Aiden Valen, seorang CEO tampan yang ternyata vampir abadi, telah berabad-abad mencari darah suci untuk memperkuat kekuatannya. Saat terjebak kemacetan, dia mencium aroma yang telah lama ia buru "darah suci," yang merupakan milik seorang gadis muda bernama Elara Grey.
Tanpa ragu, Aiden mengejar Elara dan menawarkan pekerjaan di perusahaannya setelah melihatnya gagal dalam wawancara. Namun, semakin dekat mereka, Aiden dihadapkan pada pilihan sulit antara mengorbankan Elara demi keabadian dan melindungi dunia atau memilih melindungi gadis yang telah merebut hatinya dari dunia kelam yang mengincarnya.
Kini, takdir mereka terikat dalam sebuah cinta yang berbahaya...
Seperti apa akhir dari cerita nya? Stay tuned because the 'Bloodlines of Fate' story is far form over...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Detia Fazrin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Waspada!
...»»————> Perhatian<————««...
...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apapun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....
...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...
...🌸 命运血统 🌸...
Malam itu, sinar rembulan yang pucat menyinari taman keluarga Elara. Dia berdiri di sana, memandangi langit sambil menghela napas panjang. Keheningan malam dipecahkan oleh dedaunan yang berdesir lembut diterpa angin. Namun, langkah kecil Elara terhenti ketika dia berbalik dan mendapati Nate, ayah tirinya, sudah duduk dengan santai di kursi taman.
"Nate?" Elara terkejut.
Nate tersenyum kecil. "Inilah kehebatan vampir. Kami bisa berada di mana saja dengan sangat cepat."
Elara hanya mengangguk, sudah terbiasa dengan sifat mengejutkan ayah tirinya. Namun, ada sesuatu dalam ekspresi Nate malam itu, ada sesuatu yang mengisyaratkan keseriusan.
"Aku akan pergi besok, Ra," kata Nate akhirnya, memecah keheningan.
Elara mengerutkan kening. "Pergi ke mana?"
"Ke kota Darkhaven. Aku harus melatih kekuatanku untuk persiapan perang," jawab Nate.
Elara merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Kenapa sekarang? Bukankah kau baru saja sembuh? Apakah benar-benar perlu?"
"Ra," Nate menatapnya dengan lembut tapi tegas.
"Waktu bagi manusia mungkin terasa lama, tapi bagiku, semuanya bisa berlalu dalam sekejap. Perang akan datang, dan aku harus siap. Kamu juga harus siap."
Elara menelan ludah. Kalimat Nate terdengar seperti peringatan.
"Apa yang bisa kulakukan?" tanyanya pelan.
Nate mendekatinya, tangannya terulur ke kalung yang menggantung di leher Elara. "Lindungi kalung ini dengan nyawamu. Ini bukan hanya simbol, Ra aku rasa kamu sudah tahu... Ini pelindungmu dari vampir gelap. Mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya."
Kata-kata Nate mengingatkan Elara pada pesan serupa yang pernah ia dengar dari Aiden dan Nenek Mika. Dia mengangguk pelan.
"Kau harus tetap waspada. Musuh kita banyak, dan mereka tidak pernah tidur. Dimana pun!"
Sebelum percakapan itu berlanjut, suara lembut Nenek Mika memanggil mereka dari dalam rumah. "Makan malam sudah siap!"
"Iya ibu... kami kesana" jawab Nate.
Di ruang makan, suasana terasa hangat meskipun percakapan serius tak sepenuhnya hilang. Nate mengumumkan rencananya kepada semua orang.
"Aku akan pergi besok ke Darkhaven," katanya dengan tenang. "Aku harus mengasah kekuatanku."
Aiden, yang duduk di ujung meja, langsung menatap Nate dengan pandangan khawatir. "Baru saja kau sembuh, Nate. Apa ini perlu terburu-buru? Darkhaven bukan tempat yang aman."
"Itu benar," timpal Nenek Mika sambil mengaduk teh hangatnya. "Aku ingat saat aku dan Lucius pergi ke sana dulu. Kota itu penuh ancaman. Bahkan hampir saja kami tidak kembali dengan selamat."
Namun, Nenek Mika mengakhiri cerita itu dengan tawa kecil yang mengundang senyum dari semua orang.
"Aiden," Nate memandang Aiden. "Aku butuh Kevin untuk ikut denganku. Dia adalah tangan kananmu dan seseorang yang bisa ku percaya."
Aiden mengangguk setuju meskipun raut wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran.
...🌸 命运血统 🌸...
Keesokan harinya, Nate dan Kevin bersiap meninggalkan rumah. Elara berdiri di depan pintu, merasa berat untuk melepaskan mereka pergi.
"Berjanjilah kau akan kembali dengan selamat," kata Elara lirih.
Nate menepuk bahunya dengan lembut. "Aku selalu menepati janjiku, El."
Setelah mereka pergi, Elara dan Aiden pergi ke kantor bersama. Namun, suasana tidak sepenuhnya normal.
Di kantor, Aiden harus menghadapi Queensera, mitra kerja yang sering kali memanfaatkan ketiadaan Kevin untuk mendekatinya. Queensera memanfaatkan setiap momen untuk berdiri di dekat Aiden, menyentuh lengannya dengan santai, atau memberikan senyuman genit.
"Aiden," Queensera berkata sambil menyodorkan dokumen. "Aku membutuhkan bimbinganmu untuk menyelesaikan proyek ini."
Aiden menahan napas, merasa terganggu tapi tidak bisa mengelak. "Baik, mari kita bahas sekarang."
Namun, situasi menjadi lebih rumit ketika Ethan, seorang CEO muda yang bekerja sama dengan perusahaan mereka, mulai mendekati Elara.
"Ethan," kata Elara ketika Ethan menghampirinya di ruang kerja.
Ethan tersenyum, matanya berbinar. "Elara, aku butuh bantuanmu untuk menyelesaikan laporan ini. Tapi aku juga berpikir, mungkin kita bisa membicarakannya sambil makan malam nanti?"
Elara merasa pipinya memerah. Dia belum pernah diajak makan malam oleh seorang CEO sebelumnya.
Sementara itu, Aiden memperhatikan dari kejauhan. Tangannya mengepal di atas meja. Rasa cemburu mengalir dalam dirinya meskipun dia mencoba mengendalikannya.
Di tengah-tengah kekacauan kantor, pikiran Aiden terus kembali pada Elara. Dia ingat bagaimana Nate memperingatkan mereka tentang bahaya yang mengintai, dan kini dia merasa bertanggung jawab untuk melindungi Elara lebih dari sebelumnya.
Namun, Elara tampaknya tidak menyadari perasaan Aiden.
Saat malam tiba, Elara pulang dengan lelah, tapi pikirannya penuh dengan kejadian di kantor. Ia teringat bagaimana Ethan menatapnya, lalu bagaimana Aiden terlihat diam tapi jelas-jelas terganggu.
Ketika dia sedang bersantai di ruang tamu, Aiden tiba-tiba masuk dan duduk di sebelahnya.
"El," kata Aiden.
Elara menoleh. "Ada apa, Aiden?"
"Berhati-hatilah dengan Ethan," kata Aiden dengan nada serius.
Elara mengerutkan kening. "Kenapa? Ethan baik dan sopan."
"Tidak semua orang yang terlihat baik itu benar-benar baik," jawab Aiden kemudian di melanjutkan kembali. "Kita harus lebih waspada kepda siap pun, aku merasa curiga dengan sekertaris dan CEO itu."
Elara tidak membalas, tapi dia merasa ada sesuatu yang lebih dari ucapan Aiden.
Di tempat lain, Nate dan Kevin tiba di Darkhaven. Kota itu gelap dan dipenuhi bangunan tua yang tampak angker. Mereka berjalan menyusuri jalan berbatu, selalu waspada terhadap bahaya yang mungkin mengintai.
"Kota ini tidak berubah," kata Kevin sambil mengamati sekeliling.
"Tapi bahaya di sini lebih besar dari yang kau kira," jawab Nate. "Kita harus fokus."
Namun, saat mereka menyusuri jalan sempit, mereka merasa diawasi. Sesuatu di kegelapan tampaknya mengikuti setiap langkah mereka.
"Siapkan dirimu, Kevin," kata Nate. "Malam ini, kita mungkin harus bertarung."
Kembali di rumah, Elara terbangun di tengah malam karena mimpi buruk. Dia bermimpi bahwa kalungnya dirampas oleh vampir gelap dan dia dibiarkan tak berdaya.
Ketika dia melihat cermin, dia menyadari bahwa hidupnya kini benar-benar berubah. Tidak ada lagi kenyamanan hidup manusia biasa. Kini dia berada di tengah dunia vampir yang penuh bahaya dan misteri.
Setelah bangun dari mimpi buruknya, Elara duduk di tempat tidur, mencoba menenangkan diri. Keringat dingin membasahi dahinya, dan jantungnya masih berdegup kencang. Dia memandang sekeliling kamar yang gelap, hanya diterangi cahaya redup dari rembulan yang menembus tirai tipis.
“Kenapa mimpi itu terasa begitu nyata?” gumamnya sambil meremas kalung di lehernya.
Tidak tahan dengan suasana kamar yang terasa semakin mencekam, Elara memutuskan untuk keluar. Dia berjalan menuju kamar Nenek Mika.