersenyum tak kalah cerahnya dalam foto itu. Sebentar lagi mereka menikah, tetapi Nino tidak tahu dengan kondisi Clarissa sekarang. 

Air matanya menetes, Clarissa tidak tahu bagaimana memberitahukan hal ini pada semua keluarganya dan pada Nino. Ia merasa sudah mengkhianatinya, walaupun hal itu terjadi bukan karena keinginannya. Ia kembali teringat pada hari mengerikan itu. 

Sepulang bekerja Clarissa diseret paksa menaiki mobil orang itu dengan cara membekap mulutnya dari belakang agar tidak berteriak. Clarissa sempat berontak, tetapi dia mengancam akan membunuhnya. Ancaman itu membuat Clarissa hanya bisa diam dengan wajah ketakutan. Dan hal itu terulang kembali saat ia pulang dari Anyer beberapa minggu yang lalu, itu semakin memperburuk keadaan mentalnya. Karena hal itu, ia jadi sering panik jika ada yang mengejutkannya, ia sampai dijauhi teman-teman di kantor dan sering dimarahi karena pekerjaannya tidak benar. Karena itu, Clarissa memilih untuk tidak bekerja sejak satu minggu lalu. Konsentrasinya semakin menurun, ia hanya mampu mengingat kejadian mengerikan itu.

Clarissa meringkuk dengan posisi janin di tempat tidurnya. Ia selalu berharap mimpi buruk itu akan hilang secepatnya ketika ia terbangun esok hari. 

***

Tidak ada perubahan yang terjadi pada Clarissa setelah terakhir kali Nino menemuinya. Sekarang, wanita itu malah semakin menutup diri, tidak pernah bicara, dan hanya duduk di kamar seharian dengan tatapan kosong. Semakin hari, dia kehilangan semangatnya. Dia bahkan kehilangan nafsu makan sehingga tubuhnya semakin mengurus, sekitar matanya mulai menghitam dan cekungan di bawah mata mulai terlihat. Clarissa memilih tetap terjaga agar tidak dihampiri oleh mimpi itu lagi. 

Semua keluarganya tentu khawatir. Amira yang sedang bertugas di Surabaya pun, meminta cuti untuk mengetahui keadaan adik kesayangannya itu. 

Amira terperangah melihat perubahan drastis pada adiknya. Ketika masuk ke kamar, ia mendapati Clarissa tengah berbaring dengan posisi membelakanginya. Ia bergerak pelan menghampiri wanita itu. 

“Clarissa, ini Mbak,” ujar Amira dengan sekuat tenaga menjaga intonasi suaranya agar tidak gemetar. 

Clarissa tidak peduli. Ia tetap diam dan tidak menghiraukan sekitarnya. 

“Clarissa, Mbak beli beberapa bunga waktu dalam perjalanan ke sini. Kamu kan suka merangkai bunga. Gimana kalau kita merangkai bunga sekarang?” 

Untuk beberapa saat, Clarissa masih diam, tetapi Amira sedikit bersabar untuk menunggu. Adiknya sangat menyukai kegiatan tersebut, ia bahkan punya cita-cita memiliki toko bunga sendiri. Setelah beberapa menit menunggu, Clarissa beralih menatap Amira dan mulai bangkit dari posisi berbaringnya. Ketika Amira duduk di sampingnya dan hendak merangkul, Clarissa beringsut dengan wajah ketakutan. “Jangan sentuh!”

Amira berusaha untuk tersenyum. “Sebentar ya, Mbak bawa bunganya ke sini.” 

Amira hampir saja membuat kesalahan. Terlalu terburu-buru untuk mencoba mendekatinya, karena ia terbiasa memeluk adiknya jika dia merasa tidak baik-baik saja. Namun, sekarang ia membutuhkan banyak waktu. 

Waktu berputar terasa lambat, Amira memerhatikan setiap gerakan tangan Clarissa yang piawai menancapkan tangkai-tangkai bunga itu di flora foam. 

“Mbak sengaja beli bunga palsu biar gak layu. Nanti rangkaian bunga ini bisa kamu simpan di ruang tamu atau di lemari buku kamu juga bagus. Di sisi sebelah kanan lemari masih ada space kosong.” 

Clarissa melirik mengikuti arah pandang Amira. Kemudian, melanjutkan lagi kegiatannya. 

“Sa, kamu boleh cerita apa pun ke Mbak. Mbak siap mendengarkan kamu.” 

Clarissa diam. 

Amira melipat tangan di meja. “Clarissa, kamu ingat kan kalau selain jadi ibu rumah tangga, kamu juga mau punya toko bunga sendiri? Yang Mbak dengar, Nino udah siapin ini buat kamu. Kamu pasti seneng, kan?” 

Ah, ya, Clarissa sebentar lagi akan menikah dengan Nino. Orang yang sangat dicintainya sejak bertahun-tahun yang lalu. Dalam waktu kurang dari sebulan, mereka akan menjadi sepasang suami istri. Sesaat, pikiran itu menyenangkan hatinya. Namun, bagaimana reaksi Nino ketika mengetahui dirinya sudah dinodai oleh orang lain? Seketika, Clarissa merasa jijik pada tubuhnya sendiri karena pikirannya kembali ke hari mengerikan itu. Ia tidak pantas bersanding dengan Nino. Ia tidak pantas dicintai oleh siapa pun. 

Tubuh Clarissa gemetar karena memikirkan itu. Ia meremas rumput plastik yang cukup tajam dalam genggamannya dengan sekuat tenaga. Ia tidak memedulikan rasa perih yang mulai menjalar dan darah merembes dari sela-sela jarinya. 

“Aku gak mau menikah! Aku gak mau menikah!” pekik Clarissa. Air matanya mulai berderai. 

Amira segera beralih memeluk tubuh wanita itu. Amira tidak bisa menahan kesedihan karena kondisi adiknya sekarang, ia semakin yakin dengan dugaannya. Clarissa mengalami trauma karena tindakan tidak pantas pada dirinya. Namun, ia tidak tahu siapa yang sudah melakukannya. 

“Gak apa, kita bisa bicarakan ini nanti, oke. Sekarang, kamu tenang dulu, ya.” Dan ketika itu, Amira menyadari tangan adiknya terluka karena menggenggam bunga plastiknya sekuat tenaga. Ia semakin khawatir pada keadaan Clarissa. 

***

“Laki-laki bajingan mana yang sudah melakukan itu pada Clarissa, Mbak?” geram Nino saat ia berkunjung ke rumah Clarissa pada malam harinya setelah ia pulang bekerja. Emosinya memuncak ketika mendengar dugaan Amira tentang kondisi adiknya. 

“Mbak belum bisa sepenuhnya menyimpulkan hal ini, Nino. Karena Clarissa belum bisa diajak bicara.” Amira terdiam sejenak. “Nino, apa sebaiknya pernikahan kalian ditunda?” 

Nino terkesiap mendengar hal itu. “Mbak, bagaimana bisa—-”

“Kamu gak mungkin menikahi Clarissa dalam keadaan seperti ini. Kamu mau membuat dia semakin tertekan?” Amira segera memotong ucapan Nino. 

Tangan Nino mengepal erat. Kenapa semuanya menjadi berantakan seperti ini? Ia harus segera mencari pria berengsek yang sudah membuat Clarissa seperti ini. Ia akan menghajarnya sampai mati jika perlu. 

“Kamu jangan bertindak gegabah, Nino.” Amira memperingatkan, seakan tahu apa yang ada dalam pikiran pria itu. 

“Aku gak bisa diam aja, Mbak. Aku gak bisa membiarkan laki-laki bajingan itu terus berkeliaran setelah membuat Clarissa menderita seperti ini.” 

Clarissa mendengar semua percakapan itu di luar sana. Ruangan tempat mengobrol Amira dan Nino bersebelahan dengan kamarnya. Terkadang, ia masih bisa mengendalikan pikirannya. Namun, itu hanya sesaat dan setelahnya kembali diisi dengan keheningan yang memekakan telinga. 

Rasa kantuk mulai menyerangnya, tetapi ia berusaha untuk tidak terpejam karena kenangan buruk itu, pasti akan hadir dalam mimpinya. Ia lebih baik tidur tanpa mimpi. Namun, untuk kali ini Clarissa tidak bisa menahannya. Matanya perlahan terpejam dan terbuai dalam nikmatnya keheningan malam. 

Hanya saja, baru merasakan beberapa menit tertidur, ia kembali terjatuh ke dalam kubangan yang sama seperti sebelumnya. 

Clarissa kembali melihat sosok gelap menghampirinya. Dia menampakkan seringai penuh kepuasan saat berhasil merobek blouse-nya. Clarissa hanya bisa meronta, tak kuasa melawan kekuatan yang lebih besar dari dirinya. 

Ia dengan jelas masih bisa merasakan kedua pergelangan tangannya diikat kuat pada dipan. Dengkusan napas di telinganya terdengar mengerikan, dan kata-kata cinta yang keluar dari mulut bajingan itu sangat menjijikan bagi Clarissa. 

Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mulai bercucuran, tangannya meremas seprai sekuat tenaga bersamaan dengan intensnya kenangan buruk yang hadir dalam mimpi Clarissa. Ia akhirnya menjerit, dan bangkit dari posisi berbaringnya untuk mencoba berlari dari sosok yang terus berusaha mengejarnya. Kakinya berusaha menapak di lantai, tetapi ia merasa tenaganya lenyap begitu saja, hingga akhirnya terjatuh.

Nino yang masih berada di sana panik dan segera berlari ke kamar wanita itu. Ia melupakan batasan yang selama ini ia pegang. Nino tidak bisa diam saja melihat orang yang dicintainya tak berdaya. Ia segera merengkuh tubuh yang terasa semakin ringan itu.

Clarissa megap-megap, berusaha mencari oksigen masuk ke dalam paru-parunya. Namun, sesak semakin menjadi seiring dengan suara desisan dalam napasnya.

Nino semakin panik. Ia ingat jika Clarissa mempunyai riwayat penyakit asma. “Mbak, asmanya kambuh. Sebaiknya kita bawa Clarissa ke rumah sakit sekarang.” 

Amira setuju, begitu juga Diane dan juga Rayhan, kakak kedua Clarissa. Mereka bergegas menuju rumah sakit. 

Nino melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia berpacu dengan waktu, jika tidak segera ditangani, ia takut terjadi hal buruk pada Clarissa. 

Begitu sampai di IGD, Clarissa segera diberi penanganan. Semua orang di sana tampak tidak tenang ketika menunggu pemeriksaan dokter. Setelah beberapa menit kemudian, seorang dokter wanita datang menghampiri mereka. 

“Saya harus bicara dengan wali pasien bernama  Clarissa,” ujarnya. “Ada sesuatu yang harus saya sampaikan.” 

“Saya ibunya, Dok.” Diane menghampiri wanita berjas putih itu. 

“Mari, ikut saya, Bu.” 

Diane dan dokter itu berjalan menuju ruangannya. Sedangkan ketiga orang lainnya menunggu, Nino memandang ke ruangan rawat Clarissa. Masih ada seorang perawat di dalam sana yang mengecek keadaan wanita itu. Lalu, tak lama kemudian, perawat itu keluar. 

“Suster, apa saya boleh masuk?” tanya Nino segera ketika perawat itu keluar. 

“Tentu, tapi jangan terlalu lama karena pasien harus istirahat.” 

Nino mengangguk. “Baik, Suster.” 

Sebelum masuk, Nino meminta persetujuan kedua kakaknya yang duduk di kursi tunggu. Amira mengangguk menyetujui, sedangkan Rayhan, ia sedang memejamkan mata seraya menengadah. Wajahnya tampak sangat frustrasi karena melihat keadaan adik semata wayangnya. 

Nino melangkah, mendekati brankar tempat Clarissa terbaring. Matanya berkaca-kaca saat melihat wajah pucat wanita itu. Dia kehilangan cahaya hidupnya, Nino tidak lagi bisa melihat senyum cerah wanita itu. Ia beralih menatap tangan yang lebih kecil daripada terakhir kali ia perhatikan. Jika dipikir-pikir, Clarissa sudah mulai mengurus sejak beberapa bulan lalu, karena ia menyadari Clarissa kehilangan nafsu makannya, jika ditanya Clarissa akan berdalih sedang diet. Ternyata, jauh sebelum ini, dia sudah memendam semua masalahnya sendiri. Apa bajingan itu melarangnya untuk bicara? 

1
Haraa Boo
bantu suport-nya juga kak, di novelku "Istri Sewaan Tuan Muda" 🥰🙏
Umrida Dongoran
Mantap kk, Sukses somoga ya thor
Star Kesha
Aku yakin ceritamu bisa membuat banyak pembaca terhibur, semangat terus author!
Fahyana Dea: Terima Kasih~~ /Heart//Heart/
total 1 replies
kuia 😍😍
Terinspirasi banget sama karaktermu, thor! 👍
dziyyo
Mengguncang perasaan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!