Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Getaran Rindu
Suram. Satu kata untuk menggambarkan situasi ketika Rain masuk ke dalam rumah. Hawa dingin terasa mencekam, seolah-olah menusuk kulitnya.
Rain menelan ludah.
Sosok makhluk itu menatap tajam ke arah Rain. Ia berdiri tegap tepat di depan Rain.
Rain menggaruk kepalanya seraya tersenyum simpul.
Dalam pikiran Rain, ia yakin sosok itu akan marah. Namun, berbalik dari pemikirannya. Tiba-tiba, sosok itu menatap dengan wajah memelas.
"Kenapa kamu lama sekali? Aku kelaparan," rengeknya sambil memegangi perutnya.
Rain menahan tawa melihat itu. Rasanya lucu sekali. Rain merasa seperti seorang ibu yang diomeli anaknya karena tak kunjung pulang.
"Aku minta maaf." kata Rain. Lalu, ia memutar tubuh Ghio dan mendorongnya ke arah dapur. "Aku akan memasak. Tapi, tunggu setelah aku ganti baju."
Ghio duduk di kursi makan. Ia menatap lurus Rain yang kini sudah ngacir ke dalam kamar.
"Dia meninggalkanku sendirian tanpa menyisakan makanan," gerutu Ghio seraya menatap kesal. Lalu, ia memegangi perutnya.
"Ah... Perut! Tunggu sebentar lagi!"
Rain muncul dengan pakaian yang berbeda. Ia menatap Ghio yang menampilkan wajah kesalnya.
Rain meringis melihat itu. Dia sedikit sibuk akhir-akhir ini, sampai lupa menyisakan makanan untuk Ghio. Ya, Rain sibuk mencari informasi tentang pria itu.
Rain mulai memasak. Sesekali ia memandangi Ghio yang duduk menahan lapar.
"Sabar, Ghio."
Setelah beberapa saat, Rain menyudahi pekerjaannya. Hasil masakannya ia taruh di atas meja makan.
Mata Ghio langsung berbinar. Ia meneguk ludahnya berkali-kali.
Bukan hanya Ghio, Rain juga sudah lapar. Lantas, Rain membawa dua porsi makanan.
"Ayo ke atas," katanya.
Ghio mengangguk. Satu detik kemudian, sosok itu langsung menghilang dari hadapan Rain.
"CK! Gue ditinggalin." Rain menggerutu. Ia kemudian keluar dan naik ke rooftop.
Disana, Ghio sudah duduk dengan gusar, menunggu Rain tak sabar.
"Kelamaan."
"Kamu pikir gampang naik tangga dengan beban sebanyak ini? Kamu, mah, bebas. Tinggal jentik, langsung sampai di tujuan." kesal Rain. "Bantuin kek."
Ghio tidak mempedulikan ucapan Rain. Dengan cepat ia mengambil makanan dari tangan Rain, lalu melahapnya.
"Berdoa!"
Belum sempat Ghio menguyah, makanan yang sudah masuk ke dalam mulutnya ia muntahkan kembali. Detik kemudian ia langsung menutup mata dan berdoa. Tak sampai beberapa detik, ia membuka matanya kembali dan langsung melahap makanan yang sempat dimuntahkannya.
Rain menatap cengo. Kepalanya menggeleng melihat itu. Lalu ia ikut makan bersama Ghio.
"Aku punya berita bagus." kata Rain tiba-tiba.
Ghio mendongak, mengangkat alis seolah bertanya.
"Sebentar." kata Rain.
Ghio menatap bertanya saat Rain malah pergi dan meninggalkan makanannya. Tak mau acuh, Ghio melanjutkan makanannya sambil menoleh sesekali, menunggu Rain muncul.
Ghio terus memakan makanannya, hingga tak tersisa sedikit pun. Saat itu juga, Rain datang dengan sebuah kotak di tangannya.
"Lho? Cepet banget makannya."
"Itu apa?" Ghio tidak menghiraukan ucapan Rain. Kotak itu menyita perhatiannya.
Rain tersenyum. Ia mengangkat kotak itu. "Kejutan. Nanti aku kasih tunjuk. Sekarang aku lanjut makan dulu," ucap Rain. Lalu diletakkannya kotak itu dan lanjut makan.
Ghio hanya bisa menatap kotak dengan rasa penasaran. Kejutan apa? Rain terlihat senang. Gadis itu bahkan masih melemparkan senyum sambil makan.
"Kenapa kamu makan secepat itu?" tanya Rain.
"Lapar." Ghio memperhatikan Rain saat makan.
"Masih kurang?"
Ghio mengangguk.
Rain mengerjap. Ia melirik ke bawah arah dapur. Ia terlalu malas untuk turun. "Kamu ambil sendiri aja. Kan, bisa dengan satu jentikan."
Ghio menggeleng. "Melakukan itu juga butuh tenaga. Tenagaku masih belum cukup karena lapar."
Rain menatap cengo. "Tadi, sebelum makan kamu bisa."
Ghio menggaruk tengkuknya. Lantas menyengir kuda. "Itu beda. Tadi karena aku masih semangat. Sekarang kurang semangat karena masih lapar."
Wajah Rain lempeng seketika. Alasan macam apa itu?
Rain memandang makanannya. Sebenarnya ia sudah cukup kenyang.
"Mau?" tanya Rain sambil mengangkat piringnya.
Senyum Ghio langsung mekar. Dengan cepat ia mengambil alih piring Rain, lalu menyendokkan makanan ke dalam mulut.
"It-" Rain tidak bisa melanjutkan ucapannya. Sudah terlanjur. Sendok yang ia gunakan sudah terlanjur masuk ke dalam mulut Ghio.
Astaga. Tiba-tiba Rain merasa wajahnya panas.
Segera Rain menangkup wajahnya. Kenapa pipi dan telinga gue rasanya panas? Rain membatin.
Bibir Rain menggulung ke dalam. Apa ini artinya ciuman tidak langsung? Rain sering melihatnya di film-film.
Rain mengerjap beberapa saat, lalu menggeleng.
Gak! Jangan berpikir aneh, Rain, Batin Rain.
"Kenapa?" tanya Ghio.
"Gak pa-pa. lanjutin aja makannya," jawab Rain memaksakan senyum. Ia kembali memperhatikan Ghio makan.
Ghio menyudahi makanannya dengan senyum puas. "Enak."
"Enak lah. Gratis. Tinggal makan doang," gumam Rain.
"Hah?"
"Gak ada." Rain tersenyum, masih memperhatikan Ghio.
Ghio menyipitkan matanya.
"Nah. Mau lihat kejutannya?" Rain mengalihkan topik sambil mengangkat kotak.
Ghio mengangguk seraya mendekat.
"Tada..." Rain membuka kotak itu.
Dahi Ghio berkerut. Ia menatap satu foto dalam kotak itu. Tangannya terulur mengambil foto itu. Foto yang menampilkan dirinya dan satu wanita cantik.
"Siapa?"
Rain tersenyum. Ia merangkak ke samping Ghio dan ikut mengamati foto itu.
"Coba tebak," kata Rain. "Cantik, kan?"
Ghio mengangguk. Jarinya mengusap foto itu. Wanita yang berpakaian elegan menatap ke arah kamera dengan senyum lebar.
"Ini aku." kata Ghio menunjuk gambar dirinya.
Rain mengangguk.
"Dia siapa?"
"Kamu gak lihat kalau kalian mirip?" tanya Rain.
Ghio tidak melepaskan pandangannya dari foto itu. Wanita itu memang mirip dengannya. Apakah...
"Mama?" tanya Ghio pelan, terdengar ragu-ragu, tapi seolah menyiratkan harapan.
Rain tersenyum seolah mengangguk. "Yap. Ini mama Ghio." Rain yakin itu adalah mama Ghio. kemiripan mereka sudah pasti. Apalagi, Bu Halidah mengatakan kalau wanita ini datang mengambil barang-barang Ghio.
Mulut Ghio tertutup rapat. Ia merasakan sebuah getaran dalam hatinya. Getaran aneh yang selama ini terpendam dalam-dalam. Getaran yang selama ini membuatnya tidak nyaman dan terkurung dalam kesedihan.
Tanpa aba-aba, air mata menetes begitu saja dari matanya. Jarinya mengelus foto itu.
Akhirnya getaran itu terkuak, meluap, keluar walaupun hanya sedikit. Tapi, Ghio senang. Rasa rindunya selama ini sudah jelas untuk siapa.
"Mama," lirihnya dengan air mata yang terus mengalir.
Getaran rindu itu akhirnya menemukan haluannya.
Hati Rain berdesir. Ia tahu bagaimana perasaan Ghio. Bedanya, mungkin Ghio masih bisa melihat mamanya. Sedangkan Rain, ia tidak akan lagi bisa melihat mamanya. Mungkin setelah akhir hayatnya.
Air mata Rain ikut turun. Tapi, apakah Ghio bisa bertemu dengan mamanya? Rain merasa hatinya tertusuk ketika menyadari itu. Bagaimana Ghio bertemu dengan mamanya dengan keadaan Ghio sekarang? Ia hanya roh.
"Ghio." panggil Rain.
Ghio menoleh dengan mata banjir.
"Kamu bahagia bisa melihat mama kamu?"
Ghio diam dalam tangisnya. Lalu, ia mengangguk.
"Aku berharap kamu bisa melihatnya secara langsung. Dan, aku yakin kalian pasti bisa bertemu."
Grep
Rain tersentak saat tubuhnya terbawa ke dalam pelukan.
"Terima kasih, Rain."
Rain masih mendengar bisikan serak itu. Dalam pelukan Ghio, Rain tersenyum.
"Terima kasih."
Rain merasa hangat. Matanya terpejam, menikmati pelukan erat itu.
Aku akan menepati janjiku, Ghio.