Menikah muda bukan pilihan Arumi karena ia masih ingin menyelesaikan kuliah yang tinggal selangkah lagi. Namun, pertemuannya dengan Adeline anak kecil di mana Arumi bekerja membuat keduanya jatuh hati. Adeline tidak mau perpisah dengan Arumi bahkan minta untuk menjadi ibunya. Menjadi ibu Adeline berarti Arumi harus menikah dengan Davin pemilik perusahaan.
Bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
"Kenapa pagi-pagi begini marah-marah sih, Pak?" Arumi berdiri di depan Davin yang tengah marah kepada Yanti.
Davin menarik kakinya mundur, lalu duduk di sofa. Hembusan nafasnya terdengar oleh Arumi. Arumi tahu bahwa suaminya itu sedang ada masalah.
"Saya mandikan Adel dulu, nanti kita bicara" ujar Arumi kepada Davin, lalu menoleh Yanti yang berdiri ketakutan. Arumi berkedip kepada Yanti agar melanjutkan pekerjaan. Setelah Yanti mengangguk, Arumi lanjut ambil handuk.
"Sebentar Yanti" Bibi mengejar Yanti ke tempat yang biasanya untuk mencuci pakaian.
"Kesalahan apa yang kamu buat? Sampai Tuan marah begitu, Yanti" cecar bibi. Bibi malu kepada Davin jika Yanti yang ia bawa dari Jawa Timur itu melakukan kesalahan. Tugas Yanti sebenarnya mengurus Adeline, tetapi karena Adel seringkali bersama Davin Yanti hanya membantu bibi.
"Saya tidak berbuat kesalahan Bi, sumpah" Yanti rasanya ingin menangis.
"Tapi kenapa Tuan marah Yanti..." Bibi kecewa, kerena selama bekerja di tempat itu belum pernah melihat keluarga Davin marah dengan pembantu kecuali Malika.
"Mari Bi" Yanti mengajak bibi menjauh dari tempat itu.
"Saya juga bingung Bi, tadi malam ketika membuat kopi, saya buatnya seperti biasa kok" Yanti tidak habis pikir, kenapa Davin bisa menuduh minumannya dicampur entah dengan apa. Padahal selama satu tahun bekerja di tempat itu, Yanti belum pernah melakukan kesalahan.
"Jangan-jangan kamu sudah pikun Yan, pengembang kue kamu masukan ke kopi Tuan" pikir bibi masuk akal.
"Ais, Bibi ada-ada saja" ujar Yanti, tapi ia lantas mengingat-ingat.
"Bi, bukan mau nuduh, waktu saya membuat kopi ada Nona Lika di situ" Yanti menceritakan ketika disuruh ambil kopi less sugar, setelah kembali kopi dalam cangkir tuan Davin lebih banyak.
"Oh... masuk akal Yanti, tapi dicampur apa?"
"Nggak tahu Bi, saya lanjut mencuci ya" Yanti tidak mau berburuk sangka, lebih baik kembali mencuci. Yang pasti, ia tidak pernah berbuat salah. Jika tuan Davin tetap menuduh nya, Yanti akan diam saja, yang penting tidak dikeluarkan dari pekerjaan ini.
Sementara Arumi, begitu tiba di kamar, Adel sudah keluar dari kamar mandi, kaki kecil itu tanpa keset lebih dulu hingga lantai kamar basah.
"Waah... sudah selesai mandi, anak Mama pintar sekali" Arumi segera membungkus tubuh Adel yang bergerak-gerak kedinginan.
"Soalnya Mama lama" rengek Adel manja.
"Dududuuu... kolokan sekali" Arumi mencium dahi Adel sambil terkikik. Padahal anak itu sering sekali mandi sendiri, walaupun ada Arumi hanya menemani saja, tetapi kenapa pagi ini ingin dimanja.
Arumi ambil baju milik Adeline lalu membantu mengenakan pakaian tersebut, kemudian membersihkan lantai yang basah dengan keset agar Adeline tidak jatuh.
"Adel kan sudah wangi dan cantik, sudah minum susu pula. Sekarang... Adel mainan ditemani Mbak Yanti ya, Mama ada perlu sama Papa sebentar"
"Iya Ma"
Arumi menemui Yanti yang baru saja selesai menjemur pakaian. "Yan, tolong temani Adel di kamar ya, saya mau bicara sama Tuan dulu"
"Baik Non" Yanti segera menaruh keranjang, lalu bergegas ke kamar Adel.
**********
Tok tok tok. Arumi mengetuk pintu.
"Siapa?" Suara berat dari dalam sana.
"Rumi..."
"Masuk saja"
Begitulah percakapan dari dalam dan luar kamar sebelum Arumi masuk. Tiba di dalam kamar, Davin yang awalnya rebahan, begitu melihat Arumi segera duduk bersandar di ujung tempat tidur.
"Kok tumben, kamar Bapak seperti kandang kambing" ujar Arumi karena kamar Davin nampak berantakan tidak seperti biasanya.
Tidak ada jawaban dari Davin nampak menyembunyikan sesuatu. Mungkin saja tadi malam dia jungkir balik, atau salto, entahlah.
Arumi lalu duduk di pinggir tempat tidur.
"Sini saja, jangan duduk di pinggir" Davin menepuk kasur di sebelahnya.
"Pagi-pagi itu tidak boleh tidur-tiduran Pak, bisa berbahaya" Arumi menolak sekaligus mengingatkan.
Tidak mau debat, Davin menggeser bokongnya duduk bersila di sebelah Arumi agak kebelakang.
"Kenapa Bapak tadi marah-marah dengan Yanti?" Arumi bertanya hati-hati ada masalah apa hingga suaminya itu membentak art.
"Tadi malam aku telepon kamu minta dibuatkan kopi, karena tidak diangkat terpaksa aku menyuruh Yanti" Davin rupanya sudah merubah kata saya menjadi aku.
"Jelas tidak aku angkat Pak, tuh hape aku di sana" Arumi menunjuk hape miliknya yang berada di atas meja.
"Lalu?" Arumi ingin tahu selanjutnya.
"Setelah minum kopi buatan Yanti aku jadi..." Davin menjeda ucapanya, merasa malu untuk melanjutkan.
"Jadi apa?" Arumi memajukan wajah hingga dekat sekali dengan wajah Davin tidak ia sadari karena terlalu serius.
Cup.
Arumi menarik wajahnya cepat ketika kecupan lembut di bibirnya, seketika tersipu malu.
"Setelah minum kopi itu, pisang aku jadi besar" Davin menceritakan reaksi dari kopi tersebut membuat seluruh badannya panas, mual, sakit kepala, jantung berdebar-debar, hampir mati. Bahkan semalaman tidak bisa tidur.
Arumi mengingat sesuatu "Aku yakin jika kopi Pak Davin dimasukkan obat kuat"
"Obat kuat?" Davin terkejut, selama ini ia hanya pernah mendengar dari teman, belum pernah tahu bentuk obat itu seperti apa, apalagi mengkonsumsi.
"Ya" Arumi mengangguk, ia tahu dari ciri-ciri yang Davin ceritakan. Apalagi obat kuat tersebut dicampur dengan kopi, bisa berbahaya jika kondisi tubuh tidak kuat.
"Tunggu-tunggu! Kenapa kamu paham sekali dengan obat itu, jangan-jangan kamu sudah..."
Plak!
"Sudah apa?" Arumi menggeplak tangan Davin, ia kesal karena Davin seolah menuduhnya yang tidak-tidak.
"Shory, terus darimana kamu tahu tentang obat kuat" Davin sebenarnya percaya pada Arumi jika ia wanita alim, tetapi mengapa bisa tahu tentang obat kuat pria, padahal Davin sendiri pun tidak tahu.
"Ya belajar lah, aku kan kuliah jurusan farmasi" Arumi menjelaskan.
"Oh..." Davin terkekeh.
"Kita kembali lagi ke masalah awal, siapa yang mencampur obat itu ke kopi Pak Davin. Aku yakin jika bukan Yanti pelakunya" Arumi serius membahas ini agar suaminya tidak salah tuduh.
"Terus siapa dong" Davin mencurigai Yanti karena ia yang membuat kopi.
"Mas nggak curiga sama Malika" Arumi bukannya mau buruk sangka, tetapi bisa saja ia pelakunya. Mengingat Malika terosepsi ingin merebut Davin darinya.
Davin menatap Rumi, ia sebenarnya tidak percaya jika sepupunya itu mampu melakukan itu, tetapi mengapa tadi malam Malika memang mencurigakan.
"Sekarang sebaiknya Pak Davin selidiki dulu, jangan apa-apa asal marah, membentak, menuduh, kasihan kan Yanti sampai ketakutan begitu" Arumi akhirnya ngomel-ngomel ingat kelakuan Davin ketika Arumi masih bekerja di kantor Davin.
"Iya bawel" Davin tiba-tiba merangkul pinggang Arumi. Pisang ambon miliknya sudah ingin digigit Arumi.
"Awas Pak, iihh... kebiasaan" Arumi menggerak-gerakkan tubuhnya ke kiri, ke kanan. Arumi tidak tahu jika gerakannya justru membuat pisang Davin semakin tumbuh besar.
Davin menarik tubuh Arumi hingga keduanya jatuh ke kasur. Sisa-sisa obat tadi malam menambah gelora cinta Davin memuncak.
"Pak Daviiin..."
"Seeetttt..."
...~Bersambung~...