Seorang pengangguran yang hobi memancing, Kevin Zeivin, menemukan cincin besi di dalam perut ikan yang tengah ia bersihkan.
"Apa ini?", gumam Kevin merasa aneh, karena bisa mendengar suara hewan, tumbuhan, dan angin, seolah mampu memahami cara mereka berbicara.
"Apakah aku halusinasi atau kelainan jiwa?", gumam Kevin. Namun perlahan ia bisa berbincang dengan mereka dan menerima manfaat dari dunia hewan, tumbuhan, dan angin, bahkan bisa menyuruh mereka.
Akankah ini berkah atau musibah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardi Raharjo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berlatih
Kevin terus berjalan meninggalkan tempat tinggalnya semula, hingga ia tiba di sebuah perkampungan yang masih banyak area persawahan.
"Aku harus bermalam di mana coba?", gumam Kevin.
Saat ia bingung, tiba-tiba hujan rintik pun tiba.
"Beuh! Belum nemu tempat, sudah hujan saja, mana petirnya ngeri lagi", keluh Kevin, bergegas melangkah dan melihat gubuk kecil tak berdinding di tengah sawah.
"Ya, di sana saja. Lumayan untuk berteduh", batin Kevin seraya melangkah cepat dan berteduh.
"Brrr, dingin sekali", tubuh Kevin bergidik. Namun saat itu, ia merasa aneh, karena angin yang menerpa tubuhnya perlahan bisa ia alihkan hanya dengan keinginan. Seperti saat ia meresonansi ikan tertentu agar mendekat dan memakan umpannya.
"Woah, apa sekarang aku jadi penyihir atau avatar yang bisa mengendalikan angin?", lirih Kevin yang merasa takjub.
Pemuda itu sangat bersemangat dan coba-coba mengarahkan angin semaunya. Nampak ia sudah bisa sedikit mengendalikan meski sekedar menyampingkan arah, belum mampu membalikkan arah.
"Keren! Aku pengendali udara!", pekik Kevin.
"Duar!", Kevin langsung berjingkat dan telungkup karena petir itu sangat dekat dengan gubuk.
"Ampun ya Allah!", seru Kevin.
Nampak hujan semakin deras disertai angin kencang. Namun karena Kevin bisa mengalihkan arah angin, bagian dalam gubuknya masih tetap kering.
Pemuda itu sedikit ketakutan dan tetap telungkup di sana sembari tetap mengarahkan angin agar air hujan tidak membasahi bagian dalam gubuk. Hingga malam tiba, Kevin yang kenyang dan memang masih hujan pun terlelap. Untung saja hujannya tidak disertai angin kencang, sehingga pemuda itu bisa terus terlelap hingga fajar tiba.
Pagi itu, Kevin terbangun dan mengusap wajahnya.
"Wah, nyaman sekali", ucap Kevin, merasa belum pernah senyaman ini sebelumnya meski tinggal di rumah pohon sederhana.
Kevin pun berjalan meninggalkan gubuk lewat pematang sawah. Di tepi petak sawah, Kevin melihat pohon jambu air yang berbuah lebat dan nampak segar.
"Glek", Kevin menelan saliva, menoleh ke kiri dan kanan lantas coba memanjat namun terus terpeleset karena semalam hujan lebat, membuat batang pohon menjadi licin.
"Sial!", umpat Kevin, kesal namun tidak menyerah.
Pemuda itu terus mencari cara, namun ia tidak menemukan benda apapun untuk memudahkan dirinya meraih jambu incaran.
Kevin menatap buah jambu air yang nampak merah dan menyentuh batang pohon itu. Tanpa ia duga, ranting itu mendekat kepadanya dan malah membuat Kevin terpaku.
"Ambil lah", Kevin mendengar suara aneh. Pemuda itu sontak mencari asal suara. Namun ia sendirian di sawah di pagi buta.
Kevin pun memetik jambu itu dan mengunyahnya segera.
"Enak", gumam Kevin, mengira dirinya tengah bermimpi.
"Ini, ternyata bukan mimpi", celetuk Kevin, lantas menargetkan buah lainnya. Ranting itu bergerak perlahan ke arahnya hingga ia mudah memetik buah.
"Woah, keren!", pekik Kevin lantas segera menutup mulut, takut dipergoki pemilik pohon yang sebenarnya bebas saja diambil buahnya. Pemuda itu mengambil buah lain hingga memenuhi tasnya lantas bergegas lari.
Otaknya mencoba mencerna hal-hal aneh akhir-akhir ini.
"Jadi, mimpi waktu itu semua benar?", simpul Kevin.
Ia pun memeriksa ingatannya, di mana dirinya begitu familiar dengan banyak sekali keunggulan hewan yang bisa diadaptasi ke tubuhnya. Perlahan ia coba membuktikan, dimulai dengan memanjat pohon dengan mengandalkan kekuatan cengkeraman, kuku, dan otot.
"Berhasil", gumam Kevin yang mencoba memanjat pohon jambu lainnya. Belum terkena air saja, permukaan batang dan dahan pohon itu sudah licin, apalagi ditambah bekas hujan semalam. Namun nyatanya kini Kevin berhasil memanjat tanpa kesulitan seperti sebelumnya.
Kevin pun bergegas ke tepi sungai, memanggil ikan dengan resonansi. Hanya saja, Kevin menyelupkan tangannya hingga pergelangan tangan. Saat seekor mujaer besar menyentuh kulitnya, Kevin bisa merasakan aliran listrik mampu menyengat ikan hingga terkapar.
"Wah, jadi itu benar-benar berfungsi", pikir Kevin yang tadi meniru kemampuan belut listrik meski belum sekuat belut aslinya.
Pemuda itu memungut ikan yang tengah terkapar, berencana menjadikannya santapan pagi ini.
"Wih , dingin-dingin begini, cocok nih makan ikan bakar", pikir Kevin, seraya mengumpulkan ranting. Sayangnya, semalam hujan lebat, sehingga sulit untuk menyalakan api pada ranting basah.
Kevin mencoba mencari dalam ingatannya terkait hewan yang bisa menggunakan api.
"Eh, nggak ada ya?", gumam Kevin yang hanya menemukan hewan mitologi yang disebut naga ataupun burung pembawa batu membara yang memusnahkan pasukan Raja Abraham.
"Sudah lah", ucap Kevin seraya berdiri menjauh, membawa ikan tangkapannya untuk dibakar nanti.
Baru melangkah setengah kilometer, seorang perempuan paruh baya memanggilnya.
"Ikannya dijual dik?", perempuan berkulit coklat berdiri menenteng sapu di depan kedainya.
"Ini, boleh kalau mau beli", Kevin berpikir, akan lebih ringkas jika menjualnya dan membeli makanan matang.
Kevin menjual seperti harga terakhir ia menjual kepada pedagang ikan. Tentu harganya lebih murah daripada harga jual pasaran kepada pelanggan.
"Wah, murah ya. Lain kali kalau dapat yang sebesar ini, jual saja ke sini dik", ujar perempuan itu setelah menimbang bobot ikan seberat 6 ons itu. Kevin hanya mengangguk karena belum tentu esok ia masih di sini.
"Pecel satu porsi berapa buk?", Kevin lama tidak makan seperti itu.
"10 ribu dik. Mau?", tawar perempuan itu, diangguki Kevin. Pemuda itu tersenyum senang mendapat satu porsi pecel dan sebotol besar air mineral sebagai ganti ikan mujaer miliknya.
Kevin pun bergegas pergi setelah menikmati makanan spesial bagi gembel seperti dirinya.
"Nampaknya, aku harus banyak berlatih dengan hal aneh yang kini muncul di diriku", benak Kevin yang tidak ingin kemampuan itu baru muncul karena terpicu keadaan.
Siang itu, Kevin sampai di depan kolam pemancingan yang membuat lomba memancing.
"Weh, mantap ini", gumam Kevin yang tentu bersemangat kalau urusan memancing. Ia pun mendekat dan menanyakan kejelasan aturan lomba.
"Kami mengadakan lomba ini untuk merekrut pemancing pemula dan melatihnya untuk lomba nasional di danau Toba tahun ini", seorang pria menjelaskan saat memandang penampilan Kevin yang seperti gembel naik level sedikit karena bajunya layak pakai dan membawa peralatan memancing standar yang lumayan bagus.
"Wah, hebat itu. Berapa biayanya?", Kevin langsung ke inti penting.
"600 ribu kalau lolos. Kalau hanya ikut lomba di sini, pendaftaran 15 ribu. Ikan akan ditimbang untuk penilaian. Bayar jika dibawa pulang atau dikembalikan ke dalam kolam", terang pria gemuk berkaos putih itu.
"Memangnya, benar kah hadiah lomba ini 10 juta?", Kevin kurang tertarik ke Toba karena harus membayar mahal baginya.
"Total 10 juta mas. Juara satu 5 juta. Rangking 2 & 3 masing-masing 3 juta dan 2 juta", terang pria itu. Kevin mengangguk paham dan mendaftar saja karena tidak ada ketentuan khusus kecuali hanya harus menggunakan joran pancing, tidak ada ketentuan jenis umpan.
Sembari menunggu peserta lain, Kevin mencoba berlatih dengan resonansi, ia bisa mengetahui jenis ikan apa saja yang ada di dalam kolam.
"Cuma ada lele, nila, mujaer, patin, dan sedikit gurami", batin Kevin yang sudah mengincar gurami dan mujaer.
Kevin juga mengingat kemampuan beberapa jenis ikan pemanah. Tentu Kevin tidak menggunakan air, tetapi menggunakan udara yang notabene bawaan alam manusia, sekaligus berlatih memanfaatkan udara di sekitar sebagai senjata.