Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Ego di Balik Janji
Malam itu, Naura duduk di sofa ruang tamu dengan wajah yang terlihat cemas.
Matanya menatap layar televisi yang menyala tanpa benar-benar memperhatikan tayangan yang ditampilkan.
Pikirannya melayang-layang, dihantui rasa ragu yang semakin hari semakin sulit diabaikan.
Terlebih setiap mengingat obrolan rahasia antara Bimo dan seseorang di panggilan telepon. Ada rasa takut ditinggalkan usai pernikahan siri ini terjadi.
*
Bimo baru saja tiba di apartemen setelah seharian bekerja. Pria itu melempar jasnya ke sandaran kursi dan melonggarkan dasi dengan gerakan santai.
Naura memperhatikannya dengan hati-hati, mencoba membaca suasana hati pria itu.
"Naura," panggil Bimo sambil berjalan mendekat.
"Kamu kenapa diam saja? Ada yang mengganggu pikiranmu?"
"Tidak, Mas. Aku hanya sedikit lelah." Naura tersenyum, meski sebenarnya hatinya tak tenang.
Bimo mengangguk lalu duduk di samping Naura.
"Kamu tidak perlu khawatir tentang apa pun. Aku akan selalu ada untukmu," ucapnya sambil menyentuh tangan Naura dengan lembut.
Namun, kali ini sentuhan Bimo terasa berbeda.
Ada sesuatu dalam caranya memegang tangan Naura yang membuat degub jantung gadis itu semakin kencang.
Bimo menarik Naura lebih dekat, menatap matanya tanpa kedip.
Perlahan, napasnya mulai memburu.
Tiba-tiba Bimo sudah menyentuhkan bibirnya ke bibir Naura. Membuat gadis itu kaget lalu menarik tubuhnya.
"Kenapa? Hubungan kita bukan hubungan terlarang, Naura. Aku sudah menikahimu meski itu hanya sekedar pernikahan siri!" Bomo meluapkan kekesalannya dengan sorot matanya yang tajam.
"Ya, pelan-pelan saja. Jangan sekarang," kilah Naura sambil meremas ujung kain pakaiannya.
Gadis itu seolah memberi isyarat jika ia resah, bahkan tak nyaman atas perlakuan suaminya.
sepertinya, rumor di luar sana yang memberitakan keburukan Bimo membuat Naura berpikir keras seolah ingin pernikahannya dibatalkan.
Namun bukan Bimo namanya, jika hanya menyerah sebelum mendapatkan apa yang ia incar sebelumnya.
"Naura, aku ingin kita lebih dekat lagi," ujar Bimo dengan suara rendah.
Naura menelan ludah, merasa ada sesuatu yang tidak beres.
"Mas, bukankah kita sudah cukup dekat?"
"Bukan seperti itu. Maksudku, aku ingin kita benar-benar menjadi pasangan yang saling percaya, tanpa ada batasan." Bimo tertawa kecil, tetapi tawa itu terdengar agak dipaksakan.
Naura memalingkan wajahnya, merasa pipinya memanas.
Ia tahu apa yang dimaksud Bimo, tetapi hatinya belum siap.
"Mas, aku rasa kita sebaiknya menunggu sampai semuanya resmi. Aku ingin semuanya dilakukan dengan benar."
Ekspresi Bimo berubah seketika. Ia menarik tangannya dari genggaman Naura dan berdiri dengan kasar.
"Kamu selalu bilang ingin semuanya resmi. Apa kamu tidak percaya padaku? Bukankah aku sudah berjanji akan menikahimu secara sah?"
Naura terkejut dengan nada suara Bimo yang tiba-tiba berubah tajam.
"Bukan begitu, Mas. Aku percaya padamu. Tapi aku hanya... aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan sesuai dengan nilai yang aku yakini."
Bimo menghela napas panjang, berjalan mondar-mandir di depan Naura.
"Kamu tahu, aku sudah melakukan banyak hal untukmu, Naura. Aku memberikanmu hidup yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya. Aku selalu berusaha membuatmu bahagia, tetapi kamu malah meragukanku."
"Mas, aku tidak meragukanmu," ujar Naura dengan suara hampir berbisik.
"Aku hanya butuh waktu."
Bimo menghentikan langkahnya dan menatap Naura tajam.
"Waktu? Sampai kapan? Aku sudah cukup sabar, Naura. Aku mencintaimu, tapi aku juga butuh pembuktian dari kamu."
Kata-kata itu menusuk hati Naura. Ia ingin menjelaskan bahwa dirinya hanya ingin menjaga kehormatan, tetapi di saat yang sama, ia merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi harapan Bimo.
Bimo mendekat lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih lembut tetapi tetap tegas.
"Naura, aku hanya ingin kita bahagia bersama. Aku tahu aku kadang terlalu egois, tapi aku melakukan ini karena aku mencintaimu. Kamu tahu itu, kan?"
Naura mengangguk perlahan, meski hatinya terasa berat.
"Aku tahu, Mas. Aku tahu kamu mencintaiku."
Bimo menghela napas lega dan menarik Naura ke dalam pelukannya.
"Aku tidak ingin kehilangan kamu, Naura. Aku akan segera mengurus semuanya. Percayalah, pernikahan resmi kita akan segera terlaksana."
Naura mengangguk lagi, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Bimo benar-benar tulus.
Namun, ada suara kecil di dalam hatinya yang terus berbisik, mengingatkan bahwa semua ini belum tentu akan berjalan seperti yang ia harapkan.
Beberapa hari kemudian, sikap Bimo semakin sulit dipahami.
Ia menjadi lebih sering mendominasi percakapan, bahkan mengambil keputusan tanpa berkonsultasi dengan Naura.
Suatu sore, saat Naura sedang menyiapkan makan malam, Bimo tiba-tiba datang dengan membawa seikat bunga mawar merah.
"Untukmu," ujarnya sambil tersenyum lebar.
Naura menerima bunga itu dengan senyum kecil.
"Terima kasih, Mas. Tapi... ada apa? Kamu jarang sekali membawa bunga seperti ini."
Bimo tertawa. "Tidak perlu alasan untuk memberi bunga pada wanita yang kucintai, kan?"
Naura tersenyum, meski perasaannya tetap tak sepenuhnya tenang.
Setelah makan malam, Bimo mengajaknya duduk di sofa sambil menikmati segelas coklat hangat.
"Naura, aku ingin bicara sesuatu," ujar Bimo dengan nada serius.
Naura menatapnya dengan penuh perhatian.
"Apa itu, Mas?"
Bimo menggenggam tangan Naura dan menatapnya dalam-dalam.
"Aku tahu aku kadang terlihat keras kepala. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku sungguh-sungguh mencintaimu. Aku ingin kita segera memulai. Aku ingin menjadi suamimu seutuhnya."
Naura terdiam.
Ia tahu apa yang ingin dikatakan Bimo, tetapi ia masih merasa ragu.
"Aku akan mengurus semua dokumen pernikahan kita," lanjut Bimo.
"Tapi aku butuh kamu untuk lebih percaya padaku. Aku ingin kamu berhenti meragukan niatku."
Naura menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah.
"Mas, aku percaya padamu. Tapi semua ini terasa terlalu cepat."
Bimo menggeleng. "Tidak ada yang terlalu cepat jika kita saling mencintai. Aku hanya ingin kita bahagia, Naura. Apakah itu salah?"
Naura tidak bisa menjawab. Ia merasa terjebak antara keinginannya untuk mempertahankan prinsip dan rasa cintanya pada Bimo.
Malam itu, mereka berdua tertidur dalam suasana hati yang penuh dengan kebimbangan.
Naura tahu bahwa dirinya harus membuat keputusan besar, tetapi ia tidak tahu apakah ia cukup kuat untuk melakukannya.
Keesokan paginya, Naura kembali dikejutkan dengan sikapntak terduga dari suaminya.
"Pagi, Sayang," sapa Bimo setelah mendaratkan kecupan hangat di puncak kepala istrinya.
"Pagi, Mas. Wah, aku kesiangan sepertinya, maaf ya. Tunggu sepuluh menit saja, aku akan siapkan sarapan," kata Naura segera beranjak dari tempat tidur.
Namun, Bimo segera menarik lengan Naura. Seolah sengaja menahannya.
"Aku akan mengajakmu menginap di rumah orang tuaku. Cepat berkemas ya!" ajaknya.
Naura tercekat. Tidak percaya? Mungkin.
"Aku sudah buat sarapan di meja makan, cepat mandi," cetus Bimo setelahnya.
Naura menghela napas berat.
"Bagaimana kalau keluarga Mas Bimo tidak suka denganku?" tanya Naura cemas.
Billy mengulas senyuman. Seolah semua akan baik-baik saja. Ia bahkan langsung mengusap kepala istrinya.
"Di sana kamu itu gak sendiri, Nau. 'Kan ada aku," rayu Bimo sedikit memaksa.
Naura terdiam.
(Bersambung)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan