Tiga tahun lalu, Agnia dan Langit nyaris menikah. Namun karena kecelakaan lalu lintas, selain Agnia berakhir amnesia, Langit juga divonis lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya. Itu kenapa, Agnia tak sudi bersanding dengan Langit. Meski tanpa diketahui siapa pun, penolakan Agnia justru membuat Langit mengalami gangguan mental. Langit kesulitan mengontrol emosi sekaligus kecemburuannya.
Diam-diam, Agnia sengaja menyuruh Dita—anak dari pembantunya yang tengah terlilit biaya pengobatan sang ibu, menggantikannya. Padahal sebenarnya Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa karena desakan keluarga yang meragukan ketulusan Agnia.
Ketika Langit mengetahui penyamaran Dita, KDRT dan talak menjadi hal yang kerap Langit lakukan. Cinta sekaligus benci mengungkung Dita dan Langit dalam hubungan toxic. Namun apa pun yang terjadi, Dita terus berusaha bertahan menyembuhkan mental Langit.
Lantas, apa jadinya jika Agnia tahu, bahwa Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Mengurus Suami Lumpuh Dan Nafkah Batin
“Sekarang, urus suamimu. Bantu dia melakukan apa pun termasuk mandi. Selebihnya, kamu cukup meringankan pekerjaannya. Karena meski dia harus menghabiskan waktunya di kursi roda, dia masih aktif mengurus usaha keluarga,” ucap ibu Azzura yang menyikapi Dita dengan sangat dingin.
Ibu Azzura menatap Dita yang telah memakai cadar hitam layaknya dirinya, dengan tatapan tajam. Dari tatapan maupun ucapannya, tampak jelas jika ibu Azzura tidak menyukai Agnia.
“I—ya, ... Ma!” berat Dita tak berani menatap ibu Azzura secara terang-terangan. Ia bahkan cenderung menunduk. Karena baginya, ada yang tidak beres hingga dirinya mendapat sikap yang begitu dingin dari ibu Azzura.
“Entah dosa apa yang sudah non Agnia buat, hingga ibu Azzura yang aku yakini sebenarnya memiliki sifat sangat baik, menyikapinya dengan sangat dingin. Aku yakin, alasan ibu Azzura begini kepadaku karena beliau mengira aku sebagai non Agnia. Atau jangan-jangan, ibu Azzura memang sudah tahu watak asli non Agnia? Karena kepadaku saja, non Agnia memperlakukanku layaknya memperlakukan s a m p a h!” batin Dita.
Beres ijab kabul, Dita memang langsung diboyong ke kediaman orang tua Langit. Selanjutnya, Dita yang disikapi dingin oleh orang tua Langit sejak awal pertemuan mereka, diminta untuk mandi sekaligus siap-siap mengurus Langit.
Di lain sisi, alasan ibu Azzura menyikapi Dita dengan sangat dingin, murni karena wanita itu tidak menyukai Agnia. Ditambah lagi saat ijab kabul sekitar empat jam lalu, Agnia dan orang tuanya kembali berulah. Bisa-bisanya mendadak ubah identitas dari identitas biasanya, dan itu untuk keperluan pernikahan yang tentunya sangat sakral. Baik Agnia yang jadi bernama Dita, juga sang papa yang namanya jadi pak Lasman.
“Dasar keluarga aneh! Semoga saja setelah ini, topeng b u s u k Agnia terbongkar. Agar Langit berhenti berharap kepadanya! Bisa-bisanya Agnia mendadak lugu, bercadar seperti sekarang. Pasti dia sengaja agar Langit makin tersentuh, hingga dia makin mudah mengendalikan Langit! Agar dia bisa menjadikan Langit sebagai ATM berjalannya!” batin ibu Azzura. Tanpa pamit bahkan sekadar untuk basa-basi, ia langsung pergi.
Kepergian ibu Azzura membuat Dita bergegas mencari Langit. Namun, ia yang baru pertama kali di sana bingung harus mencari ke mana. Sementara baru saja, ibu Azzura masuk ke dalam lift di sudut lorong kanannya. Karenanya, Dita berinisiatif menyusul. Ia meminta izin dengan sangat santun menanyakan keberadaan Langit yang otomatis telah menjadi suaminya.
“Permisi, maaf, ... dia mengatakannya kepadaku? Sebenarnya dia kenapa?” pikir ibu Azzura terheran-heran kepada menantunya.
Dirasa ibu Azzura, Agnia yang telah menjadi menantunya, sangat berbeda dengan Agnia yang selama ini ia kenal. Agnia yang dulu ibu Azzura kenal, merupakan sosok wanita sok independen, tapi sebenarnya sangat manja dan berbakat menguras uang Langit. Namun yang sekarang, berdiri saja selalu berjarak darinya sambil terus menunduk.
Kini, meski berada dalam satu lift, keduanya tak sampai terlibat obrolan apa pun. Dan lagi-lagi, Dita yang ibu Azzura maupun semuanya ketahui merupakan Dita, mengucapkan terima kasih sesampainya mereka di lantai bawah. Lantai di mana Langit ada di sana bersama papa maupun sanak saudaranya.
Akan tetapi, nyatanya bukan hanya ibu Azzura yang dibuat heran dengan sikap baru Agnia mereka. Kata maaf, terima kasih, sekaligus turut kata lain yang sangat santun, sukses membuat mereka terbengong-bengong tak percaya. Beda lagi bagi Langit yang dengan bangga memamerkan, bahwa wanita yang telah ia peristri merupakan wanita istimewa. Sudah mau menikah dengannya walau ia pura-pura lumpuh sekaligus b u r u k rupa, kepada keluarga besarnya pun, Agnia-nya sangat santun.
Langit : Ma, aku enggak perlu pura-pura lagi, kan?
Pesan tersebut, Langit ketik untuk sang mama, bertepatan dengan dirinya yang masih berada di dalam lift bersama Dita. Lebih tepatnya, Dita berdiri di belakangnya, dan memang yang mengurusnya.
“Mas, katakan saja jika aku salah atau setidaknya keliru, ya!” lembut Dita sambil mendorong kursi roda Langit berada. Mereka baru sampai.
“Sampai detik ini, suara Agnia masih saja berbeda dari biasanya. Apa karena sekarang, Agnia pakai cadar?” pikir Langit yang kemudian juga mengira, perubahan suara Agnia yang kini menjadi lirih, efek karena istrinya itu sedang flu sekaligus sedang kurang enak badan.
“Sayang, ... kamu lupa keberadaan kamarku yang akan menjadi kamar kita?” tegur Langit lantaran sang istri mengambil lorong yang salah.
Harusnya Dita membawa Langit ke lorong kiri, tapi malah sebaliknya. Dita membawa Langit ke kanan. Selain baru pertama kali di sana, kenyataan rumah orang tua Langit yang terlalu besar menjadi alasan Dita nyasar. Dita belum terlalu paham, tapi kemudian otaknya berusaha mengingat-ingat, agar selanjutnya ia tak lagi tersesat.
“Maaf, Mas ... aku lupa,” santun Dita masih berucap lirih.
“Kamu lupa?” refleks Langit terdengar heran bahkan itu di telinga Dita yang menerima pertanyaannya.
Ketegangan seketika menguasai Dita. Jantung Dita refleks berdetak sangat kencang, selain tubuhnya yang jadi meremang. Namun segera, Dita mencari alasan agar Langit tak lagi curiga. Alasan yang tentu masuk akal dan bisa diterima oleh Langit.
“Masa iya, belum dua puluh empat jam, sudah ketahuan? Yang ada non Agnia enggak lanjut bayar pengobatan Ibu!” batin Dita ketar-ketir.
Untungnya seperti yang sebelum-sebelumnya, kali ini Dita bisa mengatasinya. Dita berhasil membuat Langit percaya bahwa alasannya lupa keberadaan kamar Langit, murni Dita lupa akibat amnesia yang dialami.
“Ini aku beneran akan memandikan mas Langit? Meski beliau lumpuh, beliau masih normal dan sepertinya, beliau sangat mencintai non Agnia. Selama bersama sejak ijab kabul tadi saja, mas Langit selalu jadi garda terdepan dalam melindungiku, bahkan dari keluarganya,” batin Dita yakin, akan terjadi sesuatu saat nanti dirinya memandikan sang suami. Yang namanya laki-laki, jangankan dengan istri sendiri dan itu wanita yang sangat dicintai, sekadar iseng asal sama-sama mau saja, bisa terjadi sesuatu–pikir Dita.
Dita telah berhasil membantu melepas dasi, jas, maupun kemeja lengan panjang warna putih yang Langit pakai. Tubuh bagian atas Langit hanya tinggal memakai kaos tipis tanpa lengan warna putih. Belum apa-apa Dita sudah sangat tegang. Dita yang awalnya berdiri di hadapan Langit setelah menyisihkan apa yang ia lepas ke wastafel, berangsur jongkok kemudian berlutut di hadapan Langit.
Sampai detik ini, walau awalnya melakukan segala sesuatunya dengan cekatan, Dita jadi makin irit bicara. Kenyataan mereka yang makin tak berjarak, menjadi alasannya. Yang mana makin dekat jarak wajah mereka, makin sibuk pula Dita membatasi pandangannya dari kedua mata Langit yang menatapnya penuh cinta.
Bukan Dita yang membuat wajah mereka makin dekat. Karena yang ada, Langit yang terus mendekat, membuat wajah mereka tak berjarak. Dita masih bertahan berlutut di hadapan Langit, sambil memulai melepas ikat pinggang Langit. Namun entah mengapa, apa yang Dita lakukan, membuat dunianya seolah berputar lebih lambat. Kedua tangannya terlalu gugup hingga tak kunjung berhasil membuka kaitan kepala ikat pinggang Langit. Malahan, kedua tangan Langit menyusul, meraih kedua tangan Dita. Kedua tangan Langit tersebut menggenggam kedua tangan Dita dengan sangat lembut.
Jantung Dita seolah nyaris r u s a k sekaligus copot, ketika telinga kanannya merasakan hangatnya napas Langit yang tetap mengusiknya, meski kini ia masih bertahan memakai hijab sekaligus cadar. Bibir Langit menjamah telinga kanan Dita, dengan b e l a ian lembut. Membuat kedua tangan Dita yang masih digenggam kedua tangan Langit, refleks menggenggam tangan yang menggenggamnya erat.
Sensasi aneh terus Dita rasakan seiring kesibukan bibir Langit yang menyibak hijabnya, sebelum akhirnya mengabsen bibirnya.
“Bisa, l a y a n i aku sekarang juga? Ayo kita lakukan sekarang juga!” bisik Langit terdengar sangat n ak al bahkan di telinganya sendiri.
Detik itu juga, Dita yang sampai jadi berkaca-kaca karena menahan sensasi yang Langit ciptakan, refleks menatap kedua mata Langit. Napas Dita tidak bisa untuk tidak memburu, walau sebisa mungkin ia berusaha mengontrolnya.
Langit yang sampai detik ini masih memakai topeng silver di wajah kanannya, menatap kedua mata Dita penuh minat. Tatapan yang sudah Dita pahami maksudnya. Bahwa pria yang sudah menikahinya itu menginginkannya memenuhi kebutuhan batinnya. Iya, ini sungguh mengenai nafkah batin, tanpa memandang keadaan Langit yang lumpuh—pikir Dita yakin seyakin yakinnya.
(Ramaikan yaaa ❤️❤️❤️. Bismillah semoga pembacanya kompak biar retensi aman sampai tamat 🙏🙇🏻♀️🤲🥲)
ngembleng lah biar langsung sadar tu smc mita.kenyataan jauh dari angan2.wkwkwkwkwkwkwkwk