Dina, seorang pelajar dari kota kecil dengan mimpi besar, memiliki hasrat yang kuat untuk menjelajahi dunia dan mengembangkan diri. Ketika sekolahnya mengadakan lomba sains tingkat provinsi, Dina melihat ini sebagai kesempatan emas untuk meraih impian terbesarnya: mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studi ke luar negeri. Meskipun berasal dari keluarga sederhana dan di hadapkan pada saingan-saingan dari sekolah sekolah-sekolah elit, Dina tak gentar. Dengan proyek ilmiah tentang energi terbarukan yang dia kembangkan dengan penuh dedikasi, Dina berjuang keras melampaui batas kemampuannya
Namun, perjalanan menuju kemenangan tidaklah mudah. Dina Harus menghadapi keraguan, kegugupan, dan ketidakpastian tentang masa depannya. Dengan dukungan penuh dari keluarganya yang sederhana namun penuh kasih sayang, Dina berusaha membuktikan bahwa kerja keras dan tekad mampu membuka pintu ke peluang yang tak terbayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon avocado lush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gerbang ke Masa Silam
Pagi yang dijanjikan tiba dengan hawa yang lebih dingin dari biasanya. Kabut menyelimuti desa Jatiroto, menyamarkan cahaya matahari yang berusaha menembus cakrawala. Dina, Armand, dan Mbah Tirta bersiap-siap menuju sumur tua yang kini menjadi pusat teka-teki dan ketegangan. Bersama mereka, Mira dan beberapa warga yang percaya pada kata-kata Mbah Tirta ikut serta, membawa alat-alat sederhana seperti cangkul, obor, dan tali panjang.
Di perjalanan, Mbah Tirta berjalan paling depan, tongkat kayunya mengetuk tanah dengan ritme yang tenang. Tidak ada satu pun yang berani berbicara, seolah udara pagi itu terlalu berat untuk dilawan dengan kata-kata. Hanya suara burung dan dedaunan yang saling bergesekan menemani langkah mereka.
Akhirnya, mereka tiba di lokasi sumur tua. Sumur itu berada di tengah-tengah ladang yang telah lama tidak terpakai, dikelilingi oleh pohon besar yang akarnya menjalar ke segala arah. Dinding sumur sudah mulai runtuh, batu-batunya tertutup lumut, namun aura kuno yang dipancarkannya terasa jelas.
“Kita di sini bukan untuk menggali,” ujar Mbah Tirta tiba-tiba, menghentikan langkah Dina yang hendak mendekat lebih jauh. “Sumur ini tidak bisa dibuka begitu saja. Kalian harus memahami apa yang sebenarnya kalian cari.”
Armand mengerutkan dahi. “Mbah, kita tidak punya waktu untuk teka-teki. Jika ada sesuatu yang bisa membahayakan desa, kita harus menghentikannya sekarang.”
Namun Mbah Tirta hanya menggeleng pelan. Ia mendekat ke sumur dan mulai menggumamkan doa dalam bahasa kuno yang bahkan Dina tidak mengerti. Perlahan, suara gemuruh yang terdengar samar sejak malam sebelumnya kembali terdengar. Kali ini lebih kuat, seolah berasal dari dalam sumur itu sendiri.
“Dengar baik-baik,” kata Mbah Tirta sambil menatap Dina dan Armand. “Ada sesuatu yang tersembunyi di dasar sumur ini, tapi tidak semua orang bisa melihatnya. Sumur ini bukan hanya gerbang fisik, melainkan juga gerbang ke masa silam—ke memori yang telah lama hilang. Jika kalian ingin memahaminya, kalian harus masuk dengan niat yang murni.”
Dina menatap sumur itu dengan perasaan campur aduk. Ada rasa takut, penasaran, dan tanggung jawab yang saling berbaur. “Kalau aku masuk,” katanya perlahan, “apa yang akan aku lihat?”
“Kebenaran,” jawab Mbah Tirta singkat.
Armand menyentuh lengan Dina, mencoba menghentikannya. “Dina, kau yakin? Ini terlalu berbahaya. Kita bahkan tidak tahu apa yang ada di dalam.”
Namun Dina menggeleng. “Armand, jika ini cara untuk melindungi Jatiroto, aku harus melakukannya.”
Tanpa menunggu lebih lama, Dina memegang tali yang sudah diikatkan di akar pohon besar di dekat sumur. Dengan bantuan warga, ia mulai menuruni sumur yang dingin dan gelap. Setiap langkah terasa seperti memasuki dunia lain, jauh dari kenyataan yang selama ini ia kenal.
Di tengah jalan, suara Mbah Tirta terdengar dari atas. “Ingat, Dina, jangan melawan apa pun yang kau temui. Terima dan pahami.”
Ketika Dina mencapai dasar, udara di sekitarnya berubah. Dingin yang menusuk digantikan oleh kehangatan aneh, seolah sumur itu menyimpan kehidupan di dalamnya. Dinding-dinding sumur yang semula kasar berubah menjadi halus, dipenuhi ukiran simbol-simbol yang bercahaya redup.
Dina berjalan pelan, mengikuti lorong sempit yang entah bagaimana ada di dasar sumur itu. Di ujung lorong, ia melihat sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan cahaya emas yang berpendar. Di tengah ruangan itu, ada sebuah benda berbentuk bola kristal, melayang di udara.
Dina mendekat dengan hati-hati. Ketika tangannya hampir menyentuh bola kristal itu, sebuah suara lembut tapi tegas terdengar.
“Kau yang terpilih,” suara itu berkata. “Tapi setiap pilihan memiliki konsekuensi. Apa yang kau cari di sini, Dina?”
Dina terdiam. Pertanyaan itu begitu sederhana, tapi membawa beban besar. Ia memejamkan mata, mencoba merasakan apa yang sebenarnya ia inginkan. Setelah beberapa saat, ia membuka mata dan menjawab dengan tegas.
“Aku ingin melindungi Jatiroto. Aku ingin kebenaran. Dan aku ingin keadilan bagi mereka yang telah berjuang untuk desa ini.”
Bola kristal itu mulai berputar, mengeluarkan cahaya yang semakin terang hingga memenuhi ruangan. Dalam sekejap, Dina melihat kilasan-kilasan masa lalu: pembangunan desa Jatiroto, perjuangan para pendiri desa, dan peristiwa yang menyebabkan energi alam di desa itu menjadi begitu kuat.
Namun, kilasan itu juga menunjukkan sesuatu yang lain. Dina melihat bayangan sosok-sosok asing yang tampak mengawasi Jatiroto dari kejauhan, menunggu waktu yang tepat untuk mengambil alih energi tersebut.
Ketika cahaya itu meredup, bola kristal kembali ke bentuk semula. Dina terengah-engah, seolah baru saja menempuh perjalanan yang sangat panjang.
“Pilih dengan bijak, Dina,” suara itu kembali terdengar. “Kekuatan ini bisa menyelamatkan atau menghancurkan. Semua ada di tanganmu.”
Dina menatap bola kristal itu untuk terakhir kali sebelum kembali ke permukaan. Ketika ia keluar dari sumur, semua mata tertuju padanya, penuh harap dan ketakutan.
“Apa yang kau temukan?” tanya Armand dengan suara pelan.
Dina menatap mereka satu per satu sebelum menjawab. “Sumber Jiwa itu nyata. Dan kita harus melindunginya sebelum terlambat.”
Dina memandang wajah-wajah di sekitarnya, mencoba mencerna semua yang baru saja ia alami. Udara pagi terasa semakin dingin, namun ada sesuatu yang berubah dalam dirinya—sebuah keyakinan bahwa semua yang ia lihat di dasar sumur bukan sekadar kilasan, melainkan kebenaran yang tak terbantahkan.
Mbah Tirta melangkah maju, tatapannya tajam namun penuh kehati-hatian. “Dina, apa yang kau lihat?”
Dina menarik napas dalam, mencoba merangkai kata-kata. “Jatiroto menyimpan kekuatan besar. Sumber Jiwa itu nyata, tapi… ada ancaman yang mendekat. Mereka tahu tentang sumur ini. Tentang kita.”
Kerumunan mulai gaduh. Beberapa warga saling berbisik, sementara yang lain menatap Mbah Tirta dengan ketakutan. Armand mengangkat tangannya, mencoba menenangkan situasi.
“Dina,” katanya, menatap gadis itu dengan serius, “apa maksudmu? Siapa yang kau maksud dengan ‘mereka’?”
Dina menggeleng, bingung bagaimana menjelaskan. “Aku tidak tahu pasti. Tapi ada bayangan—sekelompok orang yang mengincar energi ini. Mereka telah mengawasi kita sejak lama. Jika mereka berhasil mengambilnya, semuanya akan hancur.”
Mira, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Mbah Tirta, kau pasti tahu lebih banyak tentang ini, bukan? Apa yang sebenarnya terjadi dengan desa kita? Dan kenapa sumur ini begitu penting?”
Mbah Tirta menghela napas panjang, seolah beban berat yang telah ia pikul selama bertahun-tahun akhirnya harus diungkapkan. Ia memandang sumur tua itu dengan mata yang penuh nostalgia dan kesedihan.
“Dulu, sebelum desa ini ada, tanah ini adalah tempat berkumpulnya energi alam yang paling murni. Kakek buyutku, dan para pendiri desa lainnya, menemukan cara untuk menyegel energi itu agar tidak disalahgunakan. Mereka membangun sumur ini sebagai penanda dan penjaga. Tapi waktu menghapus banyak cerita, dan hanya sedikit yang tahu rahasia ini.”
Armand mengerutkan dahi. “Jadi kau tahu tentang ancaman ini? Kenapa tidak memberitahu kami sebelumnya?”
Mbah Tirta menatap Armand dengan tatapan lelah. “Karena aku berharap tidak ada yang menemukannya. Tapi sekarang, segalanya telah berubah. Dina adalah tanda bahwa segel ini mulai melemah, dan orang-orang di luar sana telah mencium keberadaannya.”
Dina mengepalkan tangannya. “Lalu apa yang harus kita lakukan, Mbah? Kita tidak bisa hanya duduk diam dan menunggu mereka datang.”
Mbah Tirta mengangguk pelan. “Kita harus memperkuat segel itu. Tapi untuk melakukannya, kita membutuhkan sesuatu yang hanya bisa ditemukan di hutan larangan—‘Rantai Jiwa’. Itu adalah komponen terakhir yang digunakan para pendiri untuk mengunci energi ini.”
Kata-kata itu membuat suasana menjadi semakin tegang. Hutan larangan adalah tempat yang dihindari oleh semua orang di Jatiroto. Cerita-cerita tentang orang yang hilang dan keanehan yang terjadi di dalamnya telah membuat hutan itu menjadi tempat yang ditakuti selama bertahun-tahun.
“Rantai Jiwa?” tanya Mira, mencoba memastikan. “Apa itu? Dan kenapa ada di hutan larangan?”
Mbah Tirta menjelaskan dengan nada penuh kehati-hatian. “Rantai Jiwa adalah artefak yang terbuat dari energi murni, sama seperti yang ada di sumur ini. Para pendiri menyembunyikannya di hutan untuk memastikan tidak ada yang bisa mengaksesnya dengan mudah. Tapi perjalanan untuk mencapainya tidaklah mudah. Banyak rintangan, dan tidak semua orang akan kembali dengan selamat.”
Dina menatap Mbah Tirta dengan penuh tekad. “Aku akan pergi. Jika ini satu-satunya cara untuk melindungi Jatiroto, aku harus melakukannya.”
Armand segera menyela. “Dina, tidak. Kau sudah melalui banyak hal. Aku tidak akan membiarkanmu mengambil risiko sebesar ini.”
“Tapi aku harus, Armand,” jawab Dina tegas. “Sumur ini—energi ini—membutuhkan kita. Dan aku tidak bisa membiarkan orang-orang asing itu menghancurkan segalanya.”
Mbah Tirta menatap mereka berdua sebelum akhirnya berkata, “Perjalanan ini tidak bisa dilakukan sendiri. Dina benar, tapi dia butuh pendamping. Armand, kau harus pergi bersamanya.”
Armand terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baik. Kalau itu yang harus kulakukan, aku akan ikut.”
Mira maju selangkah. “Aku juga. Kita tidak tahu apa yang akan kita temui di sana, dan semakin banyak yang pergi, semakin besar peluang kita untuk berhasil.”
Mbah Tirta mengangguk pelan, meski raut wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran. “Baiklah. Tapi kalian harus berhati-hati. Ingat, hutan larangan bukan sekadar tempat biasa. Itu adalah ujian bagi hati dan jiwa kalian.”
Mereka bertiga memandang satu sama lain, menyadari bahwa perjalanan ini akan mengubah segalanya. Dengan persiapan singkat, mereka berangkat menuju hutan larangan, meninggalkan kerumunan yang masih terdiam di sekitar sumur.
Langkah-langkah mereka terasa berat namun penuh keyakinan, sementara di kejauhan, pepohonan lebat hutan larangan menyambut mereka dengan bayang-bayang gelap yang menjanjikan misteri dan bahaya yang belum pernah mereka alami sebelumnya.