Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menantu Kaya Mertua Babu
Di dalam mobil menuju hotel
Elara duduk di kursi belakang mobil, menatap ponselnya dengan wajah kesal. Berkali-kali ia mencoba menelepon Zayden, tapi panggilannya tidak diangkat. Suara dering di seberang semakin membuatnya frustrasi.
"Kenapa sih dia nggak angkat-angkat?" gumam Elara sambil menggigit bibir.
Akhirnya, ia memutuskan untuk mengirim pesan. "Aku pulang ke hotel. Kamu jangan lama-lama, aku bete." Pesan itu terkirim, tapi Elara tahu kemungkinan besar tidak akan langsung dibalas.
Ia mendesah panjang, membiarkan pikirannya melayang. Kata-kata kakek Abraham terus terngiang-ngiang di kepalanya. “Kamu pewaris salah satu mitra bisnis Keluarga Levano.”
Elara menghela napas, menatap ke luar jendela. "Kalau aku memang banyak uang, kenapa aku harus menikah dengan Zayden? Lagipula, aku nggak cinta-cinta banget sama dia. Apa ini masuk akal?" pikirnya.
Tapi, sisi lain dari pikirannya membantah. Bisakah ia benar-benar menjadi pewaris bisnis sebesar itu? Dunia bisnis terdengar terlalu menakutkan. Licik, penuh tipu daya, dan Elara sama sekali tidak punya pengalaman. Bagaimana kalau warisan itu hilang begitu saja karena kecerobohannya?
"Mungkin aku memang bukan orang yang cocok untuk jadi pewaris," pikirnya lagi.
Dalam kebingungan itu, ia menelepon Leni, sahabatnya.
"Hei, Len! Lagi di mana? Aku bosen banget nih, pengen ngobrol," kata Elara begitu Leni mengangkat telepon.
"Maaf, Ra, aku lagi sama keluargaku di mall. Lagi belanja kebutuhan rumah. Kamu nggak apa-apa, kan?" jawab Leni dengan nada menyesal.
Elara menundukkan kepala. "Aku nggak apa-apa, kok. Ya udah, deh, hati-hati, ya," katanya, meski dalam hati ia merasa kecewa.
Tiba-tiba, sebuah ide muncul di kepalanya. "Kenapa aku nggak gabung sama Leni aja? Kalau ada apa-apa, kan banyak orang yang bisa melindungi aku."
Elara langsung mencondongkan tubuh ke depan, mendekati sopir. "Pak, bisa nggak kita ke mall sekarang? Temanku ada di sana. Aku mau ketemu dia."
Sopir itu menggeleng tegas. "Maaf, Nona. Saya diperintah langsung oleh Tuan Abraham untuk mengantar Nona kembali ke hotel. Tidak boleh ada perubahan rencana."
Elara mengerutkan dahi. "Ayolah, Pak. Di sana juga aman, kok. Aku cuma mau ketemu teman. Lagipula, dia lagi sama keluarganya."
Sopir itu tetap keras kepala. "Maaf, Nona. Saya tidak bisa melanggar perintah Tuan Abraham."
Elara mulai kesal. "Pak, aku ini yang duduk di sini. Aku yang mau pergi ke mall, bukan ke hotel! Kalau Bapak nggak mau antar, ya udah aku turun di sini aja, aku naik taksi."
Mendengar ancaman itu, sopir akhirnya menyerah. "Baik, Nona. Tapi kalau Tuan Abraham tahu, saya akan dimarahi."
Elara tersenyum tipis. "Tenang aja, Pak. Kalau ada apa-apa, aku yang tanggung jawab."
Mobil pun berbelok, menuju tempat perbelanjaan tempat Leni berada. Sambil menatap jalanan yang berlalu, Elara merasa sedikit lebih lega, meski tetap ada rasa khawatir di hatinya. "Semoga ini keputusan yang benar," pikirnya.
Pak sopir melirik Elara melalui kaca spion. Wajah gadis itu tampak ceria, penuh semangat berbicara dengan Leni melalui telepon. Elara terus berbicara, sesekali tertawa kecil.
“Len, aku bakal sampai sebentar lagi. Tunggu aku di tempat yang gampang ketemu, ya. Aku kangen banget ngobrol sama kamu!” katanya dengan suara riang.
Sopir itu menarik napas dalam-dalam, membiarkan pikirannya melayang. Dalam hati, ia menggumam, "Beginilah kehidupan orang kaya. Punya segalanya, tapi terkadang terikat banyak aturan."
Dia mengingat perintah Tuan Abraham agar selalu menjaga Elara, memastikan keamanannya. Namun, gadis ini selalu punya cara untuk memaksa kehendaknya.
###
Di Kampung Bu Nira
Di dapur sederhana, Bu Nira sibuk mengaduk panci besar berisi gulai. Asap mengepul memenuhi ruangan, membuat peluh bercucuran di wajahnya. Di sudut ruangan, terlihat beberapa tumpukan nasi bungkus yang sudah siap untuk dibagikan.
Sejak pagi, ia menyiapkan makanan untuk acara pembangunan minimarket yang akan segera dilakukan di kampungnya. Beberapa orang penting seperti kepala desa, ketua RW, dan perangkat lainnya sudah mulai berasa di lahan kosong, untuk membangun minimarket tersebut.
Jarak lahan kosong tersebut, ke rumah Pak RW sekitar 10 rumah, tidak terlalu jauh, tidak dekat juga.
Di luar rumah, suara obrolan warga terdengar ramai. Desas-desus beredar bahwa Zayden, menantu Bu Nira, adalah orang yang mendanai pembangunan minimarket itu.
“Lihat tuh, si Zayden. Orang kaya, gagah, bisa bikin minimarket segala,” bisik salah satu tetangga.
“Beda banget sama Bu Nira, mertuanya. Masih aja kerja keras kayak begini. Elara itu nggak punya malu, kali, biarin ibunya kayak babu gini,” sahut tetangga lainnya.
Di tengah kesibukan memasaknya, seorang tetangga mendekati Bu Nira. Wanita itu tersenyum simpul, tapi matanya menyimpan hasutan.
“Bu Nira tahu nggak siapa yang bakal bangun minimarket ini?” tanyanya dengan nada pura-pura heran.
Bu Nira hanya menggeleng sambil terus bekerja. “Saya nggak tahu, Mbak. Saya cuma masak buat acara, itu aja.”
Tetangga itu mendekatkan wajahnya, berbicara dengan suara pelan tapi penuh sindiran. “Bu, yang bangun itu menantu Ibu, si Zayden. Tapi lihat, ya, Bu Nira di sini malah capek-capek masak buat mereka. Apa Ibu nggak sakit hati? Elara itu menikah sama orang kaya, tapi Ibu masih aja kerja keras kayak begini. Nggak ada untungnya punya menantu kaya kalau begini caranya.”
Bu Nira terkesiap. Kata-kata itu terasa seperti tamparan. Hatinya berkecamuk antara rasa kecewa dan bingung. Apa benar yang dikatakan tetangganya? Tapi ia juga tahu tidak boleh langsung percaya begitu saja.
"Menantu kaya, tapi mertua masih kerja keras begini. Kok rasanya nggak adil?" pikir Bu Nira.
Namun, ia menepis perasaan itu. Dalam hati, ia berjanji akan memastikan kebenaran kabar ini langsung dari Elara atau Zayden. Ia tidak ingin keluarganya retak hanya karena omongan orang.
Dengan senyum tipis, Bu Nira menjawab. “Saya ini orang biasa, Mbak. Bekerja itu ibadah. Lagipula, saya nggak mau buru-buru percaya gosip. Mending fokus aja sama apa yang harus saya kerjakan.”
Tetangga itu hanya mendengus, merasa Bu Nira terlalu polos. Namun, Bu Nira tetap melanjutkan pekerjaannya, meskipun hatinya mulai dihantui rasa penasaran. "Kalau benar Zayden yang bangun minimarket ini, kenapa dia nggak bilang apa-apa? Apa Elara juga tahu?" pikirnya sambil terus mengaduk masakan.
Bu Nira jadi kepikiran tentang uang kontrakan. Zayden bisa membangun minimarket yang mungkin bisa sampai ratusan juta atau hitungan M. Jika Bu Nira mau mengeluh pada menantunya, atau setidaknya pada Elara, uang 8 juta mungkin hal kecil.
'Tidak. Aku tidak boleh ngelunjak. Seakan aku memanfaatkan anak sendiri untuk kesulitan kelurga.'
Bersambung.