Winarsih, seorang gadis asal Jambi yang memiliki impian untuk bekerja di ibukota agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya yang buruh tani dan adiknya yang down syndrome.
Bersama Utomo kekasihnya, Winarsih menginjak Jakarta yang pelik dengan segala kehidupan manusianya.
Kemudian satu peristiwa nahas membuat Winarsih harus mengandung calon bayi Dean, anak majikannya.
Apakah Winarsih menerima tawaran Utomo untuk mengambil tanggungjawab menikahinya?
Akankah Dean, anak majikannya yang narsis itu bertanggung jawab?
***
"Semua ini sudah menjadi jalanmu Win. Jaga Anakmu lebih baik dari Ibu menjaga Kamu. Setelah menjadi istri, ikuti apa kata Suamimu. Percayai Suamimu dengan sepenuh hati agar hatimu tenang. Rawat keluargamu dengan cinta. Karena cintamu itu yang bakal menguatkan keluargamu. Ibu percaya, Cintanya Winarsih akan bisa melelehkan gunung es sekalipun,"
Sepotong nasehat Bu Sumi sesaat sebelum Winarsih menikah.
update SETIAP HARI
IG @juskelapa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Kebisuan
Hari itu adalah kali pertama Winarsih menerima gaji setelah bekerja satu bulan di rumah Pak Hartono. Ia bahagia bukan kepalang karena mengingat bekal uang yang dibawanya dari desa, hanya tersisa seharga semangkuk mi ayam.
Dia belum pernah bekerja dan diupahi bulanan sebanyak itu. Bahkan, Tina mengatakan kalau gaji Winarsih itu sudah hampir mendekati gaji pokok PNS golongan 3A.
Winarsih yang memang sama sekali tidak mengetahui soal gaji pokok PNS mana yang dimaksud Tina, hanya ber-o-o panjang saat mendengar penuturan seniornya itu.
Jadi, saat tadi pagi ia menerima sebuah amplop tertutup dari Mbah, perasaannya haru sekali. Itu adalah hasil kerja kerasnya sebulan ini. Tak terbayang dia harus menanami berapa petak sawah untuk mendapatkan uang sejumlah itu.
Amplop itu juga mengalihkan sedikit kesedihan Winarsih soal apa yang menimpanya. Ia mengingatkan dirinya berkali-kali agar sebisa mungkin menghindari Dean. Karena tiap bertemu pria itu, rasa sakit di hatinya seperti kembali segar. Sekarang, sudah seminggu lebih diri Winarsih tak melihat Dean. Hal itu sedikit membawa ketenangan baginya.
Sejak siang, Winarsih telah menyusun rencana akan segera mengirimkan sebagian uang yang ia terima kepada ibunya di desa melalui jaringan mini market.
Di kawasan perumahan tempatnya bekerja, Winarsih tak melihat nama mini market seperti yang berada di desanya. Jadi dia memutuskan untuk pergi ke luar nanti malam, sembari membeli kebutuhannya.
Saat menggenggam beberapa lembar uang kertas merah di tangannya, Winarsih juga berniat untuk mentraktir Utomo dengan gaji pertamanya itu.
Bagaimana juga, pria itu yang telah berjasa karena merekomendasikan dirinya untuk bekerja di sana.
Setelah seharian bekerja, akhirnya waktu malam hari yang ditunggunya tiba. Sebelum berangkat tadi, Mbah meminta Winarsih memasak sup ayam untuk Pak Hartono yang akan tiba dari luar kota. Setelah menyelesaikan pekerjaannya Winarsih bersiap-siap untuk berangkat.
Berbekal sedikit ilmu yang diperolehnya dari Tina soal tempat di mana bisa membeli pakaian murah yang buka di malam hari, akhirnya Winarsih berangkat dengan menumpangi sebuah bajaj yang melintas sesaat setelah dia keluar dari gerbang rumah Pak Hartono.
Winarsih tak pernah berjalan-jalan lagi sejak kali pertama dan terakhirnya dia melihat Monas bersama Utomo.
Malam itu, ia merasa jadi orang paling kaya di dunia. Dengan mata berbinar dan antusiasme yang mencolok, ia pergi menyusuri jalanan ibukota di malam hari. Pandangannya menyapu setiap sudut kota paling sibuk nomor satu di Indonesia, yang tak pernah berhenti aktivitasnya.
Supir bajaj menepikan kendaraannya di tempat tujuan. Dengan langkah penuh percaya diri, ia memasuki keramaian seperti yang dideskripsikan Tina kepadanya.
Dan benar kata wanita itu, di sana banyak dijual pakaian murah. Yang terkadang malah lebih murah dari yang pernah ditemuinya di pasar besar kabupaten daerahnya.
Setelah membeli beberapa potong pakaian tambahan untuk dipergunakannya sehari-hari, Winarsih berniat membeli pakaian dalam yang memang sangat sedikit dimilikinya.
Langkahnya begitu ringan saat pergi dari barisan-barisan kios itu. Uangnya tak habis banyak, dan dia memperoleh apa yang diinginkannya. Dia harus cepat kembali karena hendak mampir mencari minimarket untuk mengirimkan uang ke desa.
Sebenarnya ada rasa takut bepergian malam-malam seperti itu sendirian. Terlebih kota itu sangat asing baginya. Tapi, Winarsih tak bisa lagi bergantung kepada orang lain terutama Utomo yang kini bukan siapa-siapanya.
Saat kepalanya sedang menoleh untuk menyeleksi wajah supir bajaj yang terlihat ramah, tiba-tiba ada sosok tinggi yang mendekatinya dari sebelah kanan.
"Ayo kita pulang sama-sama." Suara Dean tiba-tiba terdengar dari sebelahnya.
DEG!
Winarsih sebenarnya sangat terkejut melihat kehadiran Dean di sana. Tapi dia hanya bisa membelalak sejenak hingga kemudian membuat ekspresi biasa lagi di wajahnya.
"Kok di sini?" tanya Winarsih spontan.
"Kebetulan lewat terus liat kamu keluar dari arah sana," jawab Dean berbohong seraya menunjuk jajaran kios.
Mulut Winarsih hanya membentuk huruf O saat Dean menjawabnya.
"Ayo pulang, ini udah malem. Berani juga kamu ke sini sendirian malem-malem. Mobilku di sana," tunjuk Dean kemudian berjalan mendahului Winarsih.
Saat melangkah di depan wanita itu, Dean menoleh ke samping sekilas memastikan bahwa Winarsih mengikutinya.
Dengan beberapa bungkusan di pangkuannya, sesaat kemudian Winarsih telah duduk di jok depan sebelah pengemudi.
Saat memasuki mobil, Dean mencampakkan bungkusan mainan bayi yang tadi sempat dibelinya ke jok belakang.
Dean telah duduk di belakang setir saat melihat Winarsih terlihat tidak nyaman dengan posisi sandaran jok mobil.
Disty yang selalu menjadi penumpang di kursi penumpang mobil Dean memang punya kebiasaan menurunkan sandaran jok hingga ke posisi setengah berbaring.
Winarsih terlihat kikuk dengan posisi duduknya dan meraba-raba seatbelt yang belum terpasang. Wanita itu tak pernah memakai seatbelt sebelumnya, karena beberapa kali menumpang mobil dia selalu duduk di belakang.
Apalagi naik mobil canggih seperti milik anak majikannya itu. Winarsih merasa dia pasti menghabiskan waktu setengah hari untuk mempelajari fungsi semua tombol yang terdapat di dalam mobil itu.
Seperti memahami sikap Winarsih yang gugup dengan mengatupkan mulutnya sambil mencoba menarik seatbelt, Dean memajukan tubuhnya ke arah Winarsih.
Winarsih menahan nafas saat Dean membungkuk di depan dadanya untuk mencari tombol jok mobil yang berada di sebelah kiri wanita itu.
Perlahan jok mobil bergerak maju. Hal itu membuat tubuh Winarsih semakin terdorong ke depan.
"Udah pas belum sandarannya?" Dean menoleh ke kiri menatap Winarsih yang menggigit bibir bawahnya. Wajah mereka hanya berjarak tak lebih dari 5 sentimeter.
Winarsih cepat-cepat mengangguk. Nafas Dean yang terhembus ke lehernya saat berbicara terasa sangat mengganggu karena bulu kuduknya seketika berdiri.
Melihat anggukan Winarsih, Dean segera menarik seatbelt mengelilingi tubuh wanita itu dan mengatupkan benda itu ke posisi terkunci.
Dean kembali ke posisinya untuk menyetir dan Winarsih terlihat menghembuskan nafas perlahan. Tubuh Dean terasa sangat harum sekali pikirnya. Padahal pria itu sudah ke luar rumah sejak pagi.
Rambut Dean yang biasa tersisir ke belakang saat berangkat ke kantor, malam ini terlihat turun beberapa helai ke dahinya.
Winarsih melirik sekilas ke arah pria yang sedang konsentrasi ke jalanan di depan mereka.
Dean memang tampan sekali. Tak heran kalau kekasihnya yang sangat cantik malam itu terlihat sangat kesal saat Dean mengabaikannya, batin Winarsih.
Dean mencoba memusatkan perhatiannya pada jalanan di depan mereka. Mencoba memasang wajah santai agar Winarsih merasa nyaman duduk di sebelahnya. Padahal, saat mereka berdekatan tadi, Dean nyaris saja menubrukkan dirinya ke wanita itu.
Dan sesaat tadi, dia menangkap kilasan, Winarsih sedang menatap wajahnya dari samping. Darah Dean berdesir. Bisa-bisanya dia merasakan hal konyol seperti itu kepada pembantu yang bekerja di rumahnya.
Saat mereka hampir tiba di kawasan perumahan Menteng, Winarsih menunjuk sebuah mini market yang masih buka.
"Pak, saya mau turun di sini, saya ada keperluan di mini market itu."
Dean memasukkan mobilnya ke halaman mini market yang telah sepi pengunjung.
"Saya nggak apa-apa pulang sendiri. Sudah dekat Pak, saya bisa jalan kaki," ucap Winarsih sambil memegang semua bungkusannya.
Dean menarik bungkusan itu dari tangannya,
"Udah, cepat! Aku tunggu di sini. Ngapain kamu bawa-bawa ini semua ke dalam sana," perintah Dean dengan wajah yang tiba-tiba terlihat kesal.
Winarsih menurut dan pergi ke luar mobil tanpa bungkusannya.
Tampaknya Dean sudah mulai tahu cara berbicara kepada pembantunya itu. Kalau dia terlihat lembek, Winarsih malah menjadi terlalu sering menentangnya.
Dean tersenyum-senyum jumawa penuh arti. Di dalam mobil perhatiannya tertuju pada bungkusan yang dibawa Winarsih.
Setelah menoleh ke arah mini market dan melihat pembantunya itu sedang berbicara dengan kasir, tangan Dean usil meraih satu bungkusan yang paling dekat dengannya.
Saat membuka plastik kresek berwarna hitam itu, Dean melihat dua buah bra berwarna biru dan krem serta tiga buah dalaman berwarna merah jambu.
Dean membalik-balik bra itu dengan maksud melihat label yang mencantumkan ukurannya. Tengah asik menunduk di atas salah satu bra, tiba-tiba pintu mobil bergerak.
Dengan panik Dean menjejalkan bra itu kembali ke plastiknya dan mencampakkan bungkusan itu segera.
"Belanja di sana emang murah ya? Maksudku di pasar malam Kota Tua itu?" tanya Dean gugup.
"Ha? Iya Pak, kata mbak Tina murah. Makanya saya ke sana," jawab Winarsih sambil melirik aneh kepada bungkusan yang ikatan plastiknya menjadi berantakan.
"Oh iya, emang murah ya. Baju berwarna kuning muda tadi emang bag...." Dean menyadari kebodohannya yang hampir keceplosan bahwa dia mendampingi Winarsih selama wanita itu berbelanja.
"Maksudnya Pak?"
"Nggak--nggak apa-apa. Kamu udah selesai kan?" tanya Dean cepat untuk mengalihkan topik pembicaraan.
"Sudah Pak."
Dean melajukan mobilnya meninggalkan mini market langsung menuju rumah yang jaraknya memang sudah tak jauh lagi.
Rojak yang bertugas malam itu langsung membuka pagar dan mobil Dean langsung menuju ke dalam.
Saat mobil akan melewati pelataran lobby, Dean melihat mobil Vellfire yang biasa digunakan papanya berhenti di depan teras.
Mobil Dean otomatis ikut berhenti di belakang mobil hitam besar itu.
Khawatir kedatangannya bersama Winarsih akan dilihat oleh orangtuanya, Dean cepat-cepat mengumpulkan semua bungkusan Winarsih dan bungkusan yang dicampakkannya ke jok belakang tadi.
"Kamu turun di sini aja, cepat. Papa juga baru pulang. Mungkin udah masuk. Jadi kamu turun di sini aja," perintah Dean yang tak menyangka akan bertemu Pak Hartono di malam selarut itu.
Winarsih buru-buru turun dari mobil dan Dean keluar dari mobil dengan semua belanjaan Winarsih di tangannya.
"Baru pulang juga?" Tiba-tiba suara Pak Hartono terdengar dari arah teras.
Dean yang masih membelakangi teras menggigit bibir kemudian berbalik menatap papanya yang berdiri sambil memegang sebuah clutch.
"Iya Pa," jawab Dean singkat.
"Sama Winarsih?" tanya Pak Hartono yang menyadari pembantunya berdiri di sisi lain mobil.
"Ha? Enggak kok!" jawab Dean gugup.
"Enggak? Itu bungkusan apa?" tanya Pak Hartono mencoba menahan senyumnya.
Menyadari pertanyaan Pak Hartono, bergegas Winarsih menghampiri Dean untuk mengambil semua belanjaannya.
Dean yang sudah salah tingkah hanya diam saja saat Winarsih mengambil semua bungkusan dari tangannya.
Winarsih menunduk cepat ke arah Pak Hartono sebagai bentuk izinnya pamit dari hadapan ayah-anak itu.
Pak Hartono terkekeh kemudian berjalan kembali ke dalam rumah sambil berkata,
"Sudah mulai dengerin saran papa kamu rupanya,"
To Be Continued.....
...Mohon tinggalkan jejak yaa.......
...Like atau komentar sangat berarti bagi penulis...